Translate

Kamis, 12 April 2012

12 s / d 18 - 4 -12


28-8-12
1.                              Sementara belenggu akan keraguan dapat dianggap sebagai upaya untuk menyinggung ajaran Shramana''samana'' yang bersaing selama masa Buddha, belenggu mengenai kebiasaan dan riual sepertinya merujuk kepada beberapa adat kebiasaan penguasa brahmanik kontemporer.

Memangkas belenggu

Meditasi
dengan belenggu-belenggu
"Disini, O bhikkhu, seorang bhikkhu mengerti mata dan bentuk materi dan belenggu yang timbul tergantung pada keduanya (mata dan bentuk); ia mengerti bagaimana belenggu yang tidak timbul menjadi timbul; ia mengerti bagaimana mengabaikan belenggu yang timbul tersebut; dan ia mengerti bagaimana hal yang tidak-timbul di masa mendatang akan belenggu yang diabaikan terjadi. [Dan oleh karenanya] ia mengerti telinga dan suara .... indera pembauan dan bau-bauan .... indera pengecapan dan rasa .... indera sentuhan dan obyek yang dapat disentuh .... [dan] kesadaran dan obyek-obyek batin ..."
2.      Pada MN 64, "Khotbah Panjang kepada Mālunkyāputta," Buddha menyatakan bahwa jalan untuk mengabaikan lima belenggu rendah (yang adalah, lima dari "sepuluh belenggu" pertama sebagaimana disebutkan terdahulu) adalah melalui pencapaian jhana dan pengetahuan akan vipassana secara bersamaan.
3.      Dalam SN 35.54, "Mengabaikan Belenggu," Buddha menyatakan bahwa seseorang yang mengabaikan belenggu-belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai ketidak kekalan" (Pali:anicca) duabelas sumber indera (āyatana), hal-hal yang sehubungan dengan enam indera-kesadaran (viññaṇa), dan hasil reaksi sentuhan (phassa) dan sensasi (vedanā).
4.      Pada hal yang sama, dalam SN35.55, "Menumbangkan Belenggu," Buddha menyatakan bahwa ia yang menumbangkan belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai tanpa diri" (anatta) sumber indera, indera kesadaran, sentuhan dan sensasi.
5.      Kanon Pali secara tradisional menjelaskan pemangkasan belenggu-belenggu ini dalam empat tingkatan:
29-8-12
1.                              Ia yang memotong tiga belenggu pertama (Pali: tīṇi saŋyojanāni) menjadi "pemasuk-arus" (sotapanna);
2.                              Ia yang memotong tiga belenggu pertama dan secara berarti melemahkan dua belenggu berikut untuk menjadi "kembali sekali" (sakadagami);
3.                              Ia yang memotong lima belenggu pertama (orambhāgiyāni samyojanāni) menjadi seorang "tidak-kembali" (anagami);
4.                              Ia yang memotong seluruh sepuluh belenggu menjadi seorang arahat.
5.                              Hubungan dengan konsep inti lainnya
30-8-12
1.                              Sama dengan konsep Buddhis yang ditemukan di seluruh Kanon Pali termasuk lima hambatan (nīvaraāni) dan sepuluh kekotoran (kilesā). Dengan perbandingan, dalam tradisi Theravada, belenggu-belenggu menjangkau kehidupan berlipat kali dan sangat sulit untuk dihapus, sedangkan hambatan bersifat rintangan sementara. Kekotoran mencakup seluruh kekotoran batin termasuk belenggu dan hambatan

Belenggu-belenggu yang berhubungan dengan rumah tangga

2.                              Secara khusus, Sutta "Potaliya" (MN 54), mengenal delapan belenggu-belenggu (termasuk tiga dari Lima Ajaran) yang mana mengabaikan "menyebabkan pemutusan hubungan" ("lead[s] to the cutting off of affairs") (vohāra-samucchedāya saṃvattanti): menghancurkan kehidupan (pāṇātipāto); mencuri (adinnādānaṃ); ucapan salah (musāvādo); fitnah (pisunā); iri hati dan keserakahan (giddhilobho); kebencian (nindāroso); kemarahan dan kebencian (kodhūpāyāso); dan, kesombongan (atimāno).

Belenggu individual

3.                              Belenggu-belenggu berikut merupakan tiga belenggu pertama dalam daftar sepuluh belenggu yang terdapat di Sutta Pitaka sebagaimana disebutkan terdahulu, dan daftar Sagīti Sutta dan Abhidhamma Pitaka akan "tiga belenggu" (DN33, Dhs. 1003 ff). Sebagaimana dijelaskan dibawah, pemberantasan tiga belenggu-belenggu ini merupakan petunjuk kanonikal akan seseorang yang berada pada jalur pencerahan.

Pandangan identitas (sakkāya-diṭṭhi)

4.                              Secara etimologi, kāya berarti "tubuh", sakkāya berarti "tubuh fisik", dan diṭṭhi berarti "pandangan" (seringkali menunjuk kepada pandangan salah, dalam agama Buddha, sebagaimana dicontohkan dalam tampilan tabel berikut).
5.                              Secara umum, "percaya akan keberadaan diri sendir" atau, lebih ringkasnya, "pandangan diri" merujuk kepada "kepercayaan bahwa dalam satu khanda atau lainnya terdapat entitas permanen, sebuah attā".[23]
31-8-12
1.                              Sama halnya, dalam MN 2,Sabbasava Sutta, Buddha menjelaskan "belenggu akan pandangan" dalam bentuk berikut:
"Pandangan" oleh Enam Samana
dalam Kanon Pali

(berdasarkan Sāmaññaphala Sutta1)
Pertanyaan: "Apakah mungkin untuk menunjukkan
buah kehidupan tafakur, terlihat disini dan saat ini?"1
pandangan (diṭṭhi)
Amoralitas: menolak segala penghargaan atau
hukuman baik untuk perkara baik maupun buruk.
Fatalisme: kami tidak memiliki kekuatan;
penderitaan adalah sesuatu yang telah ditakdirkan.
Materialisme:
dengan kematian, segalanya musnah.
Keabadian: Permasalahan, kesenangan, sakit dan
jiwa adalah abadi dan tidak saling berinteraksi.
Pengendalian diri: terberkati dengannya, dibersihkan olehnya
dan diliputi dengan menghindari segala bentuk kejahatan.2
Agnostisisme: "Saya pikir tidak juga. Saya tidak berpikir
demikian pula. Saya tidak berpikir tidak atau bukan tidak."
Notes:
1. DN 2 (Thanissaro, 1997; Walshe, 1995, pp. 91-109).
2. DN-a (Ñāṇamoli & Bodhi, 1995, pp. 1258-59, n. 585).
2.                              "Demikian lah bagaimana [seseorang dengan pandangan salah] hadir dengan tidak sesuai: 'Siapakah saya di masa lalu? ... Bagaimana saya di masa mendatang? ... Saya kah? Tidakkah saya? Apa saya? ...'
3.                              "Sebagaimana ia hadir dengan tidak sesuai, satu dari enam jenis pandangan timbul dalam dirinya: ...
4.                              "As he attends inappropriately in this way, one of six kinds of view arises in him: ...
5.                              'Saya memiliki jiwa...'
1-9-12
1.                              'Saya tidak memiliki jiwa...'
2.                              'Justru karena pengertian akan jiwa saya mengartikan jiwa...'
3.                              'Justru karena pengertian akan diri saya mengartikan tanpa-jiwa...'
4.                              'Justru karena pengertian akan tanpa-jiwa, saya mengartikan jiwa...'
5.                              'Ini adalah jiwa saya sesungguhnya ... adalah jiwa milik saya yang senantiasa...'
2-9-12
            "Hal ini disebut juga semak-belukar mengenai pandangan, sebuah hutan belantara mengenai pandangan, pemutar balikkan mengenai pandangan, geliatan akan pandanggan, sebuah belenggu mengenai pandangan. Terikat oleh belenggu mengenai pandangan, yang awam ... tidak terbebaskan, Saya menyampaikan kepada mu, dari penderitaan & tekanan."

            Keraguan (vicikicchā)

            Pada umumnya, "keraguan" merujuk kepada keraguan mengenai ajaran Buddha, Dhamma. (Pengajaran setara lainnya ditampilkan pada tabel di sebelah kanan.)
            Lebih jelasnya, dalam SN 22.84, Tissa Sutta, Buddha dengan tegas memperingatkan terhadap ketidakpastian mengenai Jalan Utama Berunsur Delapan, yang dijelaskan sebagai jalur yang tepat menuju Nibbana, memimpin seseorang melewati kebodohan, nafsu indria, kemarahan dan keputusasaan.

Kemelekatan akan kebiasaan dan ritual (sīlabbata-parāmāso)

Sīla merujuk pada "perilaku moral", vata (atau bata) untuk "tugas keagamaan, ketaantan, tata cara, pelaksanaan, kebiasaan," dan parāmāsauntuk "menjadi terikat kepada" atau "penularan" dan memiliki konotasi akan "penyalahgunaan" Dhamma.Keseluruhan, sīlabbata-parāmāso diterjemahkan menjadi "penularan pengaruh buruk akan peraturan dan ritual, kecanduan akan pekerjaan baik, khayalan bahwa hal tersebut cukup" atau, lebih sederhananya, "jatuh kembali kepada kemelekatan akan pedoman dan peraturan."
3-9-12
Sementara belenggu akan keraguan dapat dianggap sebagai upaya untuk menyinggung ajaran Shramana''samana'' yang bersaing selama masa Buddha, belenggu mengenai kebiasaan dan riual sepertinya merujuk kepada beberapa adat kebiasaan penguasa brahmanik kontemporer.

Memangkas belenggu

Meditasi
dengan belenggu-belenggu
"Disini, O bhikkhu, seorang bhikkhu mengerti mata dan bentuk materi dan belenggu yang timbul tergantung pada keduanya (mata dan bentuk); ia mengerti bagaimana belenggu yang tidak timbul menjadi timbul; ia mengerti bagaimana mengabaikan belenggu yang timbul tersebut; dan ia mengerti bagaimana hal yang tidak-timbul di masa mendatang akan belenggu yang diabaikan terjadi. [Dan oleh karenanya] ia mengerti telinga dan suara .... indera pembauan dan bau-bauan .... indera pengecapan dan rasa .... indera sentuhan dan obyek yang dapat disentuh .... [dan] kesadaran dan obyek-obyek batin ..."
1.                              Pada MN 64, "Khotbah Panjang kepada Mālunkyāputta," Buddha menyatakan bahwa jalan untuk mengabaikan lima belenggu rendah (yang adalah, lima dari "sepuluh belenggu" pertama sebagaimana disebutkan terdahulu) adalah melalui pencapaian jhana dan pengetahuan akan vipassana secara bersamaan.
2.                              Dalam SN 35.54, "Mengabaikan Belenggu," Buddha menyatakan bahwa seseorang yang mengabaikan belenggu-belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai ketidak kekalan" (Pali:anicca) duabelas sumber indera (āyatana), hal-hal yang sehubungan dengan enam indera-kesadaran (viññaṇa), dan hasil reaksi sentuhan (phassa) dan sensasi (vedanā).
3.                              Pada hal yang sama, dalam SN35.55, "Menumbangkan Belenggu," Buddha menyatakan bahwa ia yang menumbangkan belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai tanpa diri" (anatta) sumber indera, indera kesadaran, sentuhan dan sensasi.
4.                              Kanon Pali secara tradisional menjelaskan pemangkasan belenggu-belenggu ini dalam empat tingkatan:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar