11 – 9 -12
1.
Karena
dengan introspeksi diri bisa menumbuhkan pemahaman yang benar tentang objek
yang kita lihat, di luar maupun di dalam diri sendiri, yang dikenal dengan
istilah melihat secara objektif, melihat objek sebagaimana apa adanya. Apabila
kita mampu melakukan hal ini secara benar, maka pikiran kita akan terhindar
dari kekacauan, tidak menimbulkan masalah baru dan menjadi tenang dan waspada,
sehingga timbullah kebahagiaan tersendiri dari keadaan seperti itu, dan menjadi
percaya diri.
2.
Seseorang
yang menempuh proses perjuangan dalam melatih pikiran dari tak terkendali
menjadi terlatih dengan penuh kewaspadaan dan timbul ketenangan, maka dia
memiliki batin yang damai dan bahagia. Kebahagiaan yang timbul dari
pengendalian diri seperti ini adalah keadaan yang dapat bertahan lama meskipun
sampai kematian tiba, batin tersebut tetap tenang dan terkendali. Batin
tersebut tentu merasa nyaman, tentram, damai, dan bahagia saat itu. Apabila
keadaan seperti itu diatur sedemikian rupa bisa bertahan lebih lama lagi, maka
kebahagiaan pun bertahan lama. Inilah sesungguhnya makna dari ayat Dhammapada
21 tersebut di atas. Pemahaman dari pengertian ayat tersebut sesungguhnya
timbul dari kebiasaan introspeksi diri harus percaya diri.
3.
Introspeksi
diri secara sadar menimbulkan kewaspadaan dan kewaspadaan mengkondisikan
timbulnya ketenangan, ketenangan pikiran yang bertahan lama pun membuat kondisi
yang jelas membantu timbulnya kebahagiaan. Berbeda dengan sebaliknya, orang
lengah atau tidak waspada adalah orang yang terus-menerus dirundung
penderitaan, sulit mengenal dirinya sebagaimana adanya, sehingga orang yang
tidak waspada sesungguhnya tidak ada artinya hidup, tidak bisa berbuat apa,
maka dikatakan seolah-olah atau seperti sudah mati.
4.
Marilah kita
menjaga agar kita tetap waspada.
5.
Namo
Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
12-9-12
Memahami dan Mengatasi Kekhawatiran
1.
Atῑtaṁ nānvāgameyya, nappaṭikaṅkhe anāgataṁ
Yadatῑtampahῑnantaṁ, appattañca anāgataṁ.
Tak sepatutnya mengenang sesuatu yang telah berlalu, tak sepatutnya berharap pada sesuatu yang akan datang. Sesuatu yang telah berlalu adalah hal yang sudah lampau,
dan sesuatu yang akan datang adalah hal yang belum tiba.
(Upparipaṇṇāsa, Majjhima Nikāya)
Yadatῑtampahῑnantaṁ, appattañca anāgataṁ.
Tak sepatutnya mengenang sesuatu yang telah berlalu, tak sepatutnya berharap pada sesuatu yang akan datang. Sesuatu yang telah berlalu adalah hal yang sudah lampau,
dan sesuatu yang akan datang adalah hal yang belum tiba.
(Upparipaṇṇāsa, Majjhima Nikāya)
2.
Kekhawatiran
adalah hal tidak asing bagi kita, sebab di antara kita semua pasti pernah
mengalami kekhawatiran. Apa-lagi di awal tahun semacam ini, tentu
kekhawatiran sering muncul di dalam benak kita, dan banyak di antara kita
ingin bebas dari kekhawatiran itu. Sesungguhnya kekhawatiran atau rasa khawatir
adalah hal yang wajar pada diri manusia. Selama seseorang belum terbiasa
mengendalikan pikiran dan juga terlatih mengendalikan pikiran, di sana masih ada rasa
khawatir.
3.
Kekhawatiran
secara umum dikatakan sebagai perasaan yang terganggu akibat bayangan/pikiran
buruk yang kita buat sendiri, yang belum terjadi pada diri kita atau
orang-orang terdekat kita. Dalam Dhamma, kekhawatiran itu merupakan bagian dari
saṅkhara (bentuk-bentuk pikiran). Karena adanya bentuk-bentuk pikiran yang
terus berkembang, maka kekhawatiran akan muncul. Sering kali juga kekhawatiran
dikatakan sebagai perusak kebahagiaan dan kedamaian.
4.
Umumnya
orang mengasosiasikan/menghubungkan kekhawatiran sebagai sesuatu yang buruk
atau negatif. Padahal tidak selamanya kekhawatiran itu buruk, sebab dengan
mengetahui adanya rasa khawatir, orang akan dapat mengantisipasinya di masa
mendatang. Kekhawatiran dikatakan buruk jika rasa khawatir itu berlebihan
dan tidak beralasan, sehingga menimbulkan ketakutan, kecemasan, dan penyakit
psikis lainnya. Demikian pula kekhawatiran dikatakan baik, jika rasa khawatir
itu dapat meningkatkan semangat dan produktivitas untuk berusaha menjadi lebih
baik daripada masa sekarang. Misalnya Bodhisatta Siddhartha sebelum menjadi
petapa, Beliau mengalami rasa khawatir yang besar akan kehidupan (usia tua,
sakit, kematian), tetapi dari hal ini Beliau akhirnya terdorong mencari
pembebasan agung.
5.
Berpikir akan masa depan yang berlebihan
Banyak sekali yang menjadi pemicu munculnya kekhawatiran, umumnya kekhawatiran muncul, ketika seseorang terlalu berpikir kritis tentang masa depan yang berlebihan. Dan ketika berpikir masa depan yang berlebihan, yang bekerja bukan lagi realita (kenyataan), tetapi rekaan-rekaan/khayalan dari pikiran semata. Dari rekaan-rekaan pikiran inilah kekhawatiran muncul. Apabila seseorang tidak dapat menghentikan rasa khawatir, maka rasa khawatir akan menjadi terus berkembang, apalagi kalau semakin dipikirkan, rasa khawatir bukannya berkurang, tetapi sebaliknya semakin membesar.
Banyak sekali yang menjadi pemicu munculnya kekhawatiran, umumnya kekhawatiran muncul, ketika seseorang terlalu berpikir kritis tentang masa depan yang berlebihan. Dan ketika berpikir masa depan yang berlebihan, yang bekerja bukan lagi realita (kenyataan), tetapi rekaan-rekaan/khayalan dari pikiran semata. Dari rekaan-rekaan pikiran inilah kekhawatiran muncul. Apabila seseorang tidak dapat menghentikan rasa khawatir, maka rasa khawatir akan menjadi terus berkembang, apalagi kalau semakin dipikirkan, rasa khawatir bukannya berkurang, tetapi sebaliknya semakin membesar.
13-9-12
Nafsu keinginan
1. Selain pikiran yang berlebihan akan masa
depan, penyebab lainnya yang menjadi pemicu timbulnya kekhawatiran adalah
adanya nafsu keinginan (taṅhā). Karena adanya taṅhā, maka akan timbul
kemelekatan, sebab sewaktu seseorang sudah begitu melekat pada apa yang
disayangi, maka akan timbul kekhawatiran. Kekhawatiran akan perasaan takut
kehilangan yang disayangi dan takut berpisah dengan yang dicintai. Sebab apa
saja yang kita sayangi dan kita cintai, jika ada unsur nafsu keinginan pastilah
di sana ada kekhawatiran, dan kekhawatiran yang akan kita rasakan sebanding
dengan seberapa besar nafsu keinginan dalam diri kita. Semakin besar nafsu
keinginan, maka semakin besar pula kekhawatiran yang akan kita alami.
2. Melihat
segala sesuatu sebagaimana adanya
Kekhawatiran dapat kita atasi ketika kita dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Ketika kita dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kita akan dapat memahami apa yang kita khawatirkan dan mengapa kita khawatir. Seperti halnya kalau kita melihat seutas tali tambang yang tertutup sampah, hal ini dapat membuat kita khawatir andai kata kita berpikir itu adalah ular. Tetapi, ketika kita melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kita akan mengetahui bahwa itu hanyalah tali tambang semata, jadi rasa khawatir akan lenyap.
Kekhawatiran dapat kita atasi ketika kita dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Ketika kita dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kita akan dapat memahami apa yang kita khawatirkan dan mengapa kita khawatir. Seperti halnya kalau kita melihat seutas tali tambang yang tertutup sampah, hal ini dapat membuat kita khawatir andai kata kita berpikir itu adalah ular. Tetapi, ketika kita melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kita akan mengetahui bahwa itu hanyalah tali tambang semata, jadi rasa khawatir akan lenyap.
3. Melihat segala sesuatu sebagaimana adanya
juga termasuk melihat sifat alami kehidupan. Dalam abhiṇhapaccavekkhaṇa ada
perenungan tentang sifat kehidupan yakni: sabbehi me piyehi manāpehi nānābhāvo
vinābhāvo yang artinya segala milikku yang kucintai dan kusayangi wajar
berubah, wajar terpisah dariku. Dengan memahami hal ini, rasa khawatir akan
mampu teratasi. Karena inilah sifat alami perubahan dalam kehidupan ini.
4. Hidup
saat ini (Sadar)
Kekhawatiran juga akan mampu kita atasi, ketika kita mampu untuk hidup saat ini dengan sadar. Sebab saat ini adalah penentu masa depan kita, hari esok ada diawali oleh hari ini. Di saat ini, kita perlu berbuat dengan sadar, agar saat ini kita dapat melakukan yang terbaik. Jika kita sudah melakukan yang terbaik, sudah berusaha yang terbaik serta sudah mengkondisikan yang terbaik, maka kita tidak akan mengalami rasa khawatir lagi.
Kekhawatiran juga akan mampu kita atasi, ketika kita mampu untuk hidup saat ini dengan sadar. Sebab saat ini adalah penentu masa depan kita, hari esok ada diawali oleh hari ini. Di saat ini, kita perlu berbuat dengan sadar, agar saat ini kita dapat melakukan yang terbaik. Jika kita sudah melakukan yang terbaik, sudah berusaha yang terbaik serta sudah mengkondisikan yang terbaik, maka kita tidak akan mengalami rasa khawatir lagi.
5. Sebaliknya, jika kita tidak sadar pada
hidup saat ini, pikiran kita akan pergi jauh ke depan, dan hal ini merupakan
sebab kekhawatiran timbul. Jika ada gambaran masa depan yang kita khawatirkan,
cobalah lihat hidup kita saat ini. Karena gambaran tentang masa depan kita akan
menjadi nyata, diawali saat ini, sebab saat ini adalah pengkondisi hari esok
(masa depan).
14-9-12
1. Semoga dengan memahami hal ini kita dapat
mengatasi kekhawatiran dalam diri kita.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
2. Oleh: Bhikkhu Atthadhiro (16 Januari 2011)
3. Dhammapada (bahasa Pali)
atau Dharmapada (bahasa Sansekerta) merupakan salah satu
kitab suci agama Buddha dari bagian Khuddaka Nikāya, yang merupakan salah
satu bagian dari Sutta Pitaka. Dhammapada terdiri dari 26 vagga (bab) atau 423 bait.
4. == Konsep Ketuhanan dalam Buddhisme ==
5. {{main|Tuhan dalam agama Buddha}}
15-9-12
1. Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan
[[Tuhan]]. Konsep [[Tuhan dalam agama Buddha|ketuhanan dalam agama Buddha]]
berbeda dengan konsep dalam [[agama Samawi]] [[dimana]] alam semesta diciptakan
oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke [[surga]]
ciptaan Tuhan yang kekal.
2. {{cquote|Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada
sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang
Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak
Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita
dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang
lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak
Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas
dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.}}
3. Ungkapan di atas adalah pernyataan dari
Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep
Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam
[[bahasa Pali]] adalah ''Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang'' yang
artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan
dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang
tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat
digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak
berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai
kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
4. Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha
Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah
berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain.
Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih
banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha
dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha
yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan
konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.
5. Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha
seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep
Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak
konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan
dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang
[[alam semesta]], [[terbentuknya Bumi]] dan [[evolusi manusia|manusia]],
kehidupan manusia di alam semesta, [[kiamat]] dan Keselamatan atau Kebebasan.
16-9-12
1. Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup
manusia adalah mencapai kebuddhaan (''anuttara samyak sambodhi'') atau
pencerahan sejati [[dimana]] satu makhluk tidak perlu lagi mengalami proses
[[tumimbal lahir]]. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak
ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha
sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu,
dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai
pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.
2. Saṃsāra • Nibbāṇa
Jalan Tengah
Jalan Utama Berunsur Delapan
Empat Kebenaran Mulia
Tahap Pencerahan
Pedoman
Jalan Tengah
Jalan Utama Berunsur Delapan
Empat Kebenaran Mulia
Tahap Pencerahan
Pedoman
3.
Tiga Mustika
4. Buddha Mahayana
17-9-12
1. Patung Buddha Tian Tan. Vihara Po Lin,
pulau Lantau, Hong Kong
2. Sutra
Teratai merupakan rujukan sampingan penganut Buddha aliran Mahayana.
Tokoh Kwan Im
yang bermaksud "maha mendengar" atau nama Sansekertanya "Avalokiteśvara"
merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai telah menitis beberapa kali
dalam alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia
diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut. Menurut
sejarahnya Avalokitesvara adalah seorang lelaki murid Buddha, akan tetapi
setelah pengaruh Buddha masuk ke Tiongkok, profil ini perlahan-lahan berubah
menjadi sosok feminin dan dihubungkan dengan legenda yang ada di Tiongkok
sebagai seorang dewi.
3. Penyembahan kepada Amitabha Buddha
(Amitayus) merupakan salah satu aliran utama Buddha Mahayana. Sorga
Barat merupakan tempat tujuan umat Buddha aliran Sukhavati selepas mereka
meninggal dunia dengan berkat kebaktian mereka terhadap Buddha Amitabha dimana mereka tidak
perlu lagi mengalami proses reinkarnasi dan dari sana menolong semua makhluk
hidup yang masih menderita di bumi.
4. Mereka mempercayai mereka akan lahir semula
di Sorga Barat untuk menunggu saat Buddha Amitabha memberikan khotbah Dhamma dan Buddha
Amitabha akan memimpin mereka ke tahap mencapai 'Buddhi' (tahap kesempurnaan dimana kejahilan,
kebencian dan ketamakan tidak ada lagi). Ia merupakan pemahaman Buddha yang
paling disukai oleh orang Tionghoa.
5. Seorang Buddha bukannya dewa atau makhluk
suci yang memberikan kesejahteraan. Semua Buddha adalah pemimpin segala
kehidupan ke arah mencapai kebebasan daripada kesengsaraan. Hasil amalan ajaran
Buddha inilah yang akan membawa kesejahteraan kepada pengamalnya.
16-9-12
1. Menurut Buddha
Gautama , kenikmatan Kesadaran Nirwana yang
dicapainya di bawah pohon Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila mereka
dilahirkan sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran Buddha Mahayana
khususnya merujuk kepada banyak Buddha dan juga bodhisattva (makhluk yang tekad "committed" pada
Kesadaran tetapi menangguhkan Nirvana mereka agar dapat membantu orang lain
pada jalan itu). Dalam Tipitaka suci - intipati teks suci Buddha - tidak terbilang Buddha
yang lalu dan hidup mereka telah disebut "spoken of", termasuk Buddha
yang akan datang, Buddha Maitreya .
Buddha
Theravada
3. Aliran Theravada adalah aliran yang
memiliki sekolah Buddha tertua yang tinggal sampai saat ini, dan untuk berapa
abad mendominasi Sri Langka dan wilayah Asia
Tenggara (sebagian dari Tiongkok bagian barat daya, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Indonesia dan
Thailand)
dan juga sebagian Vietnam.
Selain itu populer pula di Singapura dan Australia.
Gramatika
4. Theravada berasal dari bahasa Pali
yang terdiri dari dua kata yaitu thera dan vada. Thera berarti sesepuh khususnya sesepuh
terdahulu , dan vada berarti perkataan atau ajaran. Jadi Theravada berarti
Ajaran Para Sesepuh.
Istilah
Theravada muncul sebagai salah satu aliran agama Buddha dalam Dipavamsa, catatan awal sejarah Sri Lanka
pada abad ke-4 Masehi. Istilah ini juga tercatat dalam Mahavamsa, sebuah catatan
sejarah penting yang berasal dari abad ke-5 Di yakini Theravada merupakan wujud
lain dari salah satu aliran agama Buddha terdahulu yaitu Sthaviravada (Bahasa
Sanskerta: Ajaran Para Sesepuh) , sebuah aliran agama Buddha awal yang
terbentuk pada Sidang Agung Sangha
ke-2 (443 SM). Dan juga merupakan wujud dari aliran Vibhajjavada yang berarti Ajaran Analisis (Doctrine
of Analysis) atau Agama Akal Budi (Religion
of Reason).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar