Translate

Jumat, 27 April 2012

27 april - 2 mei


11 – 9 -12
1.            Karena dengan introspeksi diri bisa menumbuhkan pemahaman yang benar tentang objek yang kita lihat, di luar maupun di dalam diri sendiri, yang dikenal dengan istilah melihat secara objektif, melihat objek sebagaimana apa adanya. Apabila kita mampu melakukan hal ini secara benar, maka pikiran kita akan terhindar dari kekacauan, tidak menimbulkan masalah baru dan menjadi tenang dan waspada, sehingga timbullah kebahagiaan tersendiri dari keadaan seperti itu, dan menjadi percaya diri.
2.            Seseorang yang menempuh proses perjuangan dalam melatih pikiran dari tak terkendali menjadi terlatih dengan penuh kewaspadaan dan timbul ketenangan, maka dia memiliki batin yang damai dan bahagia. Kebahagiaan yang timbul dari pengendalian diri seperti ini adalah keadaan yang dapat bertahan lama meskipun sampai kematian tiba, batin tersebut tetap tenang dan terkendali. Batin tersebut tentu merasa nyaman, tentram, damai, dan bahagia saat itu. Apabila keadaan seperti itu diatur sedemikian rupa bisa bertahan lebih lama lagi, maka kebahagiaan pun bertahan lama. Inilah sesungguhnya makna dari ayat Dhammapada 21 tersebut di atas.  Pemahaman dari pengertian ayat tersebut sesungguhnya timbul dari kebiasaan introspeksi diri harus percaya diri.
3.            Introspeksi diri secara sadar menimbulkan kewaspadaan dan kewaspadaan mengkondisikan timbulnya ketenangan, ketenangan pikiran yang bertahan lama pun membuat kondisi yang jelas membantu timbulnya kebahagiaan. Berbeda dengan sebaliknya, orang lengah atau tidak waspada adalah orang yang terus-menerus dirundung penderitaan, sulit mengenal dirinya sebagaimana adanya, sehingga orang yang tidak waspada sesungguhnya tidak ada artinya hidup, tidak bisa berbuat apa, maka dikatakan seolah-olah atau seperti sudah mati.
4.            Marilah kita menjaga agar kita tetap waspada.
5.            Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

12-9-12

Memahami dan Mengatasi Kekhawatiran

1.                        Atῑtaṁ nānvāgameyya, nappaṭikaṅkhe anāgataṁ
Yadatῑtampahῑnantaṁ, appattañca anāgataṁ.

Tak sepatutnya mengenang sesuatu yang telah berlalu, tak sepatutnya berharap pada sesuatu yang akan datang. Sesuatu yang telah berlalu adalah hal yang sudah lampau,
dan sesuatu yang akan datang adalah hal yang belum tiba.
(Upparipaṇṇāsa, Majjhima Nikāya)

2.                        Kekhawatiran adalah hal tidak asing bagi kita, sebab di antara kita semua pasti pernah mengalami kekhawatiran. Apa-lagi di awal tahun semacam ini, tentu kekhawatiran  sering muncul di dalam benak kita, dan banyak di antara kita ingin bebas dari kekhawatiran itu. Sesungguhnya kekhawatiran atau rasa khawatir adalah hal yang wajar pada diri manusia. Selama seseorang belum terbiasa mengendalikan pikiran dan juga terlatih mengendalikan pikiran, di sana masih ada rasa khawatir.

3.                        Kekhawatiran secara umum dikatakan sebagai perasaan yang terganggu akibat bayangan/pikiran buruk yang kita buat sendiri, yang belum terjadi pada diri kita atau orang-orang terdekat kita. Dalam Dhamma, kekhawatiran itu merupakan bagian dari saṅkhara (bentuk-bentuk pikiran). Karena adanya bentuk-bentuk pikiran yang terus berkembang, maka kekhawatiran akan muncul. Sering kali juga kekhawatiran dikatakan sebagai perusak kebahagiaan dan kedamaian.

4.                        Umumnya orang mengasosiasikan/menghubungkan kekhawatiran sebagai sesuatu yang buruk atau negatif. Padahal tidak selamanya kekhawatiran itu buruk, sebab dengan mengetahui adanya rasa khawatir, orang akan dapat mengantisipasinya di masa mendatang.  Kekhawatiran dikatakan buruk jika rasa khawatir itu berlebihan dan tidak beralasan, sehingga menimbulkan ketakutan, kecemasan, dan penyakit psikis lainnya. Demikian pula kekhawatiran dikatakan baik, jika rasa khawatir itu dapat meningkatkan semangat dan produktivitas untuk berusaha menjadi lebih baik daripada masa sekarang. Misalnya Bodhisatta Siddhartha sebelum menjadi petapa, Beliau mengalami rasa khawatir yang besar akan kehidupan (usia tua, sakit, kematian), tetapi dari hal ini Beliau akhirnya terdorong mencari pembebasan agung.

5.                        Berpikir akan masa depan yang berlebihan
Banyak sekali yang menjadi pemicu munculnya kekhawatiran, umumnya kekhawatiran muncul, ketika seseorang terlalu berpikir kritis tentang masa depan yang berlebihan. Dan ketika berpikir masa depan yang berlebihan, yang bekerja bukan lagi realita (kenyataan), tetapi rekaan-rekaan/khayalan dari pikiran semata. Dari rekaan-rekaan pikiran inilah kekhawatiran muncul. Apabila seseorang  tidak dapat  menghentikan rasa khawatir, maka rasa khawatir akan menjadi terus berkembang, apalagi kalau semakin dipikirkan, rasa khawatir bukannya berkurang, tetapi sebaliknya semakin membesar.
13-9-12
Nafsu keinginan

1.      Selain pikiran yang berlebihan akan masa depan, penyebab lainnya yang menjadi pemicu timbulnya kekhawatiran adalah adanya nafsu keinginan (taṅhā). Karena adanya taṅhā, maka akan timbul kemelekatan, sebab sewaktu seseorang sudah begitu melekat pada apa yang disayangi, maka akan timbul kekhawatiran. Kekhawatiran akan perasaan takut kehilangan yang disayangi dan takut berpisah dengan yang dicintai. Sebab apa saja yang kita sayangi dan kita cintai, jika ada unsur nafsu keinginan pastilah di sana ada kekhawatiran, dan kekhawatiran yang akan kita rasakan sebanding dengan seberapa besar nafsu keinginan dalam diri kita. Semakin besar nafsu keinginan, maka semakin besar pula kekhawatiran yang akan kita alami.
2.      Melihat segala sesuatu sebagaimana adanya
Kekhawatiran dapat kita atasi ketika kita dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Ketika kita dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kita akan dapat memahami apa yang kita khawatirkan dan mengapa kita khawatir. Seperti halnya kalau kita melihat seutas tali tambang yang tertutup sampah, hal ini dapat membuat kita khawatir andai kata kita berpikir itu adalah ular. Tetapi, ketika kita melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kita akan mengetahui bahwa itu hanyalah tali tambang semata, jadi rasa khawatir akan lenyap.
3.      Melihat segala sesuatu sebagaimana adanya juga termasuk melihat sifat alami kehidupan. Dalam abhiṇhapaccavekkhaṇa ada perenungan tentang sifat kehidupan yakni: sabbehi me piyehi manāpehi nānābhāvo vinābhāvo  yang artinya segala milikku yang kucintai dan kusayangi wajar berubah, wajar terpisah dariku. Dengan memahami hal ini, rasa khawatir akan mampu teratasi. Karena inilah sifat alami perubahan dalam kehidupan ini.
4.      Hidup saat ini (Sadar)
Kekhawatiran juga akan mampu kita atasi, ketika kita mampu untuk hidup saat ini dengan sadar. Sebab saat ini adalah penentu masa depan kita, hari esok ada diawali oleh hari ini. Di saat ini, kita perlu berbuat dengan sadar, agar saat ini kita dapat melakukan yang terbaik. Jika kita sudah melakukan yang terbaik, sudah berusaha yang terbaik serta sudah mengkondisikan yang terbaik, maka kita tidak akan mengalami rasa khawatir lagi.
5.      Sebaliknya, jika kita tidak sadar pada hidup saat ini, pikiran kita akan pergi jauh ke depan, dan hal ini merupakan sebab kekhawatiran timbul. Jika ada gambaran masa depan yang kita khawatirkan, cobalah lihat hidup kita saat ini. Karena gambaran tentang masa depan kita akan menjadi nyata, diawali saat ini, sebab saat ini adalah pengkondisi hari esok (masa depan).
14-9-12
1.      Semoga dengan memahami hal ini kita dapat mengatasi kekhawatiran dalam diri kita.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
2.      Oleh: Bhikkhu Atthadhiro (16 Januari 2011)
3.      Dhammapada (bahasa Pali) atau Dharmapada (bahasa Sansekerta) merupakan salah satu kitab suci agama Buddha dari bagian Khuddaka Nikāya, yang merupakan salah satu bagian dari Sutta Pitaka. Dhammapada terdiri dari 26 vagga (bab) atau 423 bait.
4.      == Konsep Ketuhanan dalam Buddhisme ==        
5.      {{main|Tuhan dalam agama Buddha}}      
15-9-12

1.      Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan [[Tuhan]]. Konsep [[Tuhan dalam agama Buddha|ketuhanan dalam agama Buddha]] berbeda dengan konsep dalam [[agama Samawi]] [[dimana]] alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke [[surga]] ciptaan Tuhan yang kekal.     

2.      {{cquote|Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.}}         

3.      Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam [[bahasa Pali]] adalah ''Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang'' yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.  

4.      Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.   

5.      Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang [[alam semesta]], [[terbentuknya Bumi]] dan [[evolusi manusia|manusia]], kehidupan manusia di alam semesta, [[kiamat]] dan Keselamatan atau Kebebasan.       
16-9-12

1.      Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (''anuttara samyak sambodhi'') atau pencerahan sejati [[dimana]] satu makhluk tidak perlu lagi mengalami proses [[tumimbal lahir]]. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.
3.      Tiga Mustika
4.      Buddha Mahayana
5.      Artikel utama untuk bagian ini adalah: Buddha Mahayana
17-9-12
1.      Patung Buddha Tian Tan. Vihara Po Lin, pulau Lantau, Hong Kong
2.      Sutra Teratai merupakan rujukan sampingan penganut Buddha aliran Mahayana. Tokoh Kwan Im yang bermaksud "maha mendengar" atau nama Sansekertanya "Avalokiteśvara" merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai telah menitis beberapa kali dalam alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut. Menurut sejarahnya Avalokitesvara adalah seorang lelaki murid Buddha, akan tetapi setelah pengaruh Buddha masuk ke Tiongkok, profil ini perlahan-lahan berubah menjadi sosok feminin dan dihubungkan dengan legenda yang ada di Tiongkok sebagai seorang dewi.
3.      Penyembahan kepada Amitabha Buddha (Amitayus) merupakan salah satu aliran utama Buddha Mahayana. Sorga Barat merupakan tempat tujuan umat Buddha aliran Sukhavati selepas mereka meninggal dunia dengan berkat kebaktian mereka terhadap Buddha Amitabha dimana mereka tidak perlu lagi mengalami proses reinkarnasi dan dari sana menolong semua makhluk hidup yang masih menderita di bumi.
4.      Mereka mempercayai mereka akan lahir semula di Sorga Barat untuk menunggu saat Buddha Amitabha memberikan khotbah Dhamma dan Buddha Amitabha akan memimpin mereka ke tahap mencapai 'Buddhi' (tahap kesempurnaan dimana kejahilan, kebencian dan ketamakan tidak ada lagi). Ia merupakan pemahaman Buddha yang paling disukai oleh orang Tionghoa.
5.      Seorang Buddha bukannya dewa atau makhluk suci yang memberikan kesejahteraan. Semua Buddha adalah pemimpin segala kehidupan ke arah mencapai kebebasan daripada kesengsaraan. Hasil amalan ajaran Buddha inilah yang akan membawa kesejahteraan kepada pengamalnya.
16-9-12
1.      Menurut Buddha Gautama , kenikmatan Kesadaran Nirwana yang dicapainya di bawah pohon Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila mereka dilahirkan sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran Buddha Mahayana khususnya merujuk kepada banyak Buddha dan juga bodhisattva (makhluk yang tekad "committed" pada Kesadaran tetapi menangguhkan Nirvana mereka agar dapat membantu orang lain pada jalan itu). Dalam Tipitaka suci - intipati teks suci Buddha - tidak terbilang Buddha yang lalu dan hidup mereka telah disebut "spoken of", termasuk Buddha yang akan datang, Buddha Maitreya .

Buddha Theravada

2.      Artikel utama untuk bagian ini adalah: Buddha Theravada
3.      Aliran Theravada adalah aliran yang memiliki sekolah Buddha tertua yang tinggal sampai saat ini, dan untuk berapa abad mendominasi Sri Langka dan wilayah Asia Tenggara (sebagian dari Tiongkok bagian barat daya, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Indonesia dan Thailand) dan juga sebagian Vietnam. Selain itu populer pula di Singapura dan Australia.

Gramatika

4.      Theravada berasal dari bahasa Pali yang terdiri dari dua kata yaitu thera dan vada. Thera berarti sesepuh khususnya sesepuh terdahulu , dan vada berarti perkataan atau ajaran. Jadi Theravada berarti Ajaran Para Sesepuh.
Istilah Theravada muncul sebagai salah satu aliran agama Buddha dalam Dipavamsa, catatan awal sejarah Sri Lanka pada abad ke-4 Masehi. Istilah ini juga tercatat dalam Mahavamsa, sebuah catatan sejarah penting yang berasal dari abad ke-5 Di yakini Theravada merupakan wujud lain dari salah satu aliran agama Buddha terdahulu yaitu Sthaviravada (Bahasa Sanskerta: Ajaran Para Sesepuh) , sebuah aliran agama Buddha awal yang terbentuk pada Sidang Agung Sangha ke-2 (443 SM). Dan juga merupakan wujud dari aliran Vibhajjavada yang berarti Ajaran Analisis (Doctrine of Analysis) atau Agama Akal Budi (Religion of Reason).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar