saya mendukung buddhist digrup menjual pulsa voucher hotel tiket pesawat kereta api harga bisa dapat discount
Translate
Kamis, 13 Desember 2012
nomor cantik baru
Rp600.000 0857-1999-1001
Rp600.000 08577-6667778
Rp500.000 0857-1000-3111
Rp500.000 0857-1000-4040
Rp500.000 0857-11-003.003
Rp500.000 0857-1100-3999
Rp100.000 0856-9797-4300
Rp100.000 0856-122-9939
Rp100.000 0856-122-9949
Rp100.000 0856-123-0038
Rp100.000 0856-123-0047
Rp100.000 0856-123-0049
Rp100.000 0856-123-0052
Rp100.000 0856-123-0053
Rp100.000 0856-123-0057
Rp100.000 0856-123-0059
Rp100.000 0856-123-0061
Rp100.000 0856-123-0063
Rp100.000 0856-123-0065
Rp100.000 0856-123-0067
Rp100.000 0856-123-0076
Rp100.000 0856-123-0087
Rp100.000 0856-123-0094
Rp100.000 0856-123-0098
Rp100.000 0856-123-01.08
Rp100.000 0856-123-01.09
Rp100.000 0856-123-0113
Rp100.000 0856-123-0114
Rp100.000 0856-123-0141
Rp100.000 0856-123-0161
Rp100.000 0856-123-0181
nomor cantik baru
Rp600.000 0857-1999-1001
Rp600.000 08577-6667778
Rp500.000 0857-1000-3111
Rp500.000 0857-1000-4040
Rp500.000 0857-11-003.003
Rp500.000 0857-1100-3999
Rp100.000 0856-9797-4300
Rp100.000 0856-122-9939
Rp100.000 0856-122-9949
Rp100.000 0856-123-0038
Rp100.000 0856-123-0047
Rp100.000 0856-123-0049
Rp100.000 0856-123-0052
Rp100.000 0856-123-0053
Rp100.000 0856-123-0057
Rp100.000 0856-123-0059
Rp100.000 0856-123-0061
Rp100.000 0856-123-0063
Rp100.000 0856-123-0065
Rp100.000 0856-123-0067
Rp100.000 0856-123-0076
Rp100.000 0856-123-0087
Rp100.000 0856-123-0094
Rp100.000 0856-123-0098
Rp100.000 0856-123-01.08
Rp100.000 0856-123-01.09
Rp100.000 0856-123-0113
Rp100.000 0856-123-0114
Rp100.000 0856-123-0141
Rp100.000 0856-123-0161
Rp100.000 0856-123-0181
nomor cantik baru
Rp600.000 0857-1999-1001
Rp600.000 08577-6667778
Rp500.000 0857-1000-3111
Rp500.000 0857-1000-4040
Rp500.000 0857-11-003.003
Rp500.000 0857-1100-3999
Rp100.000 0856-9797-4300
Rp100.000 0856-122-9939
Rp100.000 0856-122-9949
Rp100.000 0856-123-0038
Rp100.000 0856-123-0047
Rp100.000 0856-123-0049
Rp100.000 0856-123-0052
Rp100.000 0856-123-0053
Rp100.000 0856-123-0057
Rp100.000 0856-123-0059
Rp100.000 0856-123-0061
Rp100.000 0856-123-0063
Rp100.000 0856-123-0065
Rp100.000 0856-123-0067
Rp100.000 0856-123-0076
Rp100.000 0856-123-0087
Rp100.000 0856-123-0094
Rp100.000 0856-123-0098
Rp100.000 0856-123-01.08
Rp100.000 0856-123-01.09
Rp100.000 0856-123-0113
Rp100.000 0856-123-0114
Rp100.000 0856-123-0141
Rp100.000 0856-123-0161
Rp100.000 0856-123-0181
Rabu, 12 Desember 2012
suryadivihara: nomor cantik
suryadivihara: nomor cantik: Rp1.750.000 0838-70-98.98.98 Rp2.000.000 81381123333 Rp2.000.000 81381123344 Rp2.000.000 81317945678 Rp2.000.000 81381118899
nomor cantik
Rp1.750.000 0838-70-98.98.98
Rp2.000.000 81381123333
Rp2.000.000 81381123344
Rp2.000.000 81317945678
Rp2.000.000 81381118899
Kamis, 06 Desember 2012
nomor cantik
mw nomor cantik yg bagus tp gk begitu mahal silakan datang ke sini harga lum ongkir semua harga Rp100.000 hub saya ke 085711006995
081319299323
081319299330
081319299331
081319299332
081319299334
081319299335
081319299336
081319299337
081319299338
081319299343
081319299353
lum ongkir harga Rp 250.000 lum ongkir
08170818459
08170818463
08170818497
081319299323
081319299330
081319299331
081319299332
081319299334
081319299335
081319299336
081319299337
081319299338
081319299343
081319299353
lum ongkir harga Rp 250.000 lum ongkir
08170818459
08170818463
08170818497
Selasa, 09 Oktober 2012
saya menjual segala jenis pulsa jika mw beli pulsa
beli saja di gerai adi cell saya menjual semua pulsa termasuk pulsa pln
ayo teman teman dan cici koko beli pulsa jika mw beli pulsa kirim saja ke nomor
085711006995 / 08128500280 saya jujur ko dalam berjualan saya buka dari jam 16:00 s/dbjam 21:00 jika hari minggu dari jam 06:30 s/d 19:00 sabtu jam 19:00 s/d 21:00 kalau libur dari jam 09:00 s/d 21:00 dari message ke bb saya juga boleh 29D57068 tp mohon ditransfer dulu uangnya thx
beli saja di gerai adi cell saya menjual semua pulsa termasuk pulsa pln
ayo teman teman dan cici koko beli pulsa jika mw beli pulsa kirim saja ke nomor
085711006995 / 08128500280 saya jujur ko dalam berjualan saya buka dari jam 16:00 s/dbjam 21:00 jika hari minggu dari jam 06:30 s/d 19:00 sabtu jam 19:00 s/d 21:00 kalau libur dari jam 09:00 s/d 21:00 dari message ke bb saya juga boleh 29D57068 tp mohon ditransfer dulu uangnya thx
Jumat, 27 April 2012
27 april - 2 mei
11 – 9 -12
1.
Karena
dengan introspeksi diri bisa menumbuhkan pemahaman yang benar tentang objek
yang kita lihat, di luar maupun di dalam diri sendiri, yang dikenal dengan
istilah melihat secara objektif, melihat objek sebagaimana apa adanya. Apabila
kita mampu melakukan hal ini secara benar, maka pikiran kita akan terhindar
dari kekacauan, tidak menimbulkan masalah baru dan menjadi tenang dan waspada,
sehingga timbullah kebahagiaan tersendiri dari keadaan seperti itu, dan menjadi
percaya diri.
2.
Seseorang
yang menempuh proses perjuangan dalam melatih pikiran dari tak terkendali
menjadi terlatih dengan penuh kewaspadaan dan timbul ketenangan, maka dia
memiliki batin yang damai dan bahagia. Kebahagiaan yang timbul dari
pengendalian diri seperti ini adalah keadaan yang dapat bertahan lama meskipun
sampai kematian tiba, batin tersebut tetap tenang dan terkendali. Batin
tersebut tentu merasa nyaman, tentram, damai, dan bahagia saat itu. Apabila
keadaan seperti itu diatur sedemikian rupa bisa bertahan lebih lama lagi, maka
kebahagiaan pun bertahan lama. Inilah sesungguhnya makna dari ayat Dhammapada
21 tersebut di atas. Pemahaman dari pengertian ayat tersebut sesungguhnya
timbul dari kebiasaan introspeksi diri harus percaya diri.
3.
Introspeksi
diri secara sadar menimbulkan kewaspadaan dan kewaspadaan mengkondisikan
timbulnya ketenangan, ketenangan pikiran yang bertahan lama pun membuat kondisi
yang jelas membantu timbulnya kebahagiaan. Berbeda dengan sebaliknya, orang
lengah atau tidak waspada adalah orang yang terus-menerus dirundung
penderitaan, sulit mengenal dirinya sebagaimana adanya, sehingga orang yang
tidak waspada sesungguhnya tidak ada artinya hidup, tidak bisa berbuat apa,
maka dikatakan seolah-olah atau seperti sudah mati.
4.
Marilah kita
menjaga agar kita tetap waspada.
5.
Namo
Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
12-9-12
Memahami dan Mengatasi Kekhawatiran
1.
Atῑtaṁ nānvāgameyya, nappaṭikaṅkhe anāgataṁ
Yadatῑtampahῑnantaṁ, appattañca anāgataṁ.
Tak sepatutnya mengenang sesuatu yang telah berlalu, tak sepatutnya berharap pada sesuatu yang akan datang. Sesuatu yang telah berlalu adalah hal yang sudah lampau,
dan sesuatu yang akan datang adalah hal yang belum tiba.
(Upparipaṇṇāsa, Majjhima Nikāya)
Yadatῑtampahῑnantaṁ, appattañca anāgataṁ.
Tak sepatutnya mengenang sesuatu yang telah berlalu, tak sepatutnya berharap pada sesuatu yang akan datang. Sesuatu yang telah berlalu adalah hal yang sudah lampau,
dan sesuatu yang akan datang adalah hal yang belum tiba.
(Upparipaṇṇāsa, Majjhima Nikāya)
2.
Kekhawatiran
adalah hal tidak asing bagi kita, sebab di antara kita semua pasti pernah
mengalami kekhawatiran. Apa-lagi di awal tahun semacam ini, tentu
kekhawatiran sering muncul di dalam benak kita, dan banyak di antara kita
ingin bebas dari kekhawatiran itu. Sesungguhnya kekhawatiran atau rasa khawatir
adalah hal yang wajar pada diri manusia. Selama seseorang belum terbiasa
mengendalikan pikiran dan juga terlatih mengendalikan pikiran, di sana masih ada rasa
khawatir.
3.
Kekhawatiran
secara umum dikatakan sebagai perasaan yang terganggu akibat bayangan/pikiran
buruk yang kita buat sendiri, yang belum terjadi pada diri kita atau
orang-orang terdekat kita. Dalam Dhamma, kekhawatiran itu merupakan bagian dari
saṅkhara (bentuk-bentuk pikiran). Karena adanya bentuk-bentuk pikiran yang
terus berkembang, maka kekhawatiran akan muncul. Sering kali juga kekhawatiran
dikatakan sebagai perusak kebahagiaan dan kedamaian.
4.
Umumnya
orang mengasosiasikan/menghubungkan kekhawatiran sebagai sesuatu yang buruk
atau negatif. Padahal tidak selamanya kekhawatiran itu buruk, sebab dengan
mengetahui adanya rasa khawatir, orang akan dapat mengantisipasinya di masa
mendatang. Kekhawatiran dikatakan buruk jika rasa khawatir itu berlebihan
dan tidak beralasan, sehingga menimbulkan ketakutan, kecemasan, dan penyakit
psikis lainnya. Demikian pula kekhawatiran dikatakan baik, jika rasa khawatir
itu dapat meningkatkan semangat dan produktivitas untuk berusaha menjadi lebih
baik daripada masa sekarang. Misalnya Bodhisatta Siddhartha sebelum menjadi
petapa, Beliau mengalami rasa khawatir yang besar akan kehidupan (usia tua,
sakit, kematian), tetapi dari hal ini Beliau akhirnya terdorong mencari
pembebasan agung.
5.
Berpikir akan masa depan yang berlebihan
Banyak sekali yang menjadi pemicu munculnya kekhawatiran, umumnya kekhawatiran muncul, ketika seseorang terlalu berpikir kritis tentang masa depan yang berlebihan. Dan ketika berpikir masa depan yang berlebihan, yang bekerja bukan lagi realita (kenyataan), tetapi rekaan-rekaan/khayalan dari pikiran semata. Dari rekaan-rekaan pikiran inilah kekhawatiran muncul. Apabila seseorang tidak dapat menghentikan rasa khawatir, maka rasa khawatir akan menjadi terus berkembang, apalagi kalau semakin dipikirkan, rasa khawatir bukannya berkurang, tetapi sebaliknya semakin membesar.
Banyak sekali yang menjadi pemicu munculnya kekhawatiran, umumnya kekhawatiran muncul, ketika seseorang terlalu berpikir kritis tentang masa depan yang berlebihan. Dan ketika berpikir masa depan yang berlebihan, yang bekerja bukan lagi realita (kenyataan), tetapi rekaan-rekaan/khayalan dari pikiran semata. Dari rekaan-rekaan pikiran inilah kekhawatiran muncul. Apabila seseorang tidak dapat menghentikan rasa khawatir, maka rasa khawatir akan menjadi terus berkembang, apalagi kalau semakin dipikirkan, rasa khawatir bukannya berkurang, tetapi sebaliknya semakin membesar.
13-9-12
Nafsu keinginan
1. Selain pikiran yang berlebihan akan masa
depan, penyebab lainnya yang menjadi pemicu timbulnya kekhawatiran adalah
adanya nafsu keinginan (taṅhā). Karena adanya taṅhā, maka akan timbul
kemelekatan, sebab sewaktu seseorang sudah begitu melekat pada apa yang
disayangi, maka akan timbul kekhawatiran. Kekhawatiran akan perasaan takut
kehilangan yang disayangi dan takut berpisah dengan yang dicintai. Sebab apa
saja yang kita sayangi dan kita cintai, jika ada unsur nafsu keinginan pastilah
di sana ada kekhawatiran, dan kekhawatiran yang akan kita rasakan sebanding
dengan seberapa besar nafsu keinginan dalam diri kita. Semakin besar nafsu
keinginan, maka semakin besar pula kekhawatiran yang akan kita alami.
2. Melihat
segala sesuatu sebagaimana adanya
Kekhawatiran dapat kita atasi ketika kita dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Ketika kita dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kita akan dapat memahami apa yang kita khawatirkan dan mengapa kita khawatir. Seperti halnya kalau kita melihat seutas tali tambang yang tertutup sampah, hal ini dapat membuat kita khawatir andai kata kita berpikir itu adalah ular. Tetapi, ketika kita melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kita akan mengetahui bahwa itu hanyalah tali tambang semata, jadi rasa khawatir akan lenyap.
Kekhawatiran dapat kita atasi ketika kita dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Ketika kita dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kita akan dapat memahami apa yang kita khawatirkan dan mengapa kita khawatir. Seperti halnya kalau kita melihat seutas tali tambang yang tertutup sampah, hal ini dapat membuat kita khawatir andai kata kita berpikir itu adalah ular. Tetapi, ketika kita melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kita akan mengetahui bahwa itu hanyalah tali tambang semata, jadi rasa khawatir akan lenyap.
3. Melihat segala sesuatu sebagaimana adanya
juga termasuk melihat sifat alami kehidupan. Dalam abhiṇhapaccavekkhaṇa ada
perenungan tentang sifat kehidupan yakni: sabbehi me piyehi manāpehi nānābhāvo
vinābhāvo yang artinya segala milikku yang kucintai dan kusayangi wajar
berubah, wajar terpisah dariku. Dengan memahami hal ini, rasa khawatir akan
mampu teratasi. Karena inilah sifat alami perubahan dalam kehidupan ini.
4. Hidup
saat ini (Sadar)
Kekhawatiran juga akan mampu kita atasi, ketika kita mampu untuk hidup saat ini dengan sadar. Sebab saat ini adalah penentu masa depan kita, hari esok ada diawali oleh hari ini. Di saat ini, kita perlu berbuat dengan sadar, agar saat ini kita dapat melakukan yang terbaik. Jika kita sudah melakukan yang terbaik, sudah berusaha yang terbaik serta sudah mengkondisikan yang terbaik, maka kita tidak akan mengalami rasa khawatir lagi.
Kekhawatiran juga akan mampu kita atasi, ketika kita mampu untuk hidup saat ini dengan sadar. Sebab saat ini adalah penentu masa depan kita, hari esok ada diawali oleh hari ini. Di saat ini, kita perlu berbuat dengan sadar, agar saat ini kita dapat melakukan yang terbaik. Jika kita sudah melakukan yang terbaik, sudah berusaha yang terbaik serta sudah mengkondisikan yang terbaik, maka kita tidak akan mengalami rasa khawatir lagi.
5. Sebaliknya, jika kita tidak sadar pada
hidup saat ini, pikiran kita akan pergi jauh ke depan, dan hal ini merupakan
sebab kekhawatiran timbul. Jika ada gambaran masa depan yang kita khawatirkan,
cobalah lihat hidup kita saat ini. Karena gambaran tentang masa depan kita akan
menjadi nyata, diawali saat ini, sebab saat ini adalah pengkondisi hari esok
(masa depan).
14-9-12
1. Semoga dengan memahami hal ini kita dapat
mengatasi kekhawatiran dalam diri kita.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
2. Oleh: Bhikkhu Atthadhiro (16 Januari 2011)
3. Dhammapada (bahasa Pali)
atau Dharmapada (bahasa Sansekerta) merupakan salah satu
kitab suci agama Buddha dari bagian Khuddaka Nikāya, yang merupakan salah
satu bagian dari Sutta Pitaka. Dhammapada terdiri dari 26 vagga (bab) atau 423 bait.
4. == Konsep Ketuhanan dalam Buddhisme ==
5. {{main|Tuhan dalam agama Buddha}}
15-9-12
1. Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan
[[Tuhan]]. Konsep [[Tuhan dalam agama Buddha|ketuhanan dalam agama Buddha]]
berbeda dengan konsep dalam [[agama Samawi]] [[dimana]] alam semesta diciptakan
oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke [[surga]]
ciptaan Tuhan yang kekal.
2. {{cquote|Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada
sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang
Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak
Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita
dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang
lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak
Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas
dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.}}
3. Ungkapan di atas adalah pernyataan dari
Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep
Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam
[[bahasa Pali]] adalah ''Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang'' yang
artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan
dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang
tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat
digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak
berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai
kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
4. Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha
Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah
berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain.
Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih
banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha
dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha
yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan
konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.
5. Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha
seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep
Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak
konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan
dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang
[[alam semesta]], [[terbentuknya Bumi]] dan [[evolusi manusia|manusia]],
kehidupan manusia di alam semesta, [[kiamat]] dan Keselamatan atau Kebebasan.
16-9-12
1. Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup
manusia adalah mencapai kebuddhaan (''anuttara samyak sambodhi'') atau
pencerahan sejati [[dimana]] satu makhluk tidak perlu lagi mengalami proses
[[tumimbal lahir]]. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak
ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha
sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu,
dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai
pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.
2. Saṃsāra • Nibbāṇa
Jalan Tengah
Jalan Utama Berunsur Delapan
Empat Kebenaran Mulia
Tahap Pencerahan
Pedoman
Jalan Tengah
Jalan Utama Berunsur Delapan
Empat Kebenaran Mulia
Tahap Pencerahan
Pedoman
3.
Tiga Mustika
4. Buddha Mahayana
17-9-12
1. Patung Buddha Tian Tan. Vihara Po Lin,
pulau Lantau, Hong Kong
2. Sutra
Teratai merupakan rujukan sampingan penganut Buddha aliran Mahayana.
Tokoh Kwan Im
yang bermaksud "maha mendengar" atau nama Sansekertanya "Avalokiteśvara"
merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai telah menitis beberapa kali
dalam alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia
diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut. Menurut
sejarahnya Avalokitesvara adalah seorang lelaki murid Buddha, akan tetapi
setelah pengaruh Buddha masuk ke Tiongkok, profil ini perlahan-lahan berubah
menjadi sosok feminin dan dihubungkan dengan legenda yang ada di Tiongkok
sebagai seorang dewi.
3. Penyembahan kepada Amitabha Buddha
(Amitayus) merupakan salah satu aliran utama Buddha Mahayana. Sorga
Barat merupakan tempat tujuan umat Buddha aliran Sukhavati selepas mereka
meninggal dunia dengan berkat kebaktian mereka terhadap Buddha Amitabha dimana mereka tidak
perlu lagi mengalami proses reinkarnasi dan dari sana menolong semua makhluk
hidup yang masih menderita di bumi.
4. Mereka mempercayai mereka akan lahir semula
di Sorga Barat untuk menunggu saat Buddha Amitabha memberikan khotbah Dhamma dan Buddha
Amitabha akan memimpin mereka ke tahap mencapai 'Buddhi' (tahap kesempurnaan dimana kejahilan,
kebencian dan ketamakan tidak ada lagi). Ia merupakan pemahaman Buddha yang
paling disukai oleh orang Tionghoa.
5. Seorang Buddha bukannya dewa atau makhluk
suci yang memberikan kesejahteraan. Semua Buddha adalah pemimpin segala
kehidupan ke arah mencapai kebebasan daripada kesengsaraan. Hasil amalan ajaran
Buddha inilah yang akan membawa kesejahteraan kepada pengamalnya.
16-9-12
1. Menurut Buddha
Gautama , kenikmatan Kesadaran Nirwana yang
dicapainya di bawah pohon Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila mereka
dilahirkan sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran Buddha Mahayana
khususnya merujuk kepada banyak Buddha dan juga bodhisattva (makhluk yang tekad "committed" pada
Kesadaran tetapi menangguhkan Nirvana mereka agar dapat membantu orang lain
pada jalan itu). Dalam Tipitaka suci - intipati teks suci Buddha - tidak terbilang Buddha
yang lalu dan hidup mereka telah disebut "spoken of", termasuk Buddha
yang akan datang, Buddha Maitreya .
Buddha
Theravada
3. Aliran Theravada adalah aliran yang
memiliki sekolah Buddha tertua yang tinggal sampai saat ini, dan untuk berapa
abad mendominasi Sri Langka dan wilayah Asia
Tenggara (sebagian dari Tiongkok bagian barat daya, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Indonesia dan
Thailand)
dan juga sebagian Vietnam.
Selain itu populer pula di Singapura dan Australia.
Gramatika
4. Theravada berasal dari bahasa Pali
yang terdiri dari dua kata yaitu thera dan vada. Thera berarti sesepuh khususnya sesepuh
terdahulu , dan vada berarti perkataan atau ajaran. Jadi Theravada berarti
Ajaran Para Sesepuh.
Istilah
Theravada muncul sebagai salah satu aliran agama Buddha dalam Dipavamsa, catatan awal sejarah Sri Lanka
pada abad ke-4 Masehi. Istilah ini juga tercatat dalam Mahavamsa, sebuah catatan
sejarah penting yang berasal dari abad ke-5 Di yakini Theravada merupakan wujud
lain dari salah satu aliran agama Buddha terdahulu yaitu Sthaviravada (Bahasa
Sanskerta: Ajaran Para Sesepuh) , sebuah aliran agama Buddha awal yang
terbentuk pada Sidang Agung Sangha
ke-2 (443 SM). Dan juga merupakan wujud dari aliran Vibhajjavada yang berarti Ajaran Analisis (Doctrine
of Analysis) atau Agama Akal Budi (Religion
of Reason).
Kamis, 19 April 2012
4-9-12
1. Ia yang memotong tiga belenggu pertama
(Pali: tīṇi
saŋyojanāni) menjadi "pemasuk-arus"
(sotapanna);
2. Ia yang memotong tiga belenggu pertama dan
secara berarti melemahkan dua belenggu berikut untuk menjadi "kembali
sekali" (sakadagami);
3. Ia yang memotong lima belenggu pertama (orambhāgiyāni samyojanāni) menjadi
seorang "tidak-kembali"
(anagami);
5. Hubungan
dengan konsep inti lainnya
5-9-12
1. Sama dengan konsep Buddhis yang ditemukan
di seluruh Kanon Pali termasuk lima hambatan (nīvaraṇāni)
dan sepuluh kekotoran (kilesā).
Dengan perbandingan, dalam tradisi Theravada,
belenggu-belenggu menjangkau kehidupan berlipat kali dan sangat sulit untuk
dihapus, sedangkan hambatan bersifat rintangan sementara.
2. Kekotoran mencakup seluruh kekotoran batin termasuk belenggu dan hambatan.
3.
Bertambahnya Pelaku Kejahatan
4.
dan Apa Pengaruhnya Terhadap Usia Manusia?
5.
Selama
akibat dari perbuatan jahat belum masak, si pembuat kejahatan menganggap
perbuatan jahatnya sebagai hal yang menguntungkan, tetapi setelah akibat dari
perbuatan jahatnya sudah masak, ia akan menyadari kerugian dari perbuatan jahat
tersebut. (Dhammapada,
119)
6-9-12
1.
Akhir-akhir
ini khususnya di negeri kita pelaku kejahatan setiap hari semakin bertambah.
Mengapa orang-orang itu tidak takut dosa? Mengapa orang-orang itu tidak takut
karma? Apakah mereka itu tidak beragama? Begitulah mungkin yang sering kita
keluhkan selama ini. Dari pertanyaan di atas bisa kita jawab bahwa mereka
sebenarnya takut juga akan dosa, takut juga akan hukuman tetapi mungkin karena
masih ada waktu untuk bertaubat, masih ada waktu untuk meminta ampun dan
mengakui kesalahan yang pernah mereka lakukan. Mereka juga adalah orang-orang
yang beragama tetapi mungkin karena tidak melaksanakan ajaran agamanya sehingga
mereka tidak mengikuti aturan apa yang telah dilarang dan dianjurkan dalam
agama tersebut.
2.
Mengapa pelaku kejahatan semakin bertambah?
Ya, pelaku kejahatan bertambah bukan karena hidup mereka miskin, bukan karena tidak punya pekerjaan, bukan karena tidak berpendidikan dan lain-lain, tetapi yang membuat mereka berbuat jahat adalah karena keserakahan (lobha) tidak pernah merasa puas dan cukup. Coba saja kita saksikan akhir-akhir ini yang berbuat jahat bukan lagi pelakunya orang-orang miskin tetapi orang-orang kaya, memiliki pekerjaan dan berpendidikan.
Ya, pelaku kejahatan bertambah bukan karena hidup mereka miskin, bukan karena tidak punya pekerjaan, bukan karena tidak berpendidikan dan lain-lain, tetapi yang membuat mereka berbuat jahat adalah karena keserakahan (lobha) tidak pernah merasa puas dan cukup. Coba saja kita saksikan akhir-akhir ini yang berbuat jahat bukan lagi pelakunya orang-orang miskin tetapi orang-orang kaya, memiliki pekerjaan dan berpendidikan.
3.
Dari tema di
atas mungkin kita akan bertanya apakah di jaman dahulu pelaku kejahatan sudah
ada? Untuk menjawab hal ini, telah diceritakan dalam Cakkavati-sihanada Sutta
bahwa di jaman dahulu ada seorang raja bernama Dalhanemi, raja ini memiliki
tujuh pusaka, yaitu: pusaka-roda, pusaka-gajah, pusaka-kuda, pusaka-permata,
pusaka-perempuan, pusaka-perumah tangga, dan pusaka-penasihat.
4.
Dia
memerintah sesuai Dhamma, menjunjung tinggi Dhamma, bergantung pada Dhamma,
memuja Dhamma dan menghormati Dhamma.
5.
Selama
pemerintahan dan kekuasaannya negara aman rakyatnya hidup makmur dan damai.
Setelah masa tuanya raja ini melimpahkan jabatannya kepada putranya dan
putranya pun memerintah sesuai Dhamma. Begitu juga dengan raja ke-dua, ke-tiga,
ke-empat, ke-lima, ke-enam dan ke-tujuh. Setelah raja ke-tujuh inilah
Pusaka-Roda suci pemerintahan sesuai Dhamma lenyap.
7-9-12
1. Demikianlah diceritakan, dari tidak
memberikan kepada mereka yang membutuhkan, kemiskinan berkembang, dari
meningkatnya kemiskinan, tindakan mengambil yang tidak diberikan meningkat,
dari meningkatnya pencurian, penggunaan senjata meningkat, dari meningkat
penggunaan senjata, pembunuhan meningkat – dan dari meningkatnya pembunuhan,
umur kehidupan manusia menurun, kecantikan mereka memudar, dan sebagai akibat
dari menurunnya umur kehidupan dan kecantikan ini, anak-anak dari mereka yang
umur kehidupannya delapan puluh ribu tahun hanya hidup selama empat puluh ribu
tahun.
2. Kemudian dari pembunuhan, kebohongan
meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya
empat puluh ribu tahun hanya hidup selama dua puluh ribu tahun.
3. tindakan mengadukan kejahatan orang lain
meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya
dua puluh ribu tahun hanya hidup selama sepuluh ribu tahun.
4. Pelanggaran seksual meningkat, dan sebagai
akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya sepuluh ribu tahun
hanya hidup selama lima
ribu tahun.
dua hal meningkat: ucapan kasar dan
pembicaraan yang tidak bertujuan, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari
mereka yang umur kehidupannya lima ribu tahun,
beberapa hidup selama dua ribu lima
ratus tahun, dan beberapa hidup selama dua ribu tahun.
5. Iri hati dan kebencian meningkat, dan
sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya dua ribu lima ratus tahun, hanya
hidup selama seribu tahun. --- pendapat-pendapat salah meningkat dan sebagai
akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya seribu
tahun, hanya hidup selama lima
ratus tahun. --- tiga hal meningkat: hubungan seksual sedarah, keserakahan
berlebihan, dan praktik-praktik menyimpang dan sebagai akibatnya,
anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya lima
ratus tahun, beberapa hidup selama dua ratus lima puluh tahun, dan beberapa hidup selama
dua ratus tahun.
8-9-12
1. kuranganya hormat kepada ayah dan ibu,
kepada para petapa dan brahmana, dan kepada kepala-kepala suku menjadi
meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya
dua setengah abad hanya hidup selama seratus tahun.
2. Para bhikkhu, akan tiba saatnya ketika
anak-anak dari orang-orang ini memiliki umur kehidupan selama hanya sepuluh
tahun. Dan bersama mereka, anak-anak perempuan akan menikah pada usia lima tahun. Dan bersama
mereka rasa-rasa kecapan ini akan lenyap: ghee, mentega, minyak wijen, sirup,
dan garam. Di antara semua itu, padi kudrusa akan menjadi makanan pokok,
seperti halnya nasi dan kari pada masa sekarang.
3. Dan bersama mereka yang memiliki umur
kehidupan sepuluh tahun, tidak memahami kata ‘moral’, jadi bagaimana mungkin
ada orang yang dapat melakukan perbuatan bermoral? Orang-orang itu yang tidak
menghormati ayah dan ibu, para petapa dan brahmana, kepala-kepala suku, akan
menjadi orang-orang yang menikmati kehormatan dan martabat.
4. Seperti halnya sekarang, orang-orang yang
menghormati ayah dan ibu, para petapa dan brahmana, kepala-kepala suku, dipuji
dan dihormati, demikian pula halnya dengan mereka yang melakukan sebaliknya…
5. Di antara mereka yang memiliki umur
kehidupan sepuluh tahun, tidak ada yang dianggap ibu atau bibi, saudara ibu,
istri guru, atau istri ayah dan lain-lain – semua dianggap sama di dunia ini
seperti kambing dan domba, unggas dan babi, anjing dan srigala. Di antara
mereka, permusuhan sengit akan terjadi satu sama lain, kebencian hebat,
kemarahan besar, dan pikiran membunuh, antara ibu melawan anak dan anak melawan
ibu, ayah melawan anak dan anak melawan ayah, saudara laki-laki melawan saudara
laki-laki, saudara laki-laki melawan saudara perempuan, bagaikan pemburu yang
merasakan kebencian terhadap binatang yang ia buru, dst...
9-9-12
1. Selanjutnya ada Tujuh Sifat Baik sebagai
pedoman dalam kehidupan ini yang harus kita laksanakan dan dikembangkan:
Keyakinan
Rasa malu untuk berbuat jahat
Rasa takut akan perbuatan jahat
Banyak pengetahuan
Keteguhan batin
Perhatian yang kuat
Kebijaksanaan.
(Mahāparinibbāna Sutta)
Keyakinan
Rasa malu untuk berbuat jahat
Rasa takut akan perbuatan jahat
Banyak pengetahuan
Keteguhan batin
Perhatian yang kuat
Kebijaksanaan.
(Mahāparinibbāna Sutta)
2. Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā.
INTROSPEKSI
MEMPERKOKOH KEWASPADAAN
3. Appamādo amatapadaṁ,
pamādo maccuno padaṁ
Appamattā na mῑyanti, ye pamattā yathā mathā’ti
Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan;
Kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada
tidak akan mati, tetapi orang yang lengah seperti orang yang sudah mati.
(Dhammapada 21)
Appamattā na mῑyanti, ye pamattā yathā mathā’ti
Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan;
Kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada
tidak akan mati, tetapi orang yang lengah seperti orang yang sudah mati.
(Dhammapada 21)
4. Berbuat sesuatu dengan melihat dan
mengamati ke dalam diri sendiri adalah perbuatan yang sebetulnya sangat perlu
dilakukan oleh setiap individu manusia. Sebagai individu manusia, berada di
tengah-tengah masyarakat dalam status apapun seharusnya memiliki tanggung jawab
untuk mengendalikan sikap dan tingkah lakunya sendiri.
5. Percaya
Diri Sendiri
Apabila seseorang pernah mengalami sesuatu yang sangat terkesan dan tidak bisa dilupakan, apakah itu pengalaman yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan, akan menjadi sebuah ingatan yang paling jelas teringat dalam pikirannya. Untuk itu seharusnya ia berusaha melakukan perenungan hingga mampu menyadari hikmah apa sesungguhnya yang secara langsung bisa terkait dengan pengalaman itu, adalah yang disebut belajar dari pengalaman.
Apabila seseorang pernah mengalami sesuatu yang sangat terkesan dan tidak bisa dilupakan, apakah itu pengalaman yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan, akan menjadi sebuah ingatan yang paling jelas teringat dalam pikirannya. Untuk itu seharusnya ia berusaha melakukan perenungan hingga mampu menyadari hikmah apa sesungguhnya yang secara langsung bisa terkait dengan pengalaman itu, adalah yang disebut belajar dari pengalaman.
10-9-12
1.
Dalam Dhamma
diajarkan, "self is the protector of self" – “Diri sendiri adalah pelindung
diri sendiri”. Kita harus berusaha untuk mengerti ketergantungan dan
kecenderungan diri sendiri terhadap pihak luar di luar diri kita yang selalu
diharapkan. Kita harus mencoba melepaskan diri dari hal seperti itu dan
mengalihkan perhatian ke dalam diri kita sendiri yang sesungguhnya. Kita tidak
boleh tergantung kepada orangtua, sahabat dan yang lain-lain terlalu banyak
sampai lupa terhadap diri sendiri. Hal itu berakibat karakter kita bisa secara
terus-menerus mencari dan mengejar hingga menjadi sebuah kebiasaan yang sangat
melekat dan sulit diatasi. Justru demikianlah adanya di seluruh dunia, sehingga
dengan alasan itu Sang Buddha mengajarkan tentang percaya diri.
2.
Sifat
percaya diri tentu sangat berbeda dengan sifat memiliki ketergantungan dari luar
diri sendiri. Memiliki sifat ketergantungan diri seseorang jelas-jelas akan
menghadapi bahaya yang sangat riskan dan berakibat fatal. Sedangkan percaya
diri berarti dalam berbagai hal seseorang akan selalu kembali kepada dirinya
sendiri. Dalam usaha apa saja bisa berhasil, ia akan tahu bahwa perjuangannya
sendiri adalah penyebab utama dari keberhasilan itu. Namun apabila usahanya
gagal pun ia akan berusaha sedapat mungkin menemukan sebab-sebab dari kegagalan
itu dan akan kembali pula semua itu bertitik pangkal dari dirinya sendiri.
Apabila ia mampu melakukan hal itu bararti ia telah bercermin pada dirinya
sendiri dan ini namanya introspeksi diri, menjadi percaya diri.
3.
Apabila kita
menghadapi suatu masalah namun kita melakukan introspeksi diri atau melihat ke
dalam diri kita sendiri, maka kita tidak akan mencari kesalahan keluar dari
diri kita sendiri. Kita akan menemukan dan mengerti bahwa hal itu tersangkut
dengan diri kita sendiri sehingga kita akan tahu juga bahwa masalah itu adalah
akibat dari perbuatan kita sendiri.
4. Dengan introspeksi diri kita akan menjadi
waspada dan hati-hati dalam menghadapi berbagai hal di dunia ini. Kalau kita
sudah berusaha untuk selalu waspada dalam menghadapi masalah hidup dan
kehidupan ini, maka sifat kita yang selalu waspada itu menjadi suatu kebiasaan
hidup kita yang sangat baik. Waspada berarti selalu dalam kondisi sadar, siap
menghadapi semua tantangan hidup dan terus menjalankan tugas dan kewajiban
sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat.
5. Introspeksi
Diri Menumbuhkan Rasa Percaya Diri
Orang yang terbiasa introspeksi diri dan waspada dalam sikap hidupnya akan terlihat damai dan tenang, tidak mudah terpengaruh oleh persoalan-persoalan negatif yang mungkin tidak perlu diperhatikan. Introspeksi diri menjadi penting bagi siapa pun yang mengharapkan kemudahan dan kelancaran dalam segala hal.
Orang yang terbiasa introspeksi diri dan waspada dalam sikap hidupnya akan terlihat damai dan tenang, tidak mudah terpengaruh oleh persoalan-persoalan negatif yang mungkin tidak perlu diperhatikan. Introspeksi diri menjadi penting bagi siapa pun yang mengharapkan kemudahan dan kelancaran dalam segala hal.
Selasa, 17 April 2012
karma
Karma (bahasa Sanskerta: कर्म
Karma.ogg (bantuan·info)),
karma, (Karman ;"bertindak,
tindakan, kinerja"[1]); (Pali:kamma) adalah konsep "aksi" atau
"perbuatan" yang dalam agama India
dipahami sebagai sesuatu yang menyebabkan seluruh siklus kausalitas
(yaitu, siklus yang disebut "samsara").
Konsep ini berasal dari India kuno
dan dijaga kelestariannya di filsafat Hindu, Jain, Sikh dan Buddhisme. [2].
Dalam konsep "karma", semua yang dialami manusia adalah hasil dari
tindakan kehidupan masa lalu dan sekarang. Efek karma dari semua
perbuatan dipandang sebagai aktif membentuk masa lalu, sekarang, dan
pengalaman masa depan. Hasil atau 'buah' dari tindakan disebut karma-phala.[3]
Karena pengertian Karma adalah pengumpulan efek-efek (akibat) tindakan/perilaku/sikap dari kehidupan yang lampau dan yang menentukan nasib saat ini, maka karma berkaitan erat dengan kelahiran kembali (Reinkarnasi). Segala tindakan/perilaku/sikap baik maupun buruk seseorang saat ini juga akan membentuk karma seseorang dikehidupan berikutnya.
Karena pengertian Karma adalah pengumpulan efek-efek (akibat) tindakan/perilaku/sikap dari kehidupan yang lampau dan yang menentukan nasib saat ini, maka karma berkaitan erat dengan kelahiran kembali (Reinkarnasi). Segala tindakan/perilaku/sikap baik maupun buruk seseorang saat ini juga akan membentuk karma seseorang dikehidupan berikutnya.
bab 4 kesunyataan mulia kedua
DHAMMA-SARI
Disusun oleh : Maha Pandita Sumedha
Widyadharma
Penerbit : Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda
Cetakan Kesembilan, 1994
Penerbit : Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda
Cetakan Kesembilan, 1994

BAB IV
KESUNYATAAN MULIA KEDUA
DUKKHA SAMUDAYA : SUMBER DUKKHA
Kesunyataan Mulia Kedua membahas sumber atau permulaan dukkha
(Dukkha samudaya ariyasacca). Definisi populer dan terkenal
yang dapat dijumpai dalam teks-teks asli berbunyi sbb. :
“Dukkha bersumber kepada tanha (Kehausan, nafsu
keinginan yang tak habis-habisnya) yang menghasilkan
kelangsungan kembali dan tumimbal-lahir (ponobhavika),
yang terikat oleh hawa nafsu (nandiragasahagata), dan yang memperoleh
kenikmatan baru di sana-sini (tatratatrabhinandini),
yaitu :- kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan kenikmatan hawa nafsu ( kama-tanha )
- kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan kelangsungan dan kelahiran ( bhava-tanha )
- kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan tidak kelangsungan atau “pemusnahan diri” ( vibhava-tanha ).
Dengan demikian kita lihat, kehausan atau tanha itu bukanlah satu-satunya sebab timbulnya dukkha; meskipun tidak dapat disangkal merupakan sebab yang nyata, yang terdekat dan yang terpenting.
Dalam beberapa kitab teks Pali yang asli dapat ditemukan definisi dari samudaya sebagai sumber dukkha yang di dalamnya, termasuk juga noda-noda dan kekotoran batin (kilesi, sasava-dhamma) di samping tanha sebagai sebab utama. Dalam pembahasan kita yang serba terbatas dalam halaman buku ini, maka cukup kiranya kalau kita senantiasa ingat bahwa tanha sebenarnya berpokok pangkal kepada anggapan keliru tentang adanya “aku” yang timbul dari avijja (ketidak tahuan).
Di sini istilah tanha bukan saja berarti keinginan akan dan terikat kepada hawa nafsu, harta benda dan kekuasaan tetapi berarti juga keinginan akan dan terikat kepada ide-ide dan cita-cita, pandangan hidup, opini-opini, teori-teori, konsepsi-konsepsi dan kepercayaan-kepercayaan (dhamma-tanha).
Menurut analisa dalam agama Buddha, semua kesulitan dan perselisihan di dunia ini, dari perselisihan kecil dalam keluarga sampai dengan peperangan besar antara negara dengan negara, timbul dari tanha ini yang mementingkan diri sendiri saja (Majjhima Nikaya 13, Maha Dukkhanda Sutta).
Dari sudut pandangan ini, semua persoalan ekonomi, politik dan sosial bersumber pada tanha yang egoistis ini. Para negarawan terkenal yang mencoba menyelesaikan persoalan internasional dan berbicara perihal perang dan damai, ekonomi dan politik hanya membicarakan kulit persoalan dan tidak pernah menyentuh akarnya yang lebih dalam.
Sang Buddha pernah bersabda kepada Ratthapala: “Dunia ini membutuhkan, menginginkan dengan sangat dan kemudian terikat kepada tanha.” (Majjhima Nikaya 82, Ratthapalasutta).
Setiap orang harus mengakui bahwa semua kejahatan dan perselisihan dalam dunia ini disebabkan oleh keinginan yang egoistis. Ini tidak susah untuk dimengerti. Tetapi, bagaimana keinginan yang egoistis ini dapat mengakibatkan kelangsungan-kembali dan kelahiran-kembali (Ponobhavika) mungkin tidaklah mudah untuk dipahami.
Di sini kita akan membahas sudut filosofi yang lebih dalam dari Kesunyataan Mulia Kedua dalam hubungannya dengan sudut filosofi dari Kesunyataan Mulia Pertama.
Tetapi terlebih dulu kita harus mendapat sedikit pengetahuan mengenai hukum kamma dan tumimbal-lahir.
Kita mengenal empat macam “makanan” (ahara) yang menjadi sebab atau kondisi yang harus dipenuhi agar makhluk-makhluk dapat lahir dan berlangsung, yaitu :
- makanan biasa ( kabalinkarahara )
- kontak dari enam indria kita dengan dunia luar ( phassahara )
- kesadaran ( viññanahara )
- kehendak atau kemauan batin ( manosañcetanahara )
manosañcetana terdiri dari :
mano = batin
sañña = pencerapan
cetana = kemauan, kehendak.
Hal ini sama seperti kehendak (cetana). Di bagian depan kita telah melihat bahwa kehendak (cetana) itulah kamma, sebagaimana didefinisikan oleh Sang Buddha sendiri.
Mengenai cetana ini, Sang Buddha sendiri pernah bersabda: “Siapa yang mengerti makanan dari cetana ia juga akan mengerti tiga bentuk tanha (kehausan).” Oleh karena. itu, tanha (kehausan), kehendak, kehendak mental dan kamma semuanya mempunyai arti yang sama, yaitu keinginan atau kemauan untuk “ada”, untuk hidup, untuk hidup kembali, untuk lebih sempurna lagi, untuk berkembang lebih baik, untuk menghimpun lebih banyak lagi.
Inilah sebab timbulnya dukkha dan ini dapat ditemukan dalam Kelompok Kegemaran dari Bentuk-bentuk Pikiran, yaitu salah satu dari Lima Kelompok Kegemaran yang merupakan unsur dari seorang manusia.
Ini merupakan ajaran Sang Buddha yang penting sekali. Kita harus mengerti dengan baik dan harus senantiasa ingat bahwa sebab, bibit dari timbulnya dukkha adalah di dalam dukkha itu sendiri dan bukan berada di luarnya, dan kita harus mempunyai pengertian yang sama dan selalu ingat bahwa sebab, bibit untuk menghentikan dukkha, untuk menyingkirkan dukkha secara total, juga terletak di dalam dukkha itu sendiri dan bukan berada di luarnya.
Inilah apa yang dimaksudkan dengan sebuah pepatah Pali terkenal yang berbunyi sbb. : Yangkiñci Samudayadhammang Sabbang Tang Nirodhadhammang. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah : Di dalam segala sesuatu yang timbul karena suatu sebab terdapat sebab yang membuatnya musna kembali.
Kalau di dalam satu makhluk, satu benda atau satu sistem terdapat kekuatan untuk menimbulkannya (menciptakannya), di dalamnya pun terdapat kekuatan atau bibit yang dapat menghentikannya atau menghancurkannya.
Di dalam dukkha (Lima Kelompok Kegemaran) yang mengandung kekuatan untuk menimbulkan, juga terdapat kekuatan untuk menghentikannya. Hal ini akan kita temukan dalam pembahasan mengenai Kesunyataan Mulia Ketiga (Nirodha).
Perkataan Kamma (Pali) atau Karma (Sansekerta) menurut hurufnya berarti “action” atau perbuatan. Tetapi, dalam agama Buddha kamma mempunyai arti khusus, yaitu hanya diartikan sebagai “perbuatan kehendak” dan bukan dalam arti perbuatan pada umumnya. Kamma juga jangan disalah artikan sebagai akibat dari suatu perbuatan. Dalam terminologi Buddhis, kamma belum pernah diartikan sebagai satu akibat; akibatnya dikenal sebagai “buah” atau “hasil” karma (kamma-phala atau kamma-vipaka).
Kehendak secara relatif dapat bersifat baik atau buruk, sebagaimana juga keinginan dapat saja baik atau buruk. Begitu pula kamma secara relatif dapat saja baik atau buruk. Karma baik (kusala-kamma) menghasilkan akibat yang baik dan karma buruk (akusala-kamma) menghasilkan akibat yang buruk.
Tanha (nafsu keinginan), kehendak, kamma yang baik atau buruk, semuanya dapat menimbulkan tenaga atau kekuatan untuk belangsung ke arah yang baik atau yang buruk. Baik dan buruk ini pun sebenarnya relatif karena ia bergerak di dalam lingkaran dari Samsara (Lingkaran tumimbal-lahir).
Seorang Arahat meskipun berbuat sesuatu tidak akan menimbun karma karena ia telah terbebas dari konsepsi palsu tentang adanya “aku”, terbebas dari tanha (nafsu keinginan) untuk berlangsung dan lahir-kembali, terbebas dari segala macam noda dan kekotoran batin (kilesa, sasava dhamma). Beliau tak akan bertumimbal lahir lagi di dunia ini.
Semua perbuatan kehendak menimbulkan akibat atau hasil. Perbuatan baik akan membawa akibat baik dan perbuatan buruk akan membawa akibat buruk. Hal ini sebetulnya bukan merupakan pahala atau hukuman yang dijatuhkan oleh orang lain atau suatu kekuatan yang mengadili tiap-tiap perbuatan seseorang melainkan hal ini terjadi berkat pembawaannya sendiri, hukumnya sendiri.
Hal di atas tak begitu sulit untuk dimengerti. Tetapi agak lebih sulit untuk dimengerti bahwa menurut hukum kamma satu perbuatan kehendak dapat terus memperlihatkan diri sampai pada kehidupan sesudah orang meninggal dunia.
Marilah kita bahas persoalan di atas dengan terlebih dulu menerangkan apa yang dinamakan “kematian” menurut paham agama Buddha. Kita semua tahu bahwa yang dinamakan manusia itu sebenarnya terdiri dari dua kelompok kekuatan, yaitu kelompok fisik dan mental. Yang kita namakan kematian pada hakekatnya berarti, bahwa badan jasmani (fisik) kita pada saat itu berhenti berfungsi secara total. Apakah pada saat yang bersamaan kelompok kekuatan mental kita juga berhenti berfungsi? Buddha Dhamma secara tegas mengatakan: “Tidak”.
Kemauan, kehendak, keinginan, kehausan untuk hidup, untuk berlangsung terus, untuk menjadi lebih sempurna lagi, merupakan kekuatan raksasa yang menggerakkan semua kehidupan, seluruh keadaan hidup, bahkan seluruh dunia ini. Ia merupakan kekuatan yang terbesar, energi yang terhebat di dunia ini.
Menurut agama Buddha, kekuatan ini tidak turut berhenti dengan tidak berfungsinya lagi secara total badan jasmani kita; ia terus memanifestasikan diri dalam bentuk lain yang menghasilkan kelahiran kembali yang lazim disebut sebagai tumimbal-lahir.
Sekarang pertanyaan lain akan timbul: Kalau tidak ada sesuatu yang tetap, tidak ada inti yang kekal abadi seperti Atma atau Atta, apakah gerangan yang berlangsung kembali atau dilahirkan kembali sesudah orang itu mati?
Sebelum kita membahas kehidupan sesudah mati, marilah kita tinjau dulu apa sebenarnya kehidupan sekarang ini dan bagaimana ia berlangsung.
Yang dinamakan kehidupan, sebagaimana sudah berulangkali dikatakan, adalah perpaduan dan kerja-sama antara Lima Kelompok Kegemaran, yaitu kerja-sama secara terpadu antara kekuatan-kekuatan fisik dan mental. Mereka senantiasa berubah-ubah dan tidak sama meskipun untuk sesaat. Setiap saat mereka dilahirkan dan setiap saat pula mereka mati. Sang Buddha pernah bersabda: “Sebagaimana Kelompok Kegemaran itu timbul, menjadi lapuk dan mati, O bhikkhu, engkau pun, setiap saat dilahirkan, menjadi lapuk dan mati”.
Oleh karena itu, sekarang pun dalam kehidupan ini, engkau setiap saat dilahirkan, menjadi lapuk dan mati namun engkau masih tetap berlangsung. Kalau kita dapat menerima bahwa dalam penghidupan ini kita dapat berlangsung tanpa ada suatu substansi seperti Atta atau Jiwa (yang kekal dan tidak berubah) mustahil kita tidak dapat menerima bahwa kekuatan-kekuatan itu juga dapat berlangsung tanpa Atta atau Jiwa setelah badan jasmani kita tidak berfungsi lagi.
Kalau badan jasmani ini tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya, kekuatan-kekuatan tersebut tidak turut mati, melainkan tetap berlangsung dengan mengambil bentuk lain yang lazim kita sebut sebagai “kehidupan lain”.
Di dalam diri seorang anak, semua kekuatan fisik, mental dan intelektual masih lembut dan lemah, tetapi mereka mempunyai potensi untuk kelak membentuk seorang manusia dewasa. Di dalam kekuatan fisik dan mental yang merupakan bagian dari apa yang disebut “manusia” itu terdapat potensi untuk mengambil bentuk baru untuk kemudian berangsur-angsur tumbuh menjadi seorang dewasa.
Oleh karena tidak terdapat satu subtansi (inti) yang kekal dan tidak berubah, maka tidak dapat ditemukan sesuatu yang datang dan pergi dari satu saat ke saat yang lain. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa tidak terdapat sesuatu yang kekal dan abadi yang dari satu kehidupan pindah ke kehidupan yang lain. Ia hanya merupakan satu rangkaian yang berlangsung terus menerus, tetapi tiap saat berubah-ubah. Sesungguhnya, rangkaian itu tak lain dan tak bukan merupakan gerakan belaka. Seperti juga api yang menyala sepanjang malam; api yang menyala pada permulaan malam dan api yang menyala pada akhir malam tidak sama namun juga tidak berbeda.
Seorang anak tumbuh menjadi seorang kakek berumur 60 tahun. Terang bahwa kakek tersebut tidak sama dengan seorang anak pada 60 tahun yang lalu, namun ia sebenarnya juga bukan orang lain.
Begitu juga halnya dengan orang yang mati di sini dan bertumimbal lahir di tempat lain; ia bukan orang yang sama dan juga bukan orang yang lain. Orang tersebut merupakan kelangsungan dari satu rangkaian yang sama. Perbedaan antara mati dan lahir-kembali hanya merupakan pikiran pada satu saat (thought moment). “Thought moment” yang terakhir dalam kehidupan ini menciptakan kondisi untuk “thought moment” yang pertama dalam kehidupan yang berikutnya, yang pada hakekatnya merupakan kelangsungan dari satu rangkaian yang sama.
Dalam kehidupan sekarang juga, satu “thought moment” menciptakan kondisi untuk timbulnya satu “thought moment” yang berikutnya. Oleh karena itu, menurut pandangan seorang Buddhis, persoalan hidup dan mati bukanlah merupakan satu persoalan yang diliputi rahasia besar dan seorang Buddhis tidak begitu merisaukan persoalan ini. Selama masih ada kehausan untuk menjadi dan berlangsung, selama itu pula roda samsara akan berjalan terus. Ia hanya dapat berhenti, apabila tenaga pendorongnya yang berupa tanha dapat dikikis habis dengan Kebijaksanaan yang dapat melihat Kebenaran Sejati, Kesunyataan, Nibbana.
Langganan:
Komentar (Atom)