Translate

Selasa, 17 April 2012

cattari ariya saccani

EMPAT KEBENARAN MULIA
(CATTARI ARIYA SACCANI)
oleh
Tim Buddhakkhetta

Sumber
Dhamma-Sari, Maha Pandita Sumedha Widyadharma, Yayasan Dana Pendidikan Nalanda.
Keyakinan Umat Buddha, Sri Dhamananda, Yayasan Penerbit Karaniya.
Hidup Senang Mati Tenang, Ajahn Brahm, Ehipassiko.
Keyakinan Umat Buddha(Menjadi Buddhis Sejati), Virana, CV.Santusita.
The Four Noble Truths, Venerable Ajahn Sumedho


Cattāri Ariya Saccāni terdiri dari tiga kata, yaitu :
Cattāri            = empat
Ariya              = mulia
Saccāni         = kebenaran
Jadi, Cattāri Ariya Saccāni dapat diartikan Empat Kebenaran Mulia.

Masalah terbesar yang dihadapi oleh manusia dari jaman ke jaman, sejak jaman dahulu, sekarang, dan yang akan datang adalah masalah penderitaan. Penderitaan akan selalu menjadi tantangan paling berat, yang mau tidak mau harus dijawab oleh kita semua.

Mengapa kita ada di sana ? Mengapa kita tidak merasa bahagia dengan kehidupan kita ? Apakah penyebab dari ketidakpuasan kita ? Bagaimana kita dapat melihat akhir dari ketidakpuasan dan mengalami kedamaian abadi ?

Dalam khotbah-Nya yang pertama di Taman Rusa Isipatana, pada bulan ĀsāỊhā yang terkenal dengan nama Dhammacakkappavattana Sutta (Sutta tentang Pemutaran Roda Dhamma), Buddha Gotama telah mengajarkan secara singkat tentang Empat Kebenaran Mulia (Cattāri Ariya Saccāni) kepada lima bhikkhu pertama (Pañcavaggiya-bhikkhu), yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma.

Empat Kebenaran Mulia merupakan aspek yang sangat penting dari Ajaran Buddha. Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Mulia, supaya kita tidak terus - menerus mengalami siklus kelahiran dan kematian. Jika kita menyadari bahwa semua materi dan fenomena itu bersifat fana, tidak memuaskan dan tidak mengandung inti apapun, kita akan yakin bahwa kebahagiaan sejati dan abadi tidak dapat ditemukan dalam kepemilikan materi dan pencapaian duniawi, bahwa kebahagiaan sejati harus dicari hanya melalui pemurnian batin dan pengembangan kebijaksanaan.

Empat Kebenaran Mulia tersebut adalah :


KEBENARAN MULIA TENTANG DUKKHA
(Dukkha Ariyasacca)

Apakah Kebenaran Mulia tentang Dukkha? Kelahiran adalah dukkha, usia tua adalah dukkha, kematian adalah dukkha, kesedihan, ratap – tangis, penderitaaan (jasmani), kepedihan hati, dan keputus-asaan adalah dukkha, berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah dukkha, berpisah dengan yang disenangi adalah dukkha, tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah dukkha; singkatnya, kelima gugusan pembentuk penyebab kemelekatan adalah dukkha.

Inilah Kebenaran Mulia tentang Dukkha; demikianlah penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul dalam diri-Ku mengenai hal yang belum pernah Kudengar sebelumnya. Kebenaran Mulia ini harus ditembus dengan sepenuhnya memahami dukkha: demikianlah penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul dalam diriku mengenai hal yang belum pernah kudengar sebelum-Nya.

Kebenaran Mulia ini telah ditembus dengan sepenuhnya memahami dukkha, demikianlah penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul dalam diri-Ku mengenai hal yang belum pernah Kudengar sebelumnya.
[Sayutta Nikāya LVI, 11]

Kata "dukkha" di sini, yang menyatakan pandangan Buddha tentang kehidupan dan dunia, mempunyai pengertian filosofis yang mendalam dan mencakup bidang yang amat luas.

Dalam khotbah-Nya yang pertama setelah mencapai Penerangan Sempurna, Beliau merumuskan dukkha dengan istilah sebagai berikut :

"Kelahiran, usia tua, dan kematian adalah dukkha; kesedihan, ratap – tangis, penderitaan (jasmani), kepedihan hati, dan keputus-asaan adalah dukkha; berkumpul dengan yang tidak disenangi, berpisah dengan yang disenangi, dan tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah dukkha. Singkatnya, kelima gugusan pembentuk penyebab kemelekatan adalah dukkha".

Definisi

Kata ”dukkha” yang berasal dari bahasa PaỊi, sukar sekali untuk diwakilkan secara tepat oleh satu kata dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris karena memiliki makna yang mendalam. Secara etimologi berasal dari kata du” yang berarti sukar dan kata ”kha” yang berarti dipikul, ditahan. Jadi kata ”du-kha” berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Pada umumnya dukkha dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, beban.

Penderitaan atau dukkha adalah ikatan umum yang dialami oleh semua manusia. Semua manusia menderita. Manusia menderita di masa lalu, di India kuno, di Inggris modern, dan di masa depan, manusia juga bakal menderita…. Apa persamaan antara kita dengan Ratu Elizabeth? Kita sama - sama menderita. Penderitaan melingkupi semua tingkatan dari manusia elit yang paling istimewa sampai dengan yang rendahan dan tersisih. Semua manusia di mana pun menderita, inilah persamaan antara kita semua, suatu hal yang dipahami oleh kita semua.

Banyak yang salah memahami Ajaran ini dan beranggapan bahwa Buddha Dhamma adalah Ajaran pesimistis, yang memandang dunia ini dari sudut negatif. karena itu, perlu ditegaskan di sini bahwa Buddha Dhamma bukanlah Ajaran yang bersifat pesimistis atau optimistis. Buddha adalah seorang yang realistis dan obyektif, Beliau memandang segala sesuatu menurut hakekat yang sebenarnya berdasarkan Pandangan Terang (Yathābhūta Ñāadassana).

Sewaktu menerangkan dukkha, Beliau juga mengsayai adanya berbagai bentuk "kebahagiaan", material dan spiritual. Akan tetapi, kebahagiaan - kebahagiaan itu sendiri adalah bersyarat, selalu berubah - ubah dan tidak kekal, karena itu harus digolongkan dalam dukkha (Anicca, Dukkha Viparināmadhamma). Dukkha bukan merupakan "penderitaan" dari arti kata umum, tetapi merupakan "segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha" (yad anicca ta dukkha).

Karenanya, dukkha disini mempunyai tiga pengertian, yaitu :

1.     Dukkha yang nyata, yang benar-benar dirasakan sebagai derita tubuh atau derita batin, seperti sakit, susah hati (dukkha - dukkha).
2.     Semua perasaan senang dan bahagia berdasarkan sifat tidak kekal, yang di dalamnya terkandung benih - benih dukkha (viparināma dukkha).
3.     Sifat tertekan dari semua sakhārā (bentuk atau keadaan yang bersyarat) yang selalu muncul dan lenyap, seperti pañcakkhandhā (lima gugusan pembentuk kehidupan) atau nāma-rūpa (Sakhārādukkha).

Dalam Dukkha Sutta, Sayutta 38.14 (S 4.259), Y.A. Sāriputta menjelaskan adanya tiga bentuk dukkha. Dukkha - dukkha adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang alami dan dirasakan tubuh dan batin, seperti sakit jantung, sakit kepala, perasaan sedih karena berpisah dengan yang dicintai, kegagalan dalam usaha, dan sebagainya.

Ketidakpuasan atau penderitaan yang tidak lepas dari adanya perubahan, seperti kondisi perasaan bahagia, yang dirasakan cepat atau lambat akan mengalami perubahan adalah ketidakpuasan atau penderitaan. Ketidakpuasan yang berhubungan dengan lima gugusan pembentuk kehidupan (pañcakkhandhā), seperti perasaan susah karena tidak dapat menikmati makanan enak yang dipicu karena adanya indera pengecap yang merupakan salah satu dari lima gugusan pembentuk kehidupan (pañcakkhandhā).


KEBENARAN MULIA TENTANG ASAL MULA DUKKHA
(Dukkhasamudaya Ariyasacca)

Dukkha berasal dari kesenangan yang membentuk kembali makhluk hidup dan disertai dengan kegemaran dan keinginan, kegemaran pada ini dan itu, dengan kata lain, kesenangan akan kenikmatan indria, kesenangan untuk menjadi dan kesenangan untuk tidak menjadi. Tetapi dimanakah kesenangan ini muncul dan berkembang ? Di mana saja ada yang tampaknya menarik dan menguntungkan, di sanalah kesenangan muncul dan berkembang. Inilah Kebenaran Mulia tentang Asal Mula Dukkha, demikianlah pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul dalam diri-Ku mengenai hal yang belum pernah Kudengar sebelumnya. Kebenaran Mulia ini harus ditembus dengan meninggalkan asal mula dukkha . . .

Kebenaran Mulia ini telah ditembus dengan meninggalkan asal mula dukkha, demikianlah pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul dalam diri-Ku mengenai hal yang belum pernah Kudengar sebelumnya.
[Sayutta Nikāya LVI, 11]

Asal mula dukkha ialah "keinginan rendah" (Ta) yang tidak ada habis - habisnya, yang menyebabkan kelahiran berulang - ulang bersama dengan nafsu yang mencari kenikmatan ke sana ke mari (ponobhavika nandiragasahagata tatratatrabhinandini). Ta dapat diibaratkan seperti candu atau opium yang menimbulkan dampak ketagihan bagi yang memakainya terus - menerus dan semakin lama akan merusak fisik maupun mental si pemakai. Ta juga dapat diibaratkan seperti air laut yang asin yang jika diminum untuk menghilangkan haus justru rasa haus tersebut semakin bertambah.

Ada tiga bentuk ta, yang terdiri atas :

  1. Kesenangan terhadap nafsu inderawi (kāma - tahā)
Kesenangan terhadap nafsu inderawi terdiri atas kesenangan terhadap :

bentuk - bentuk (indah)
suara - suara (merdu)
aroma - aroma (wangi)
rasa - rasa (nikmat)
sentuhan - sentuhan (lembut)
bentuk - bentuk pikiran

  1. Kesenangan terhadap penjelmaan (bhava - ta) adalah kesenangan untuk terlahir kembali sebagai manusia yang berdasarkan pada kepercayaan yang mengatakan tentang adanya "atma (jiwa) yang kekal dan terpisah" (attāvada).

  1. Kesenangan terhadap pemusnahan (vibhava - ta) adalah kesenangan untuk memusnahkan diri, yang berdasarkan pada kepercayaan yang mengatakan bahwa setelah manusia meninggal maka berakhirlah segala riwayat setiap manusia (ucchedavada).

Setiap manusia mengsayai bahwa semua kejahatan dalam dunia ini disebabkan oleh kesenangan yang egoistis. Hal ini tidak sulit untuk dimengerti. Tetapi bagaimana ta ini dapat mengakibatkan "kelahiran berulang - ulang" (ponobhavika) bukanlah dapat dimengerti dengan mudah. Maka di sini kita akan membicarakan sudut falsafah yang lebih mendalam dari kebenaran mulia yang kedua yang berhubungan dengan kebenaran mulia yang pertama.

Terdapat empat macam "makanan" (āhāra) dalam pengertian sebab atau kondisi yang diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk – makhluk, yaitu :

  • Makanan material (kabalikārāhāra)
  • Kontak dari enam indera makhluk dalam menyentuh obyek (phassāhāra)
  • Kesadaran yang menimbulkan nama dan rupa (viññāāhāra)
  • Kehendak batin yang menimbulkan perkataan dan perbuatan (manosancetanāhāra)

Keempat macam āhāra ini merupakan kehendak untuk hidup, untuk lahir, untuk lahir kembali, untuk berlangsung, untuk menjadi lebih sempurna. Ia menciptakan akar dari kelahiran dan kelangsungan yang bergerak maju dengan perbuatan - perbuatan yang baik dan tidak baik (kusala - sayasala kamma).


KEBENARAN MULIA TENTANG BERAKHIRNYA DUKKHA
(Dukkhanirodha Ariyasacca)

Apakah Kebenaran Mulia tentang Berakhirnya Dukkha ? Kebenaran Mulia ini adalah luruh tanpa sisa dan berakhirnya kesenangan (ta) yang sama itu, penolakan, penyerahan, peninggalan, dan pelepasannya. Tetapi bagaimanakah keserakahan ditinggalkan dan diakhiri? Kapanpun timbul sesuatu yang tampaknya menarik dan menguntungkan, maka ditinggalkan dan diakhiri. Inilah Kebenaran Mulia mengenai Berakhirnya Dukkha, demikianlah pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul dalam diri-Ku mengenai hal yang belum pernah Kudengar sebelumnya. Kebenaran Mulia ini harus ditembus dengan mencapai berakhirnya dukkha.

Kebenaran Mulia ini telah ditembus dengan mencapai berakhirnya dukkha, demikianlah pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul dalam diri-Ku mengenai hal yang belum pernah Kudengar sebelumnya.
[Sayutta Nikāya LVI, 11]

Buddha bersabda,“Sekarang, O para Bhikkhu, Kebenaran Mulia tentang Berakhirnya Dukkha, yaitu : berakhirnya semua hawa nafsu tanpa sisa, melepaskannya, bebas, terpisah sama sekali dari kesenangan tersebut.”

Pada bagian ini Buddha menjelaskan bahwa dukkha bisa dihentikan yaitu dengan cara menyingkirkan ta sebagai penyebab dukkha. Ketika ta telah disingkirkan, maka kita akan terbebas dari semua penderitaan (batin). Lenyapnya dukkha, berakhir sama sekali, dilepaskannya, ditinggalkannya, terbebas dari, tidak terdapatnya keinginan rendah (ta) ini; atau dengan kata lain: tercapainya Nibbāna.

Dalam Itivuttaka 44; Khuddaka Nikāya, Buddha menjelaskan bahwa terdapat 2 macam Nibbāna, yaitu :

Sa-upadisesa-Nibbāna

Sa-upadisesa-Nibbāna adalah nibbāna yang masih bersisa.
Yang dimaksud dengan bersisa di sini adalah masih adanya lima gugusan pembentuk kehidupan (pañcakkhandhā). Ketika Petapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, Beliau dikatakan telah mencapai Sa-upadisesa-Nibbāna tetapi masih memiliki lima gugusan pembentuk kehidupan (pañcakkhandhā, yaitu jasmani, perasaan, bentuk - bentuk pikiran, pencerapan dan kesadaran indera). Sa-upadisesa-Nibbāna juga dapat dikatakan sebagai kondisi batin (state of mind) yang murni, tenang, dan seimbang.

An-upadisesa-Nibbāna

An-upadisesa-Nibbāna adalah nibbāna tanpa sisa.
Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai An-upadisesa-Nibbāna, yakni Nibbāna tanpa sisa atau disebut juga Parinibbāna, dimana tidak ada lagi lima gugusan pembentuk kehidupan (pañcakkhandhā, yaitu jasmani, perasaan, bentuk - bentuk pikiran, pencerapan dan kesadaran indera), tidak ada lagi sisa - sisa dan sebab - sebab dari suatu bentuk kemunculan. Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata - kata. Hal ini dapat diumpamakan dengan padamnya api dari sebuah pelita, kemanakah api itu pergi ? Hanya satu jawaban yang tepat, yakni ‘tidak tahu’. Ketika Buddha mangkat, Beliau dikatakan telah mencapai anupadisesa-nibbāna.


KEBENARAN MULIA TENTANG JALAN MENUJU BERAKHIRNYA DUKKHA (Dukkhanirodhagāminī patipadā Ariyasacca)

Apakah Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Berakhirnya Dukkha ? Kebenaran Mulia ini adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu: Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Pencaharian Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Inilah Jalan Mulia Menuju Berakhirnya Dukkha, demikianlah pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman, dan cahaya yang timbul dalam diri-Ku mengenai hal yang belum pernah Kudengar sebelumnya.

Kebenaran Mulia ini harus ditembus dengan mengkultivasi Jalan [tersebut].

Kebenaran Mulia ini telah ditembus dengan mengkultivasi Jalan, demikianlah pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman, dan cahaya yang timbul dalam diri-Ku mengenai hal yang belum pernah Kudengar sebelumnya.
[Sayutta Nikāya LVI, 11]

Buddha bersabda, “Sekarang, O para Bhikkhu, Kebenaran Mulia tentang Jalan menuju berakhirnya Dukkha, tiada lain adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu : Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Pencaharian Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar.”

Jalan untuk menuju berakhirnya dukkha adalah "Jalan Mulia Berunsur Delapan" (Ariya Aṭṭhagika Magga). Jalan Mulia Berunsur Delapan ini dikenal juga sebagai "Jalan Tengah" (Majjhimā Paipadā), oleh karena "Jalan" ini menghindari dan berada di luar dua cara hidup yang ekstrim, yaitu : pemuasan nafsu indera yang berlebih - lebihan dan penyiksaan diri, dan sekaligus mengajarkan suatu cara berpikir yang menghindari kedua sudut pandang, yaitu pandangan tentang "kekekalan" (sassata-diṭṭhi) dan "kemusnahan" (uccheda-diṭṭhi).

Dengan ajaran ini kita dapat membedakan antara unsur - unsur berikut : mulia dan tidak mulia (ariya dan anariya), baik dan tidak baik (kusala dan akusala), berguna dan tidak berguna (attha dan anattha), benar dan tidak benar (dhamma dan adhamma), tercela dan tidak tercela (savajja dan anavajja), jalan hidup yang terang dan jalan hidup yang tidak terang (tāpaniya dan anatāpaniya) dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar