28-8-12
1.
Sementara
belenggu akan keraguan dapat dianggap sebagai upaya untuk menyinggung ajaran Shramana''samana'' yang
bersaing selama masa Buddha, belenggu mengenai kebiasaan dan riual sepertinya
merujuk kepada beberapa adat kebiasaan penguasa brahmanik kontemporer.
Memangkas belenggu
|
Meditasi
dengan belenggu-belenggu |
|
"Disini,
O bhikkhu,
seorang bhikkhu mengerti mata dan bentuk materi dan belenggu yang timbul
tergantung pada keduanya (mata dan bentuk); ia mengerti bagaimana belenggu
yang tidak timbul menjadi timbul; ia mengerti bagaimana mengabaikan belenggu
yang timbul tersebut; dan ia mengerti bagaimana hal yang tidak-timbul di masa
mendatang akan belenggu yang diabaikan terjadi. [Dan oleh karenanya] ia
mengerti telinga dan suara .... indera pembauan dan bau-bauan .... indera
pengecapan dan rasa .... indera sentuhan dan obyek yang dapat disentuh ....
[dan] kesadaran dan obyek-obyek batin ..."
|
2. Pada MN
64, "Khotbah Panjang kepada Mālunkyāputta," Buddha menyatakan bahwa
jalan untuk mengabaikan lima belenggu rendah (yang adalah, lima dari
"sepuluh belenggu" pertama
sebagaimana disebutkan terdahulu) adalah melalui pencapaian jhana dan pengetahuan akan vipassana secara bersamaan.
3. Dalam SN
35.54, "Mengabaikan Belenggu," Buddha menyatakan bahwa seseorang yang
mengabaikan belenggu-belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ...
sebagai ketidak
kekalan" (Pali:anicca)
duabelas sumber indera (āyatana), hal-hal yang sehubungan
dengan enam indera-kesadaran (viññaṇa), dan hasil reaksi sentuhan (phassa) dan sensasi (vedanā).
4. Pada hal yang sama, dalam SN35.55,
"Menumbangkan Belenggu," Buddha menyatakan bahwa ia yang menumbangkan
belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai tanpa diri" (anatta) sumber indera, indera
kesadaran, sentuhan dan sensasi.
5. Kanon Pali secara tradisional menjelaskan
pemangkasan belenggu-belenggu ini dalam empat tingkatan:
29-8-12
1.
Ia yang
memotong tiga belenggu pertama (Pali: tīṇi saŋyojanāni) menjadi "pemasuk-arus"
(sotapanna);
2.
Ia yang
memotong tiga belenggu pertama dan secara berarti melemahkan dua belenggu
berikut untuk menjadi "kembali sekali" (sakadagami);
3.
Ia yang
memotong lima
belenggu pertama (orambhāgiyāni
samyojanāni) menjadi seorang "tidak-kembali"
(anagami);
5.
Hubungan dengan konsep inti lainnya
30-8-12
1.
Sama dengan
konsep Buddhis yang ditemukan di seluruh Kanon Pali termasuk lima hambatan (nīvaraṇāni)
dan sepuluh kekotoran (kilesā).
Dengan perbandingan, dalam tradisi Theravada,
belenggu-belenggu menjangkau kehidupan berlipat kali dan sangat sulit untuk
dihapus, sedangkan hambatan bersifat rintangan sementara. Kekotoran mencakup seluruh kekotoran batin termasuk
belenggu dan hambatan
Belenggu-belenggu
yang berhubungan dengan rumah tangga
2.
Secara
khusus, Sutta "Potaliya" (MN
54), mengenal delapan
belenggu-belenggu (termasuk tiga dari Lima Ajaran) yang mana mengabaikan
"menyebabkan pemutusan hubungan" ("lead[s] to the cutting off of affairs") (vohāra-samucchedāya saṃvattanti):
menghancurkan kehidupan (pāṇātipāto); mencuri (adinnādānaṃ); ucapan salah (musāvādo); fitnah (pisunā); iri hati dan keserakahan (giddhilobho); kebencian (nindāroso); kemarahan dan kebencian (kodhūpāyāso); dan, kesombongan (atimāno).
Belenggu individual
3.
Belenggu-belenggu
berikut merupakan tiga belenggu pertama dalam daftar sepuluh belenggu yang
terdapat di Sutta Pitaka sebagaimana disebutkan terdahulu, dan daftar Saṅgīti Sutta dan Abhidhamma Pitaka akan "tiga
belenggu" (DN33, Dhs. 1003 ff).
Sebagaimana dijelaskan dibawah, pemberantasan tiga belenggu-belenggu ini merupakan
petunjuk kanonikal akan seseorang yang berada pada jalur pencerahan.
Pandangan
identitas (sakkāya-diṭṭhi)
4.
Secara
etimologi, kāya berarti
"tubuh", sakkāya
berarti "tubuh fisik", dan diṭṭhi berarti
"pandangan" (seringkali menunjuk kepada pandangan salah, dalam agama Buddha,
sebagaimana dicontohkan dalam tampilan tabel berikut).
5.
Secara umum,
"percaya akan keberadaan diri sendir" atau, lebih ringkasnya,
"pandangan diri" merujuk kepada "kepercayaan bahwa dalam satu khanda atau lainnya terdapat
entitas permanen, sebuah attā".[23]
31-8-12
1.
Sama halnya,
dalam MN 2,Sabbasava Sutta, Buddha menjelaskan
"belenggu akan pandangan" dalam bentuk berikut:
|
"Pandangan"
oleh Enam Samana
dalam Kanon Pali (berdasarkan Sāmaññaphala Sutta1) |
|
|
Pertanyaan: "Apakah mungkin untuk
menunjukkan
buah kehidupan tafakur, terlihat disini dan saat ini?"1 |
|
|
pandangan
(diṭṭhi)
|
|
|
Pengendalian diri:
terberkati dengannya, dibersihkan olehnya
dan diliputi dengan menghindari segala bentuk kejahatan.2 |
|
|
Agnostisisme: "Saya pikir tidak juga. Saya tidak
berpikir
demikian pula. Saya tidak berpikir tidak atau bukan tidak." |
|
|
Notes:
|
1. DN 2 (Thanissaro,
1997; Walshe, 1995, pp. 91-109).
2. DN-a (Ñāṇamoli & Bodhi, 1995, pp. 1258-59, n. 585). |
2.
"Demikian
lah bagaimana [seseorang dengan pandangan salah] hadir dengan tidak sesuai:
'Siapakah saya di masa lalu? ... Bagaimana saya di masa mendatang? ... Saya
kah? Tidakkah saya? Apa saya? ...'
3.
"Sebagaimana
ia hadir dengan tidak sesuai, satu dari enam jenis pandangan timbul dalam
dirinya: ...
4.
"As he
attends inappropriately in this way, one of six kinds of view arises in him:
...
5.
'Saya
memiliki jiwa...'
1-9-12
1.
'Saya tidak
memiliki jiwa...'
2.
'Justru
karena pengertian akan jiwa saya mengartikan jiwa...'
3.
'Justru
karena pengertian akan diri saya mengartikan tanpa-jiwa...'
4.
'Justru
karena pengertian akan tanpa-jiwa, saya mengartikan jiwa...'
5.
'Ini adalah
jiwa saya sesungguhnya ... adalah jiwa milik saya yang senantiasa...'
2-9-12
"Hal
ini disebut juga semak-belukar mengenai pandangan, sebuah hutan belantara
mengenai pandangan, pemutar balikkan mengenai pandangan, geliatan akan
pandanggan, sebuah belenggu mengenai pandangan. Terikat oleh belenggu mengenai
pandangan, yang awam ... tidak terbebaskan, Saya menyampaikan kepada mu, dari
penderitaan & tekanan."
Keraguan (vicikicchā)
Pada
umumnya, "keraguan" merujuk kepada keraguan mengenai ajaran Buddha, Dhamma. (Pengajaran
setara lainnya ditampilkan pada tabel di sebelah kanan.)
Lebih
jelasnya, dalam SN 22.84, Tissa Sutta, Buddha dengan
tegas memperingatkan terhadap ketidakpastian mengenai Jalan Utama Berunsur Delapan, yang
dijelaskan sebagai jalur yang tepat menuju Nibbana, memimpin seseorang melewati
kebodohan, nafsu indria, kemarahan dan keputusasaan.
Kemelekatan
akan kebiasaan dan ritual (sīlabbata-parāmāso)
Sīla merujuk
pada "perilaku moral", vata
(atau bata) untuk "tugas
keagamaan, ketaantan, tata cara, pelaksanaan, kebiasaan," dan parāmāsauntuk "menjadi terikat
kepada" atau "penularan" dan memiliki konotasi akan
"penyalahgunaan" Dhamma.Keseluruhan, sīlabbata-parāmāso diterjemahkan menjadi "penularan
pengaruh buruk akan peraturan dan ritual, kecanduan akan pekerjaan baik,
khayalan bahwa hal tersebut cukup" atau, lebih sederhananya, "jatuh
kembali kepada kemelekatan akan pedoman dan peraturan."
3-9-12
Sementara belenggu akan keraguan dapat
dianggap sebagai upaya untuk menyinggung ajaran Shramana''samana'' yang
bersaing selama masa Buddha, belenggu mengenai kebiasaan dan riual sepertinya
merujuk kepada beberapa adat kebiasaan penguasa brahmanik kontemporer.
Memangkas belenggu
|
Meditasi
dengan belenggu-belenggu |
|
"Disini,
O bhikkhu,
seorang bhikkhu mengerti mata dan bentuk materi dan belenggu yang timbul
tergantung pada keduanya (mata dan bentuk); ia mengerti bagaimana belenggu
yang tidak timbul menjadi timbul; ia mengerti bagaimana mengabaikan belenggu
yang timbul tersebut; dan ia mengerti bagaimana hal yang tidak-timbul di masa
mendatang akan belenggu yang diabaikan terjadi. [Dan oleh karenanya] ia
mengerti telinga dan suara .... indera pembauan dan bau-bauan .... indera
pengecapan dan rasa .... indera sentuhan dan obyek yang dapat disentuh ....
[dan] kesadaran dan obyek-obyek batin ..."
|
1.
Pada MN
64, "Khotbah Panjang kepada Mālunkyāputta," Buddha menyatakan bahwa
jalan untuk mengabaikan lima belenggu rendah (yang adalah, lima dari
"sepuluh belenggu" pertama
sebagaimana disebutkan terdahulu) adalah melalui pencapaian jhana dan pengetahuan akan vipassana secara bersamaan.
2.
Dalam SN
35.54, "Mengabaikan Belenggu," Buddha menyatakan bahwa seseorang yang
mengabaikan belenggu-belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ...
sebagai ketidak
kekalan" (Pali:anicca)
duabelas sumber indera (āyatana), hal-hal yang sehubungan
dengan enam indera-kesadaran (viññaṇa), dan hasil reaksi sentuhan (phassa) dan sensasi (vedanā).
3.
Pada hal
yang sama, dalam SN35.55, "Menumbangkan Belenggu," Buddha menyatakan
bahwa ia yang menumbangkan belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ...
sebagai tanpa diri"
(anatta) sumber indera, indera
kesadaran, sentuhan dan sensasi.
4.
Kanon Pali
secara tradisional menjelaskan pemangkasan belenggu-belenggu ini dalam empat tingkatan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar