Translate

Kamis, 13 Desember 2012

nomor cantik baru

Rp600.000 0857-1999-1001 Rp600.000 08577-6667778 Rp500.000 0857-1000-3111 Rp500.000 0857-1000-4040 Rp500.000 0857-11-003.003 Rp500.000 0857-1100-3999 Rp100.000 0856-9797-4300 Rp100.000 0856-122-9939 Rp100.000 0856-122-9949 Rp100.000 0856-123-0038 Rp100.000 0856-123-0047 Rp100.000 0856-123-0049 Rp100.000 0856-123-0052 Rp100.000 0856-123-0053 Rp100.000 0856-123-0057 Rp100.000 0856-123-0059 Rp100.000 0856-123-0061 Rp100.000 0856-123-0063 Rp100.000 0856-123-0065 Rp100.000 0856-123-0067 Rp100.000 0856-123-0076 Rp100.000 0856-123-0087 Rp100.000 0856-123-0094 Rp100.000 0856-123-0098 Rp100.000 0856-123-01.08 Rp100.000 0856-123-01.09 Rp100.000 0856-123-0113 Rp100.000 0856-123-0114 Rp100.000 0856-123-0141 Rp100.000 0856-123-0161 Rp100.000 0856-123-0181

nomor cantik baru

Rp600.000 0857-1999-1001 Rp600.000 08577-6667778 Rp500.000 0857-1000-3111 Rp500.000 0857-1000-4040 Rp500.000 0857-11-003.003 Rp500.000 0857-1100-3999 Rp100.000 0856-9797-4300 Rp100.000 0856-122-9939 Rp100.000 0856-122-9949 Rp100.000 0856-123-0038 Rp100.000 0856-123-0047 Rp100.000 0856-123-0049 Rp100.000 0856-123-0052 Rp100.000 0856-123-0053 Rp100.000 0856-123-0057 Rp100.000 0856-123-0059 Rp100.000 0856-123-0061 Rp100.000 0856-123-0063 Rp100.000 0856-123-0065 Rp100.000 0856-123-0067 Rp100.000 0856-123-0076 Rp100.000 0856-123-0087 Rp100.000 0856-123-0094 Rp100.000 0856-123-0098 Rp100.000 0856-123-01.08 Rp100.000 0856-123-01.09 Rp100.000 0856-123-0113 Rp100.000 0856-123-0114 Rp100.000 0856-123-0141 Rp100.000 0856-123-0161 Rp100.000 0856-123-0181

nomor cantik baru

Rp600.000 0857-1999-1001 Rp600.000 08577-6667778 Rp500.000 0857-1000-3111 Rp500.000 0857-1000-4040 Rp500.000 0857-11-003.003 Rp500.000 0857-1100-3999 Rp100.000 0856-9797-4300 Rp100.000 0856-122-9939 Rp100.000 0856-122-9949 Rp100.000 0856-123-0038 Rp100.000 0856-123-0047 Rp100.000 0856-123-0049 Rp100.000 0856-123-0052 Rp100.000 0856-123-0053 Rp100.000 0856-123-0057 Rp100.000 0856-123-0059 Rp100.000 0856-123-0061 Rp100.000 0856-123-0063 Rp100.000 0856-123-0065 Rp100.000 0856-123-0067 Rp100.000 0856-123-0076 Rp100.000 0856-123-0087 Rp100.000 0856-123-0094 Rp100.000 0856-123-0098 Rp100.000 0856-123-01.08 Rp100.000 0856-123-01.09 Rp100.000 0856-123-0113 Rp100.000 0856-123-0114 Rp100.000 0856-123-0141 Rp100.000 0856-123-0161 Rp100.000 0856-123-0181

nomor cantik baru

Rabu, 12 Desember 2012

nomor cnatik new

suryadivihara: nomor cantik

suryadivihara: nomor cantik: Rp1.750.000 0838-70-98.98.98  Rp2.000.000 81381123333 Rp2.000.000 81381123344 Rp2.000.000 81317945678 Rp2.000.000 81381118899

nomor cantik

Rp1.750.000 0838-70-98.98.98  Rp2.000.000 81381123333 Rp2.000.000 81381123344 Rp2.000.000 81317945678 Rp2.000.000 81381118899

 Rp    1.750.000 0838-70-98.98.98 
 Rp    2.000.000 81381123333
 Rp  2.000.000 81381123344
 Rp  1.750.000 81317945678








Kamis, 06 Desember 2012

nomor cantik

mw nomor cantik yg bagus tp gk begitu mahal silakan datang ke sini harga lum ongkir semua harga Rp100.000 hub saya ke 085711006995
081319299323
081319299330
081319299331
081319299332
081319299334
081319299335
081319299336
081319299337
081319299338
081319299343
081319299353
lum ongkir harga Rp 250.000 lum ongkir
08170818459
08170818463
08170818497

nomor cantik

Selasa, 09 Oktober 2012

saya menjual segala jenis pulsa jika mw beli pulsa
beli saja di gerai adi cell saya menjual semua pulsa termasuk pulsa pln
ayo teman teman dan cici koko beli pulsa jika mw beli pulsa kirim saja ke nomor
085711006995 / 08128500280 saya jujur ko dalam berjualan saya buka dari jam 16:00 s/dbjam 21:00  jika hari minggu dari jam 06:30 s/d 19:00 sabtu jam 19:00 s/d 21:00 kalau libur dari jam 09:00 s/d 21:00 dari message ke bb saya juga boleh 29D57068 tp mohon ditransfer dulu uangnya thx

Jumat, 27 April 2012

27 april - 2 mei


11 – 9 -12
1.            Karena dengan introspeksi diri bisa menumbuhkan pemahaman yang benar tentang objek yang kita lihat, di luar maupun di dalam diri sendiri, yang dikenal dengan istilah melihat secara objektif, melihat objek sebagaimana apa adanya. Apabila kita mampu melakukan hal ini secara benar, maka pikiran kita akan terhindar dari kekacauan, tidak menimbulkan masalah baru dan menjadi tenang dan waspada, sehingga timbullah kebahagiaan tersendiri dari keadaan seperti itu, dan menjadi percaya diri.
2.            Seseorang yang menempuh proses perjuangan dalam melatih pikiran dari tak terkendali menjadi terlatih dengan penuh kewaspadaan dan timbul ketenangan, maka dia memiliki batin yang damai dan bahagia. Kebahagiaan yang timbul dari pengendalian diri seperti ini adalah keadaan yang dapat bertahan lama meskipun sampai kematian tiba, batin tersebut tetap tenang dan terkendali. Batin tersebut tentu merasa nyaman, tentram, damai, dan bahagia saat itu. Apabila keadaan seperti itu diatur sedemikian rupa bisa bertahan lebih lama lagi, maka kebahagiaan pun bertahan lama. Inilah sesungguhnya makna dari ayat Dhammapada 21 tersebut di atas.  Pemahaman dari pengertian ayat tersebut sesungguhnya timbul dari kebiasaan introspeksi diri harus percaya diri.
3.            Introspeksi diri secara sadar menimbulkan kewaspadaan dan kewaspadaan mengkondisikan timbulnya ketenangan, ketenangan pikiran yang bertahan lama pun membuat kondisi yang jelas membantu timbulnya kebahagiaan. Berbeda dengan sebaliknya, orang lengah atau tidak waspada adalah orang yang terus-menerus dirundung penderitaan, sulit mengenal dirinya sebagaimana adanya, sehingga orang yang tidak waspada sesungguhnya tidak ada artinya hidup, tidak bisa berbuat apa, maka dikatakan seolah-olah atau seperti sudah mati.
4.            Marilah kita menjaga agar kita tetap waspada.
5.            Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

12-9-12

Memahami dan Mengatasi Kekhawatiran

1.                        Atῑtaṁ nānvāgameyya, nappaṭikaṅkhe anāgataṁ
Yadatῑtampahῑnantaṁ, appattañca anāgataṁ.

Tak sepatutnya mengenang sesuatu yang telah berlalu, tak sepatutnya berharap pada sesuatu yang akan datang. Sesuatu yang telah berlalu adalah hal yang sudah lampau,
dan sesuatu yang akan datang adalah hal yang belum tiba.
(Upparipaṇṇāsa, Majjhima Nikāya)

2.                        Kekhawatiran adalah hal tidak asing bagi kita, sebab di antara kita semua pasti pernah mengalami kekhawatiran. Apa-lagi di awal tahun semacam ini, tentu kekhawatiran  sering muncul di dalam benak kita, dan banyak di antara kita ingin bebas dari kekhawatiran itu. Sesungguhnya kekhawatiran atau rasa khawatir adalah hal yang wajar pada diri manusia. Selama seseorang belum terbiasa mengendalikan pikiran dan juga terlatih mengendalikan pikiran, di sana masih ada rasa khawatir.

3.                        Kekhawatiran secara umum dikatakan sebagai perasaan yang terganggu akibat bayangan/pikiran buruk yang kita buat sendiri, yang belum terjadi pada diri kita atau orang-orang terdekat kita. Dalam Dhamma, kekhawatiran itu merupakan bagian dari saṅkhara (bentuk-bentuk pikiran). Karena adanya bentuk-bentuk pikiran yang terus berkembang, maka kekhawatiran akan muncul. Sering kali juga kekhawatiran dikatakan sebagai perusak kebahagiaan dan kedamaian.

4.                        Umumnya orang mengasosiasikan/menghubungkan kekhawatiran sebagai sesuatu yang buruk atau negatif. Padahal tidak selamanya kekhawatiran itu buruk, sebab dengan mengetahui adanya rasa khawatir, orang akan dapat mengantisipasinya di masa mendatang.  Kekhawatiran dikatakan buruk jika rasa khawatir itu berlebihan dan tidak beralasan, sehingga menimbulkan ketakutan, kecemasan, dan penyakit psikis lainnya. Demikian pula kekhawatiran dikatakan baik, jika rasa khawatir itu dapat meningkatkan semangat dan produktivitas untuk berusaha menjadi lebih baik daripada masa sekarang. Misalnya Bodhisatta Siddhartha sebelum menjadi petapa, Beliau mengalami rasa khawatir yang besar akan kehidupan (usia tua, sakit, kematian), tetapi dari hal ini Beliau akhirnya terdorong mencari pembebasan agung.

5.                        Berpikir akan masa depan yang berlebihan
Banyak sekali yang menjadi pemicu munculnya kekhawatiran, umumnya kekhawatiran muncul, ketika seseorang terlalu berpikir kritis tentang masa depan yang berlebihan. Dan ketika berpikir masa depan yang berlebihan, yang bekerja bukan lagi realita (kenyataan), tetapi rekaan-rekaan/khayalan dari pikiran semata. Dari rekaan-rekaan pikiran inilah kekhawatiran muncul. Apabila seseorang  tidak dapat  menghentikan rasa khawatir, maka rasa khawatir akan menjadi terus berkembang, apalagi kalau semakin dipikirkan, rasa khawatir bukannya berkurang, tetapi sebaliknya semakin membesar.
13-9-12
Nafsu keinginan

1.      Selain pikiran yang berlebihan akan masa depan, penyebab lainnya yang menjadi pemicu timbulnya kekhawatiran adalah adanya nafsu keinginan (taṅhā). Karena adanya taṅhā, maka akan timbul kemelekatan, sebab sewaktu seseorang sudah begitu melekat pada apa yang disayangi, maka akan timbul kekhawatiran. Kekhawatiran akan perasaan takut kehilangan yang disayangi dan takut berpisah dengan yang dicintai. Sebab apa saja yang kita sayangi dan kita cintai, jika ada unsur nafsu keinginan pastilah di sana ada kekhawatiran, dan kekhawatiran yang akan kita rasakan sebanding dengan seberapa besar nafsu keinginan dalam diri kita. Semakin besar nafsu keinginan, maka semakin besar pula kekhawatiran yang akan kita alami.
2.      Melihat segala sesuatu sebagaimana adanya
Kekhawatiran dapat kita atasi ketika kita dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Ketika kita dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kita akan dapat memahami apa yang kita khawatirkan dan mengapa kita khawatir. Seperti halnya kalau kita melihat seutas tali tambang yang tertutup sampah, hal ini dapat membuat kita khawatir andai kata kita berpikir itu adalah ular. Tetapi, ketika kita melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kita akan mengetahui bahwa itu hanyalah tali tambang semata, jadi rasa khawatir akan lenyap.
3.      Melihat segala sesuatu sebagaimana adanya juga termasuk melihat sifat alami kehidupan. Dalam abhiṇhapaccavekkhaṇa ada perenungan tentang sifat kehidupan yakni: sabbehi me piyehi manāpehi nānābhāvo vinābhāvo  yang artinya segala milikku yang kucintai dan kusayangi wajar berubah, wajar terpisah dariku. Dengan memahami hal ini, rasa khawatir akan mampu teratasi. Karena inilah sifat alami perubahan dalam kehidupan ini.
4.      Hidup saat ini (Sadar)
Kekhawatiran juga akan mampu kita atasi, ketika kita mampu untuk hidup saat ini dengan sadar. Sebab saat ini adalah penentu masa depan kita, hari esok ada diawali oleh hari ini. Di saat ini, kita perlu berbuat dengan sadar, agar saat ini kita dapat melakukan yang terbaik. Jika kita sudah melakukan yang terbaik, sudah berusaha yang terbaik serta sudah mengkondisikan yang terbaik, maka kita tidak akan mengalami rasa khawatir lagi.
5.      Sebaliknya, jika kita tidak sadar pada hidup saat ini, pikiran kita akan pergi jauh ke depan, dan hal ini merupakan sebab kekhawatiran timbul. Jika ada gambaran masa depan yang kita khawatirkan, cobalah lihat hidup kita saat ini. Karena gambaran tentang masa depan kita akan menjadi nyata, diawali saat ini, sebab saat ini adalah pengkondisi hari esok (masa depan).
14-9-12
1.      Semoga dengan memahami hal ini kita dapat mengatasi kekhawatiran dalam diri kita.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
2.      Oleh: Bhikkhu Atthadhiro (16 Januari 2011)
3.      Dhammapada (bahasa Pali) atau Dharmapada (bahasa Sansekerta) merupakan salah satu kitab suci agama Buddha dari bagian Khuddaka Nikāya, yang merupakan salah satu bagian dari Sutta Pitaka. Dhammapada terdiri dari 26 vagga (bab) atau 423 bait.
4.      == Konsep Ketuhanan dalam Buddhisme ==        
5.      {{main|Tuhan dalam agama Buddha}}      
15-9-12

1.      Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan [[Tuhan]]. Konsep [[Tuhan dalam agama Buddha|ketuhanan dalam agama Buddha]] berbeda dengan konsep dalam [[agama Samawi]] [[dimana]] alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke [[surga]] ciptaan Tuhan yang kekal.     

2.      {{cquote|Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.}}         

3.      Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam [[bahasa Pali]] adalah ''Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang'' yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.  

4.      Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.   

5.      Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang [[alam semesta]], [[terbentuknya Bumi]] dan [[evolusi manusia|manusia]], kehidupan manusia di alam semesta, [[kiamat]] dan Keselamatan atau Kebebasan.       
16-9-12

1.      Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (''anuttara samyak sambodhi'') atau pencerahan sejati [[dimana]] satu makhluk tidak perlu lagi mengalami proses [[tumimbal lahir]]. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.
3.      Tiga Mustika
4.      Buddha Mahayana
5.      Artikel utama untuk bagian ini adalah: Buddha Mahayana
17-9-12
1.      Patung Buddha Tian Tan. Vihara Po Lin, pulau Lantau, Hong Kong
2.      Sutra Teratai merupakan rujukan sampingan penganut Buddha aliran Mahayana. Tokoh Kwan Im yang bermaksud "maha mendengar" atau nama Sansekertanya "Avalokiteśvara" merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai telah menitis beberapa kali dalam alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut. Menurut sejarahnya Avalokitesvara adalah seorang lelaki murid Buddha, akan tetapi setelah pengaruh Buddha masuk ke Tiongkok, profil ini perlahan-lahan berubah menjadi sosok feminin dan dihubungkan dengan legenda yang ada di Tiongkok sebagai seorang dewi.
3.      Penyembahan kepada Amitabha Buddha (Amitayus) merupakan salah satu aliran utama Buddha Mahayana. Sorga Barat merupakan tempat tujuan umat Buddha aliran Sukhavati selepas mereka meninggal dunia dengan berkat kebaktian mereka terhadap Buddha Amitabha dimana mereka tidak perlu lagi mengalami proses reinkarnasi dan dari sana menolong semua makhluk hidup yang masih menderita di bumi.
4.      Mereka mempercayai mereka akan lahir semula di Sorga Barat untuk menunggu saat Buddha Amitabha memberikan khotbah Dhamma dan Buddha Amitabha akan memimpin mereka ke tahap mencapai 'Buddhi' (tahap kesempurnaan dimana kejahilan, kebencian dan ketamakan tidak ada lagi). Ia merupakan pemahaman Buddha yang paling disukai oleh orang Tionghoa.
5.      Seorang Buddha bukannya dewa atau makhluk suci yang memberikan kesejahteraan. Semua Buddha adalah pemimpin segala kehidupan ke arah mencapai kebebasan daripada kesengsaraan. Hasil amalan ajaran Buddha inilah yang akan membawa kesejahteraan kepada pengamalnya.
16-9-12
1.      Menurut Buddha Gautama , kenikmatan Kesadaran Nirwana yang dicapainya di bawah pohon Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila mereka dilahirkan sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran Buddha Mahayana khususnya merujuk kepada banyak Buddha dan juga bodhisattva (makhluk yang tekad "committed" pada Kesadaran tetapi menangguhkan Nirvana mereka agar dapat membantu orang lain pada jalan itu). Dalam Tipitaka suci - intipati teks suci Buddha - tidak terbilang Buddha yang lalu dan hidup mereka telah disebut "spoken of", termasuk Buddha yang akan datang, Buddha Maitreya .

Buddha Theravada

2.      Artikel utama untuk bagian ini adalah: Buddha Theravada
3.      Aliran Theravada adalah aliran yang memiliki sekolah Buddha tertua yang tinggal sampai saat ini, dan untuk berapa abad mendominasi Sri Langka dan wilayah Asia Tenggara (sebagian dari Tiongkok bagian barat daya, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Indonesia dan Thailand) dan juga sebagian Vietnam. Selain itu populer pula di Singapura dan Australia.

Gramatika

4.      Theravada berasal dari bahasa Pali yang terdiri dari dua kata yaitu thera dan vada. Thera berarti sesepuh khususnya sesepuh terdahulu , dan vada berarti perkataan atau ajaran. Jadi Theravada berarti Ajaran Para Sesepuh.
Istilah Theravada muncul sebagai salah satu aliran agama Buddha dalam Dipavamsa, catatan awal sejarah Sri Lanka pada abad ke-4 Masehi. Istilah ini juga tercatat dalam Mahavamsa, sebuah catatan sejarah penting yang berasal dari abad ke-5 Di yakini Theravada merupakan wujud lain dari salah satu aliran agama Buddha terdahulu yaitu Sthaviravada (Bahasa Sanskerta: Ajaran Para Sesepuh) , sebuah aliran agama Buddha awal yang terbentuk pada Sidang Agung Sangha ke-2 (443 SM). Dan juga merupakan wujud dari aliran Vibhajjavada yang berarti Ajaran Analisis (Doctrine of Analysis) atau Agama Akal Budi (Religion of Reason).

Kamis, 19 April 2012


4-9-12
1.    Ia yang memotong tiga belenggu pertama (Pali: tīṇi saŋyojanāni) menjadi "pemasuk-arus" (sotapanna);
2.    Ia yang memotong tiga belenggu pertama dan secara berarti melemahkan dua belenggu berikut untuk menjadi "kembali sekali" (sakadagami);
3.    Ia yang memotong lima belenggu pertama (orambhāgiyāni samyojanāni) menjadi seorang "tidak-kembali" (anagami);
4.    Ia yang memotong seluruh sepuluh belenggu menjadi seorang arahat.[35]

5.    Hubungan dengan konsep inti lainnya

    
5-9-12
1.    Sama dengan konsep Buddhis yang ditemukan di seluruh Kanon Pali termasuk lima hambatan (nīvaraāni) dan sepuluh kekotoran (kilesā). Dengan perbandingan, dalam tradisi Theravada, belenggu-belenggu menjangkau kehidupan berlipat kali dan sangat sulit untuk dihapus, sedangkan hambatan bersifat rintangan sementara.
2.    Kekotoran mencakup seluruh kekotoran batin termasuk belenggu dan hambatan.

3.    Bertambahnya Pelaku Kejahatan

4.    dan Apa Pengaruhnya Terhadap Usia Manusia?

5.    Selama akibat dari perbuatan jahat belum masak, si pembuat kejahatan menganggap perbuatan jahatnya sebagai hal yang menguntungkan, tetapi setelah akibat dari perbuatan jahatnya sudah masak, ia akan menyadari kerugian dari perbuatan jahat tersebut. (Dhammapada, 119)
6-9-12
1.            Akhir-akhir ini khususnya di negeri kita pelaku kejahatan setiap hari semakin bertambah. Mengapa orang-orang itu tidak takut dosa? Mengapa orang-orang itu tidak takut karma? Apakah mereka itu tidak beragama? Begitulah mungkin yang sering kita keluhkan selama ini. Dari pertanyaan di atas bisa kita jawab bahwa mereka sebenarnya takut juga akan dosa, takut juga akan hukuman tetapi mungkin karena masih ada waktu untuk bertaubat, masih ada waktu untuk meminta ampun dan mengakui kesalahan yang pernah mereka lakukan. Mereka juga adalah orang-orang yang beragama tetapi mungkin karena tidak melaksanakan ajaran agamanya sehingga mereka tidak mengikuti aturan apa yang telah dilarang dan dianjurkan dalam agama tersebut.
2.            Mengapa pelaku kejahatan semakin bertambah?
Ya, pelaku kejahatan bertambah bukan karena hidup mereka miskin, bukan karena tidak punya pekerjaan, bukan karena tidak berpendidikan dan lain-lain, tetapi yang membuat mereka berbuat jahat adalah karena keserakahan (lobha) tidak pernah merasa puas dan cukup. Coba saja kita saksikan akhir-akhir ini yang berbuat jahat bukan lagi pelakunya orang-orang miskin tetapi orang-orang kaya, memiliki pekerjaan dan berpendidikan.
3.            Dari tema di atas mungkin kita akan bertanya apakah di jaman dahulu pelaku kejahatan sudah ada? Untuk menjawab hal ini, telah diceritakan dalam Cakkavati-sihanada Sutta bahwa di jaman dahulu ada seorang raja bernama Dalhanemi, raja ini memiliki tujuh pusaka, yaitu: pusaka-roda, pusaka-gajah, pusaka-kuda, pusaka-permata, pusaka-perempuan, pusaka-perumah tangga, dan pusaka-penasihat.
4.            Dia memerintah sesuai Dhamma, menjunjung tinggi Dhamma, bergantung pada Dhamma, memuja Dhamma dan menghormati Dhamma.
5.            Selama pemerintahan dan kekuasaannya negara aman rakyatnya hidup makmur dan damai. Setelah masa tuanya raja ini melimpahkan jabatannya kepada putranya dan putranya pun memerintah sesuai Dhamma. Begitu juga dengan raja ke-dua, ke-tiga, ke-empat, ke-lima, ke-enam dan ke-tujuh. Setelah raja ke-tujuh inilah Pusaka-Roda suci pemerintahan sesuai Dhamma lenyap.
7-9-12
1.    Demikianlah diceritakan, dari tidak memberikan kepada mereka yang membutuhkan, kemiskinan berkembang, dari meningkatnya kemiskinan, tindakan mengambil yang tidak diberikan meningkat, dari meningkatnya pencurian, penggunaan senjata meningkat, dari meningkat penggunaan senjata, pembunuhan meningkat – dan dari meningkatnya pembunuhan, umur kehidupan manusia menurun, kecantikan mereka memudar, dan sebagai akibat dari menurunnya umur kehidupan dan kecantikan ini, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya delapan puluh ribu tahun hanya hidup selama empat puluh ribu tahun.
2.    Kemudian dari pembunuhan, kebohongan meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya empat puluh ribu tahun hanya hidup selama dua puluh ribu tahun.
3.    tindakan mengadukan kejahatan orang lain meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya dua puluh ribu tahun hanya hidup selama sepuluh ribu tahun.
4.    Pelanggaran seksual meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya sepuluh ribu tahun hanya hidup selama lima ribu tahun.
dua hal meningkat: ucapan kasar dan pembicaraan yang  tidak bertujuan, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya lima ribu tahun, beberapa hidup selama dua ribu lima ratus tahun, dan beberapa hidup selama dua ribu tahun.
5.    Iri hati dan kebencian meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya dua ribu lima ratus tahun, hanya hidup selama seribu tahun. --- pendapat-pendapat salah meningkat dan sebagai akibatnya,   anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya seribu tahun, hanya hidup selama lima ratus tahun. --- tiga hal meningkat: hubungan seksual sedarah, keserakahan berlebihan, dan praktik-praktik menyimpang dan sebagai akibatnya,  anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya lima ratus tahun, beberapa hidup selama dua ratus lima puluh tahun, dan beberapa hidup selama dua ratus tahun.
8-9-12
1.    kuranganya hormat kepada ayah dan ibu, kepada para petapa dan brahmana, dan kepada kepala-kepala suku menjadi meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya dua setengah abad hanya hidup selama seratus tahun.
2.    Para bhikkhu, akan tiba saatnya ketika anak-anak dari orang-orang ini memiliki umur kehidupan selama hanya sepuluh tahun. Dan bersama mereka, anak-anak perempuan akan menikah pada usia lima tahun. Dan bersama mereka rasa-rasa kecapan ini akan lenyap: ghee, mentega, minyak wijen, sirup, dan garam. Di antara semua itu, padi kudrusa akan menjadi makanan pokok, seperti halnya nasi dan kari pada masa sekarang.
3.    Dan bersama mereka yang memiliki umur kehidupan sepuluh tahun, tidak memahami kata ‘moral’, jadi bagaimana mungkin ada orang yang dapat melakukan perbuatan bermoral? Orang-orang itu yang tidak menghormati ayah dan ibu, para petapa dan brahmana, kepala-kepala suku, akan menjadi orang-orang yang menikmati kehormatan dan martabat.
4.    Seperti halnya sekarang, orang-orang yang menghormati ayah dan ibu, para petapa dan brahmana, kepala-kepala suku, dipuji dan dihormati, demikian pula halnya dengan mereka yang melakukan sebaliknya…
5.    Di antara mereka yang memiliki umur kehidupan sepuluh tahun, tidak ada yang dianggap ibu atau bibi, saudara ibu, istri guru, atau istri ayah dan lain-lain – semua dianggap sama di dunia ini seperti kambing dan domba, unggas dan babi, anjing dan srigala. Di antara mereka, permusuhan sengit akan terjadi satu sama lain, kebencian hebat, kemarahan besar, dan pikiran membunuh, antara ibu melawan anak dan anak melawan ibu, ayah melawan anak dan anak melawan ayah, saudara laki-laki melawan saudara laki-laki, saudara laki-laki melawan saudara perempuan, bagaikan pemburu yang merasakan kebencian terhadap binatang yang ia buru, dst...
9-9-12
1.    Selanjutnya ada Tujuh Sifat Baik sebagai pedoman dalam kehidupan ini yang harus kita laksanakan dan dikembangkan:
Keyakinan
Rasa malu untuk berbuat jahat
Rasa takut akan perbuatan jahat
Banyak pengetahuan
Keteguhan batin
Perhatian yang kuat
Kebijaksanaan.
(Mahāparinibbāna Sutta)
2.    Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā.

INTROSPEKSI

MEMPERKOKOH KEWASPADAAN

3.    Appamādo amatapadaṁ, pamādo maccuno padaṁ
Appamattā na mῑyanti, ye pamattā yathā mathā’ti

Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan;
Kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada
tidak akan mati, tetapi orang yang lengah seperti orang yang sudah mati.  
(Dhammapada 21)
4.    Berbuat sesuatu dengan melihat dan mengamati ke dalam diri sendiri adalah perbuatan yang sebetulnya sangat perlu dilakukan oleh setiap individu manusia. Sebagai individu manusia, berada di tengah-tengah masyarakat dalam status apapun seharusnya memiliki tanggung jawab untuk mengendalikan sikap dan tingkah lakunya sendiri.
5.    Percaya Diri Sendiri
Apabila seseorang pernah mengalami sesuatu yang sangat terkesan dan tidak bisa dilupakan, apakah itu pengalaman yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan, akan menjadi sebuah ingatan yang paling jelas teringat dalam pikirannya. Untuk itu seharusnya ia berusaha melakukan perenungan hingga mampu menyadari hikmah apa sesungguhnya yang secara langsung bisa terkait dengan pengalaman itu, adalah yang disebut belajar dari pengalaman.
10-9-12
1.            Dalam Dhamma diajarkan, "self is the protector of self" – “Diri sendiri adalah pelindung diri sendiri”. Kita harus berusaha untuk mengerti ketergantungan dan kecenderungan diri sendiri terhadap pihak luar di luar diri kita yang selalu diharapkan. Kita harus mencoba melepaskan diri dari hal seperti itu dan mengalihkan perhatian ke dalam diri kita sendiri yang sesungguhnya. Kita tidak boleh tergantung kepada orangtua, sahabat dan yang lain-lain terlalu banyak sampai lupa terhadap diri sendiri. Hal itu berakibat karakter kita bisa secara terus-menerus mencari dan mengejar hingga menjadi sebuah kebiasaan yang sangat melekat dan sulit diatasi. Justru demikianlah adanya di seluruh dunia, sehingga dengan alasan itu Sang Buddha mengajarkan tentang percaya diri.

2.            Sifat percaya diri tentu sangat berbeda dengan sifat memiliki ketergantungan dari luar diri sendiri. Memiliki sifat ketergantungan diri seseorang jelas-jelas akan menghadapi bahaya yang sangat riskan dan berakibat fatal. Sedangkan percaya diri berarti dalam berbagai hal seseorang akan selalu kembali kepada dirinya sendiri. Dalam usaha apa saja bisa berhasil, ia akan tahu bahwa perjuangannya sendiri adalah penyebab utama dari keberhasilan itu. Namun apabila usahanya gagal pun ia akan berusaha sedapat mungkin menemukan sebab-sebab dari kegagalan itu dan akan kembali pula semua itu bertitik pangkal dari dirinya sendiri. Apabila ia mampu melakukan hal itu bararti ia telah bercermin pada dirinya sendiri dan ini namanya introspeksi diri, menjadi percaya diri.
3.            Apabila kita menghadapi suatu masalah namun kita melakukan introspeksi diri atau melihat ke dalam diri kita sendiri, maka kita tidak akan mencari kesalahan keluar dari diri kita sendiri. Kita akan menemukan dan mengerti bahwa hal itu tersangkut dengan diri kita sendiri sehingga kita akan tahu juga bahwa masalah itu adalah akibat dari perbuatan kita sendiri.
4.    Dengan introspeksi diri kita akan menjadi waspada dan hati-hati dalam menghadapi berbagai hal di dunia ini. Kalau kita sudah berusaha untuk selalu waspada dalam menghadapi masalah hidup dan kehidupan ini, maka sifat kita yang selalu waspada itu menjadi suatu kebiasaan hidup kita yang sangat baik. Waspada berarti selalu dalam kondisi sadar, siap menghadapi semua tantangan hidup dan terus menjalankan tugas dan kewajiban sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat.
5.    Introspeksi Diri Menumbuhkan Rasa Percaya Diri
Orang yang terbiasa introspeksi diri dan waspada dalam sikap hidupnya akan terlihat damai dan tenang, tidak mudah terpengaruh oleh persoalan-persoalan negatif yang mungkin tidak perlu diperhatikan. Introspeksi diri menjadi penting bagi siapa pun yang mengharapkan kemudahan dan kelancaran dalam segala hal.

Selasa, 17 April 2012

karma

Karma (bahasa Sanskerta: कर्म Tentang suara ini Karma.ogg ), karma, (Karman ;"bertindak, tindakan, kinerja"[1]); (Pali:kamma) adalah konsep "aksi" atau "perbuatan" yang dalam agama India dipahami sebagai sesuatu yang menyebabkan seluruh siklus kausalitas (yaitu, siklus yang disebut "samsara"). Konsep ini berasal dari India kuno dan dijaga kelestariannya di filsafat Hindu, Jain, Sikh dan Buddhisme. [2]. Dalam konsep "karma", semua yang dialami manusia adalah hasil dari tindakan kehidupan masa lalu dan sekarang. Efek karma dari semua perbuatan dipandang sebagai aktif membentuk masa lalu, sekarang, dan pengalaman masa depan. Hasil atau 'buah' dari tindakan disebut karma-phala.[3]
Karena pengertian Karma adalah pengumpulan efek-efek (akibat) tindakan/perilaku/sikap dari kehidupan yang lampau dan yang menentukan nasib saat ini, maka karma berkaitan erat dengan kelahiran kembali (Reinkarnasi). Segala tindakan/perilaku/sikap baik maupun buruk seseorang saat ini juga akan membentuk karma seseorang dikehidupan berikutnya.

bab 4 kesunyataan mulia kedua

DHAMMA-SARI
Disusun oleh : Maha Pandita Sumedha Widyadharma
Penerbit : Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda
Cetakan Kesembilan, 1994

BAB IV
KESUNYATAAN MULIA KEDUA
DUKKHA SAMUDAYA : SUMBER DUKKHA

Kesunyataan Mulia Kedua membahas sumber atau permulaan dukkha (Dukkha samudaya ariyasacca). Definisi populer dan terkenal yang dapat dijumpai dalam teks-teks asli berbunyi sbb. : “Dukkha bersumber kepada tanha (Kehausan, nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) yang menghasilkan kelangsungan kembali dan tumimbal-lahir (ponobhavika), yang terikat oleh hawa nafsu (nandiragasahagata), dan yang memperoleh kenikmatan baru di sana-sini (tatratatrabhinandini), yaitu :
  1. kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan kenikmatan hawa nafsu ( kama-tanha )
  2. kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan kelangsungan dan kelahiran ( bhava-tanha )
  3. kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan tidak kelangsungan atau “pemusnahan diri” ( vibhava-tanha ).
Kehausan ini, nafsu keinginan yang tak habis-habisnya, yang memperlihatkan diri dalam berbagai cara, merupakan sumber dari beraneka ragam penderitaan dan kelangsungan hidup makhluk-makhluk. Tetapi, hendaknya hal ini jangan dianggap sebagai sebab yang pertama karena menurut paham Buddhis tak mungkin ada sebab yang pertama; segala sesuatu itu relatif dan saling bergantungan dan saling berkaitan. Sampaipun kehausan (tanha) ini yang dianggap sebagai sebab atau sumber dari dukkha, pada hakekatnya, untuk dapat timbul (samudaya), tergantung pada sesuatu yang lain, yaitu perasaan (vedana), dan perasaan ini tergantung pada kontak (phassa) dst….. dan terciptalah satu lingkaran Hukum Pokok Yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada).
Dengan demikian kita lihat, kehausan atau tanha itu bukanlah satu-satunya sebab timbulnya dukkha; meskipun tidak dapat disangkal merupakan sebab yang nyata, yang terdekat dan yang terpenting.
Dalam beberapa kitab teks Pali yang asli dapat ditemukan definisi dari samudaya sebagai sumber dukkha yang di dalamnya, termasuk juga noda-noda dan kekotoran batin (kilesi, sasava-dhamma) di samping tanha sebagai sebab utama. Dalam pembahasan kita yang serba terbatas dalam halaman buku ini, maka cukup kiranya kalau kita senantiasa ingat bahwa tanha sebenarnya berpokok pangkal kepada anggapan keliru tentang adanya “aku” yang timbul dari avijja (ketidak tahuan).
Di sini istilah tanha bukan saja berarti keinginan akan dan terikat kepada hawa nafsu, harta benda dan kekuasaan tetapi berarti juga keinginan akan dan terikat kepada ide-ide dan cita-cita, pandangan hidup, opini-opini, teori-teori, konsepsi-konsepsi dan kepercayaan-kepercayaan (dhamma-tanha).
Menurut analisa dalam agama Buddha, semua kesulitan dan perselisihan di dunia ini, dari perselisihan kecil dalam keluarga sampai dengan peperangan besar antara negara dengan negara, timbul dari tanha ini yang mementingkan diri sendiri saja (Majjhima Nikaya 13, Maha Dukkhanda Sutta).
Dari sudut pandangan ini, semua persoalan ekonomi, politik dan sosial bersumber pada tanha yang egoistis ini. Para negarawan terkenal yang mencoba menyelesaikan persoalan internasional dan berbicara perihal perang dan damai, ekonomi dan politik hanya membicarakan kulit persoalan dan tidak pernah menyentuh akarnya yang lebih dalam.
Sang Buddha pernah bersabda kepada Ratthapala: “Dunia ini membutuhkan, menginginkan dengan sangat dan kemudian terikat kepada tanha.” (Majjhima Nikaya 82, Ratthapalasutta).
Setiap orang harus mengakui bahwa semua kejahatan dan perselisihan dalam dunia ini disebabkan oleh keinginan yang egoistis. Ini tidak susah untuk dimengerti. Tetapi, bagaimana keinginan yang egoistis ini dapat mengakibatkan kelangsungan-kembali dan kelahiran-kembali (Ponobhavika) mungkin tidaklah mudah untuk dipahami.
Di sini kita akan membahas sudut filosofi yang lebih dalam dari Kesunyataan Mulia Kedua dalam hubungannya dengan sudut filosofi dari Kesunyataan Mulia Pertama.
Tetapi terlebih dulu kita harus mendapat sedikit pengetahuan mengenai hukum kamma dan tumimbal-lahir.
Kita mengenal empat macam “makanan” (ahara) yang menjadi sebab atau kondisi yang harus dipenuhi agar makhluk-makhluk dapat lahir dan berlangsung, yaitu :
  1. makanan biasa ( kabalinkarahara )
  2. kontak dari enam indria kita dengan dunia luar ( phassahara )
  3. kesadaran ( viññanahara )
  4. kehendak atau kemauan batin ( manosañcetanahara )
    manosañcetana terdiri dari :
    mano = batin
    sañña = pencerapan
    cetana = kemauan, kehendak.
Ahara keempat merupakan kehendak untuk hidup, untuk lahir, untuk bertumimbal-lahir, untuk berlangsung dan untuk menjadi lebih sempurna. Ia menciptakan akar bagi kelahiran dan kelangsungan yang bergerak maju dengan perbuatan baik dan buruk (kusalakusala kamma).
Hal ini sama seperti kehendak (cetana). Di bagian depan kita telah melihat bahwa kehendak (cetana) itulah kamma, sebagaimana didefinisikan oleh Sang Buddha sendiri.
Mengenai cetana ini, Sang Buddha sendiri pernah bersabda: “Siapa yang mengerti makanan dari cetana ia juga akan mengerti tiga bentuk tanha (kehausan).” Oleh karena. itu, tanha (kehausan), kehendak, kehendak mental dan kamma semuanya mempunyai arti yang sama, yaitu keinginan atau kemauan untuk “ada”, untuk hidup, untuk hidup kembali, untuk lebih sempurna lagi, untuk berkembang lebih baik, untuk menghimpun lebih banyak lagi.
Inilah sebab timbulnya dukkha dan ini dapat ditemukan dalam Kelompok Kegemaran dari Bentuk-bentuk Pikiran, yaitu salah satu dari Lima Kelompok Kegemaran yang merupakan unsur dari seorang manusia.
Ini merupakan ajaran Sang Buddha yang penting sekali. Kita harus mengerti dengan baik dan harus senantiasa ingat bahwa sebab, bibit dari timbulnya dukkha adalah di dalam dukkha itu sendiri dan bukan berada di luarnya, dan kita harus mempunyai pengertian yang sama dan selalu ingat bahwa sebab, bibit untuk menghentikan dukkha, untuk menyingkirkan dukkha secara total, juga terletak di dalam dukkha itu sendiri dan bukan berada di luarnya.
Inilah apa yang dimaksudkan dengan sebuah pepatah Pali terkenal yang berbunyi sbb. : Yangkiñci Samudayadhammang Sabbang Tang Nirodhadhammang. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah : Di dalam segala sesuatu yang timbul karena suatu sebab terdapat sebab yang membuatnya musna kembali.
Kalau di dalam satu makhluk, satu benda atau satu sistem terdapat kekuatan untuk menimbulkannya (menciptakannya), di dalamnya pun terdapat kekuatan atau bibit yang dapat menghentikannya atau menghancurkannya.
Di dalam dukkha (Lima Kelompok Kegemaran) yang mengandung kekuatan untuk menimbulkan, juga terdapat kekuatan untuk menghentikannya. Hal ini akan kita temukan dalam pembahasan mengenai Kesunyataan Mulia Ketiga (Nirodha).
Perkataan Kamma (Pali) atau Karma (Sansekerta) menurut hurufnya berarti “action” atau perbuatan. Tetapi, dalam agama Buddha kamma mempunyai arti khusus, yaitu hanya diartikan sebagai “perbuatan kehendak” dan bukan dalam arti perbuatan pada umumnya. Kamma juga jangan disalah artikan sebagai akibat dari suatu perbuatan. Dalam terminologi Buddhis, kamma belum pernah diartikan sebagai satu akibat; akibatnya dikenal sebagai “buah” atau “hasil” karma (kamma-phala atau kamma-vipaka).
Kehendak secara relatif dapat bersifat baik atau buruk, sebagaimana juga keinginan dapat saja baik atau buruk. Begitu pula kamma secara relatif dapat saja baik atau buruk. Karma baik (kusala-kamma) menghasilkan akibat yang baik dan karma buruk (akusala-kamma) menghasilkan akibat yang buruk.
Tanha (nafsu keinginan), kehendak, kamma yang baik atau buruk, semuanya dapat menimbulkan tenaga atau kekuatan untuk belangsung ke arah yang baik atau yang buruk. Baik dan buruk ini pun sebenarnya relatif karena ia bergerak di dalam lingkaran dari Samsara (Lingkaran tumimbal-lahir).
Seorang Arahat meskipun berbuat sesuatu tidak akan menimbun karma karena ia telah terbebas dari konsepsi palsu tentang adanya “aku”, terbebas dari tanha (nafsu keinginan) untuk berlangsung dan lahir-kembali, terbebas dari segala macam noda dan kekotoran batin (kilesa, sasava dhamma). Beliau tak akan bertumimbal lahir lagi di dunia ini.
Semua perbuatan kehendak menimbulkan akibat atau hasil. Perbuatan baik akan membawa akibat baik dan perbuatan buruk akan membawa akibat buruk. Hal ini sebetulnya bukan merupakan pahala atau hukuman yang dijatuhkan oleh orang lain atau suatu kekuatan yang mengadili tiap-tiap perbuatan seseorang melainkan hal ini terjadi berkat pembawaannya sendiri, hukumnya sendiri.
Hal di atas tak begitu sulit untuk dimengerti. Tetapi agak lebih sulit untuk dimengerti bahwa menurut hukum kamma satu perbuatan kehendak dapat terus memperlihatkan diri sampai pada kehidupan sesudah orang meninggal dunia.
Marilah kita bahas persoalan di atas dengan terlebih dulu menerangkan apa yang dinamakan “kematian” menurut paham agama Buddha. Kita semua tahu bahwa yang dinamakan manusia itu sebenarnya terdiri dari dua kelompok kekuatan, yaitu kelompok fisik dan mental. Yang kita namakan kematian pada hakekatnya berarti, bahwa badan jasmani (fisik) kita pada saat itu berhenti berfungsi secara total. Apakah pada saat yang bersamaan kelompok kekuatan mental kita juga berhenti berfungsi? Buddha Dhamma secara tegas mengatakan: “Tidak”.
Kemauan, kehendak, keinginan, kehausan untuk hidup, untuk berlangsung terus, untuk menjadi lebih sempurna lagi, merupakan kekuatan raksasa yang menggerakkan semua kehidupan, seluruh keadaan hidup, bahkan seluruh dunia ini. Ia merupakan kekuatan yang terbesar, energi yang terhebat di dunia ini.
Menurut agama Buddha, kekuatan ini tidak turut berhenti dengan tidak berfungsinya lagi secara total badan jasmani kita; ia terus memanifestasikan diri dalam bentuk lain yang menghasilkan kelahiran kembali yang lazim disebut sebagai tumimbal-lahir.
Sekarang pertanyaan lain akan timbul: Kalau tidak ada sesuatu yang tetap, tidak ada inti yang kekal abadi seperti Atma atau Atta, apakah gerangan yang berlangsung kembali atau dilahirkan kembali sesudah orang itu mati?
Sebelum kita membahas kehidupan sesudah mati, marilah kita tinjau dulu apa sebenarnya kehidupan sekarang ini dan bagaimana ia berlangsung.
Yang dinamakan kehidupan, sebagaimana sudah berulangkali dikatakan, adalah perpaduan dan kerja-sama antara Lima Kelompok Kegemaran, yaitu kerja-sama secara terpadu antara kekuatan-kekuatan fisik dan mental. Mereka senantiasa berubah-ubah dan tidak sama meskipun untuk sesaat. Setiap saat mereka dilahirkan dan setiap saat pula mereka mati. Sang Buddha pernah bersabda: “Sebagaimana Kelompok Kegemaran itu timbul, menjadi lapuk dan mati, O bhikkhu, engkau pun, setiap saat dilahirkan, menjadi lapuk dan mati”.
Oleh karena itu, sekarang pun dalam kehidupan ini, engkau setiap saat dilahirkan, menjadi lapuk dan mati namun engkau masih tetap berlangsung. Kalau kita dapat menerima bahwa dalam penghidupan ini kita dapat berlangsung tanpa ada suatu substansi seperti Atta atau Jiwa (yang kekal dan tidak berubah) mustahil kita tidak dapat menerima bahwa kekuatan-kekuatan itu juga dapat berlangsung tanpa Atta atau Jiwa setelah badan jasmani kita tidak berfungsi lagi.
Kalau badan jasmani ini tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya, kekuatan-kekuatan tersebut tidak turut mati, melainkan tetap berlangsung dengan mengambil bentuk lain yang lazim kita sebut sebagai “kehidupan lain”.
Di dalam diri seorang anak, semua kekuatan fisik, mental dan intelektual masih lembut dan lemah, tetapi mereka mempunyai potensi untuk kelak membentuk seorang manusia dewasa. Di dalam kekuatan fisik dan mental yang merupakan bagian dari apa yang disebut “manusia” itu terdapat potensi untuk mengambil bentuk baru untuk kemudian berangsur-angsur tumbuh menjadi seorang dewasa.
Oleh karena tidak terdapat satu subtansi (inti) yang kekal dan tidak berubah, maka tidak dapat ditemukan sesuatu yang datang dan pergi dari satu saat ke saat yang lain. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa tidak terdapat sesuatu yang kekal dan abadi yang dari satu kehidupan pindah ke kehidupan yang lain. Ia hanya merupakan satu rangkaian yang berlangsung terus menerus, tetapi tiap saat berubah-ubah. Sesungguhnya, rangkaian itu tak lain dan tak bukan merupakan gerakan belaka. Seperti juga api yang menyala sepanjang malam; api yang menyala pada permulaan malam dan api yang menyala pada akhir malam tidak sama namun juga tidak berbeda.
Seorang anak tumbuh menjadi seorang kakek berumur 60 tahun. Terang bahwa kakek tersebut tidak sama dengan seorang anak pada 60 tahun yang lalu, namun ia sebenarnya juga bukan orang lain.
Begitu juga halnya dengan orang yang mati di sini dan bertumimbal lahir di tempat lain; ia bukan orang yang sama dan juga bukan orang yang lain. Orang tersebut merupakan kelangsungan dari satu rangkaian yang sama. Perbedaan antara mati dan lahir-kembali hanya merupakan pikiran pada satu saat (thought moment). “Thought moment” yang terakhir dalam kehidupan ini menciptakan kondisi untuk “thought moment” yang pertama dalam kehidupan yang berikutnya, yang pada hakekatnya merupakan kelangsungan dari satu rangkaian yang sama.
Dalam kehidupan sekarang juga, satu “thought moment” menciptakan kondisi untuk timbulnya satu “thought moment” yang berikutnya. Oleh karena itu, menurut pandangan seorang Buddhis, persoalan hidup dan mati bukanlah merupakan satu persoalan yang diliputi rahasia besar dan seorang Buddhis tidak begitu merisaukan persoalan ini. Selama masih ada kehausan untuk menjadi dan berlangsung, selama itu pula roda samsara akan berjalan terus. Ia hanya dapat berhenti, apabila tenaga pendorongnya yang berupa tanha dapat dikikis habis dengan Kebijaksanaan yang dapat melihat Kebenaran Sejati, Kesunyataan, Nibbana.