EMPAT
KEBENARAN MULIA
(CATTARI
ARIYA SACCANI)
oleh
Tim Buddhakkhetta
Sumber
Dhamma-Sari, Maha Pandita Sumedha
Widyadharma, Yayasan Dana Pendidikan
Nalanda.
Keyakinan
Umat
Buddha, Sri Dhamananda, Yayasan Penerbit Karaniya.
Hidup
Senang
Mati Tenang, Ajahn Brahm, Ehipassiko.
Keyakinan
Umat
Buddha(Menjadi Buddhis Sejati), Virana,
CV.Santusita.
The
Four
Noble Truths, Venerable Ajahn Sumedho
Cattāri
Ariya Saccāni terdiri dari
tiga kata, yaitu :
Cattāri
=
empat
Ariya
= mulia
Saccāni
= kebenaran
Jadi, Cattāri Ariya
Saccāni dapat diartikan Empat Kebenaran Mulia.
Masalah
terbesar yang dihadapi oleh manusia dari
jaman ke jaman, sejak jaman dahulu, sekarang, dan yang akan
datang adalah masalah penderitaan. Penderitaan akan
selalu menjadi tantangan paling berat, yang mau tidak mau harus dijawab
oleh
kita semua.
Mengapa
kita ada di sana ?
Mengapa kita tidak merasa bahagia dengan kehidupan kita
?
Apakah penyebab dari ketidakpuasan kita ?
Bagaimana
kita dapat melihat akhir dari ketidakpuasan dan mengalami kedamaian abadi ?
Dalam
khotbah-Nya yang pertama di Taman Rusa
Isipatana, pada bulan ĀsāỊhā yang terkenal
dengan nama Dhammacakkappavattana Sutta (Sutta tentang
Pemutaran
Roda Dhamma), Buddha Gotama telah mengajarkan secara
singkat
tentang Empat Kebenaran Mulia (Cattāri Ariya Saccāni) kepada
lima bhikkhu pertama (Pañcavaggiya-bhikkhu), yang
menjadi
landasan pokok Buddha Dhamma.
Empat Kebenaran Mulia merupakan
aspek yang sangat penting dari Ajaran Buddha.
Buddha mengajarkan
Empat
Kebenaran Mulia, supaya kita tidak terus - menerus mengalami siklus
kelahiran
dan kematian. Jika kita menyadari bahwa semua
materi dan fenomena itu bersifat fana, tidak memuaskan dan tidak
mengandung
inti apapun, kita akan yakin bahwa kebahagiaan sejati dan abadi tidak
dapat
ditemukan dalam kepemilikan materi dan pencapaian duniawi, bahwa
kebahagiaan sejati
harus dicari hanya melalui pemurnian batin dan pengembangan
kebijaksanaan.
Empat
Kebenaran Mulia tersebut adalah
:
KEBENARAN
MULIA TENTANG DUKKHA
(Dukkha
Ariyasacca)
Apakah Kebenaran
Mulia tentang Dukkha? Kelahiran adalah dukkha, usia tua
adalah dukkha, kematian adalah dukkha, kesedihan, ratap –
tangis,
penderitaaan (jasmani), kepedihan hati, dan keputus-asaan adalah dukkha,
berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah dukkha, berpisah
dengan
yang disenangi adalah dukkha, tidak mendapatkan apa yang
diinginkan
adalah dukkha; singkatnya, kelima gugusan pembentuk penyebab
kemelekatan
adalah dukkha.
Inilah Kebenaran Mulia tentang Dukkha;
demikianlah penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan
cahaya yang
timbul dalam diri-Ku mengenai hal yang belum pernah Kudengar sebelumnya. Kebenaran Mulia
ini harus ditembus dengan sepenuhnya memahami dukkha: demikianlah
penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang
timbul dalam
diriku mengenai hal yang belum pernah kudengar sebelum-Nya.
Kebenaran
Mulia ini telah ditembus
dengan sepenuhnya memahami dukkha, demikianlah penglihatan, pengetahuan,
kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul dalam diri-Ku mengenai
hal yang
belum pernah Kudengar sebelumnya.
[Saṁyutta Nikāya
LVI, 11]
Kata "dukkha" di
sini, yang menyatakan pandangan Buddha tentang kehidupan dan
dunia,
mempunyai pengertian filosofis yang mendalam dan mencakup bidang yang
amat
luas.
Dalam
khotbah-Nya yang pertama setelah mencapai
Penerangan Sempurna, Beliau merumuskan dukkha dengan istilah
sebagai berikut :
"Kelahiran,
usia tua, dan kematian adalah dukkha;
kesedihan, ratap – tangis, penderitaan (jasmani), kepedihan hati, dan
keputus-asaan adalah dukkha; berkumpul dengan yang tidak
disenangi,
berpisah dengan yang disenangi, dan tidak mendapatkan apa yang
diinginkan
adalah dukkha. Singkatnya, kelima gugusan
pembentuk
penyebab kemelekatan adalah dukkha".
Definisi
Kata ”dukkha” yang berasal dari bahasa PaỊi, sukar sekali untuk diwakilkan secara tepat oleh satu kata dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris karena memiliki makna yang mendalam. Secara etimologi berasal dari kata ”du” yang berarti sukar dan kata ”kha” yang berarti dipikul, ditahan. Jadi kata ”du-kha” berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Pada umumnya dukkha dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, beban.
Penderitaan atau dukkha adalah
ikatan umum yang dialami oleh semua manusia. Semua manusia
menderita. Manusia menderita di masa lalu, di
India kuno, di Inggris modern, dan di masa depan,
manusia juga bakal menderita…. Apa persamaan
antara
kita dengan Ratu Elizabeth? Kita sama - sama
menderita. Penderitaan melingkupi semua tingkatan
dari
manusia elit yang paling istimewa sampai dengan yang rendahan dan
tersisih.
Semua manusia di mana pun menderita, inilah
persamaan antara
kita semua, suatu hal yang dipahami oleh kita semua.
Banyak yang salah memahami Ajaran
ini dan beranggapan bahwa Buddha Dhamma adalah Ajaran
pesimistis,
yang memandang dunia ini dari sudut negatif.
karena itu, perlu ditegaskan di sini bahwa Buddha
Dhamma bukanlah Ajaran yang bersifat pesimistis atau optimistis. Buddha adalah seorang yang realistis dan obyektif,
Beliau
memandang segala sesuatu menurut hakekat yang sebenarnya berdasarkan
Pandangan
Terang (Yathābhūtaṁ
Ñāṇadassanaṁ).
Sewaktu menerangkan dukkha,
Beliau juga mengsayai adanya berbagai bentuk "kebahagiaan", material
dan spiritual. Akan tetapi,
kebahagiaan - kebahagiaan itu sendiri adalah bersyarat, selalu berubah -
ubah
dan tidak kekal, karena itu harus digolongkan dalam dukkha (Anicca,
Dukkha
Viparināmadhamma). Dukkha bukan merupakan "penderitaan" dari arti
kata umum, tetapi merupakan "segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha"
(yad
aniccaṁ taṁ
dukkhaṁ).
Karenanya,
dukkha disini mempunyai tiga
pengertian, yaitu :
1. Dukkha
yang nyata, yang benar-benar dirasakan sebagai derita tubuh atau derita
batin,
seperti sakit, susah hati (dukkha -
dukkha).
2. Semua
perasaan senang dan bahagia berdasarkan sifat tidak kekal, yang di
dalamnya
terkandung benih - benih dukkha (viparināma dukkha).
3. Sifat
tertekan dari semua saṅkhārā
(bentuk atau
keadaan yang bersyarat) yang selalu muncul dan lenyap, seperti pañcakkhandhā
(lima gugusan pembentuk kehidupan) atau nāma-rūpa
(Saṅkhārādukkha).
Dalam Dukkha Sutta, Saṁyutta 38.14 (S 4.259),
Y.A. Sāriputta menjelaskan adanya tiga bentuk dukkha.
Dukkha - dukkha adalah ketidakpuasan atau
penderitaan
yang alami dan dirasakan tubuh dan batin, seperti sakit jantung, sakit
kepala,
perasaan sedih karena berpisah dengan yang dicintai, kegagalan dalam
usaha, dan
sebagainya.
Ketidakpuasan
atau penderitaan yang tidak lepas dari
adanya perubahan, seperti kondisi perasaan bahagia, yang dirasakan cepat
atau
lambat akan mengalami perubahan adalah
ketidakpuasan
atau penderitaan. Ketidakpuasan yang berhubungan dengan lima
gugusan pembentuk kehidupan (pañcakkhandhā), seperti
perasaan susah karena tidak dapat menikmati makanan enak yang dipicu
karena
adanya indera pengecap yang merupakan salah satu dari lima gugusan
pembentuk
kehidupan (pañcakkhandhā).
KEBENARAN
MULIA TENTANG ASAL MULA DUKKHA
(Dukkhasamudaya
Ariyasacca)
Dukkha berasal dari kesenangan yang
membentuk kembali makhluk hidup dan disertai dengan kegemaran dan
keinginan,
kegemaran pada ini dan itu, dengan kata lain, kesenangan akan
kenikmatan indria, kesenangan untuk menjadi dan kesenangan untuk tidak
menjadi.
Tetapi dimanakah kesenangan ini muncul dan berkembang
?
Di mana saja ada yang tampaknya menarik dan
menguntungkan, di
sanalah kesenangan muncul dan berkembang. Inilah
Kebenaran
Mulia tentang Asal Mula Dukkha, demikianlah pandangan,
pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul dalam
diri-Ku
mengenai hal yang belum pernah Kudengar sebelumnya. Kebenaran
Mulia ini
harus ditembus dengan meninggalkan asal mula dukkha . . .
Kebenaran
Mulia ini telah ditembus
dengan meninggalkan asal mula dukkha, demikianlah pandangan,
pengetahuan,
kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul dalam diri-Ku mengenai
hal yang
belum pernah Kudengar sebelumnya.
[Saṁyutta
Nikāya LVI, 11]
Asal mula dukkha
ialah "keinginan
rendah" (Taṇhā)
yang tidak ada habis - habisnya, yang menyebabkan kelahiran berulang -
ulang
bersama dengan nafsu yang mencari kenikmatan ke sana
ke mari (ponobhavika nandiragasahagata tatratatrabhinandini).
Taṇhā
dapat diibaratkan seperti candu atau opium yang menimbulkan dampak
ketagihan
bagi yang memakainya terus - menerus dan semakin lama akan
merusak fisik maupun mental si pemakai. Taṇhā
juga dapat
diibaratkan seperti air laut yang asin yang jika diminum untuk
menghilangkan
haus justru rasa haus tersebut semakin bertambah.
Ada tiga
bentuk taṇhā,
yang terdiri atas :
- Kesenangan terhadap
nafsu inderawi (kāma -
taṇhā)
Kesenangan
terhadap
nafsu inderawi terdiri atas kesenangan terhadap :
bentuk
- bentuk (indah)
suara
- suara (merdu)
aroma
- aroma (wangi)
rasa
- rasa (nikmat)
sentuhan
- sentuhan (lembut)
bentuk
- bentuk pikiran
- Kesenangan terhadap
penjelmaan (bhava
- taṇhā) adalah kesenangan untuk
terlahir kembali sebagai manusia yang berdasarkan pada kepercayaan
yang
mengatakan tentang adanya "atma (jiwa) yang kekal dan terpisah" (attāvada).
- Kesenangan terhadap
pemusnahan (vibhava - taṇhā)
adalah kesenangan untuk memusnahkan diri, yang
berdasarkan pada kepercayaan yang mengatakan bahwa setelah manusia
meninggal maka berakhirlah segala riwayat setiap manusia (ucchedavada).
Setiap manusia mengsayai bahwa
semua kejahatan dalam dunia ini disebabkan oleh kesenangan yang
egoistis.
Hal ini tidak sulit untuk dimengerti. Tetapi bagaimana taṇhā
ini dapat mengakibatkan "kelahiran berulang - ulang" (ponobhavika)
bukanlah dapat dimengerti dengan mudah. Maka di sini kita akan membicarakan sudut falsafah yang lebih
mendalam dari
kebenaran mulia yang kedua yang berhubungan dengan kebenaran mulia yang
pertama.
Terdapat
empat macam "makanan" (āhāra)
dalam pengertian sebab atau kondisi yang diperlukan untuk kelangsungan
hidup
makhluk – makhluk, yaitu :
- Makanan material (kabaliṅkārāhāra)
- Kontak dari enam indera
makhluk dalam menyentuh obyek (phassāhāra)
- Kesadaran yang
menimbulkan nama dan rupa (viññāṇāhāra)
- Kehendak batin yang
menimbulkan perkataan dan perbuatan
(manosancetanāhāra)
Keempat macam āhāra
ini merupakan kehendak untuk hidup, untuk lahir, untuk lahir kembali,
untuk
berlangsung, untuk menjadi lebih sempurna. Ia
menciptakan akar dari kelahiran dan kelangsungan yang
bergerak maju dengan perbuatan - perbuatan yang baik dan tidak baik (kusala
-
sayasala kamma).
KEBENARAN
MULIA TENTANG BERAKHIRNYA DUKKHA
(Dukkhanirodha
Ariyasacca)
Apakah
Kebenaran Mulia tentang
Berakhirnya Dukkha ? Kebenaran Mulia
ini adalah luruh tanpa sisa dan berakhirnya kesenangan (taṇhā)
yang sama itu, penolakan, penyerahan,
peninggalan, dan
pelepasannya. Tetapi bagaimanakah keserakahan
ditinggalkan
dan diakhiri? Kapanpun timbul sesuatu yang
tampaknya
menarik dan menguntungkan, maka ditinggalkan dan diakhiri. Inilah Kebenaran Mulia mengenai Berakhirnya Dukkha,
demikianlah pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya
yang
timbul dalam diri-Ku mengenai hal yang belum pernah Kudengar sebelumnya.
Kebenaran Mulia ini harus ditembus dengan mencapai
berakhirnya dukkha.
Kebenaran
Mulia ini telah ditembus
dengan mencapai berakhirnya dukkha, demikianlah pandangan, pengetahuan,
kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul dalam diri-Ku mengenai
hal yang
belum pernah Kudengar sebelumnya.
[Saṁyutta
Nikāya LVI, 11]
Buddha
bersabda,“Sekarang,
O para Bhikkhu, Kebenaran Mulia tentang Berakhirnya Dukkha, yaitu :
berakhirnya
semua hawa nafsu tanpa sisa, melepaskannya, bebas, terpisah sama sekali
dari
kesenangan tersebut.”
Pada
bagian ini Buddha
menjelaskan bahwa dukkha bisa dihentikan yaitu dengan cara
menyingkirkan taṇhā sebagai penyebab dukkha. Ketika taṇhā telah disingkirkan, maka kita akan
terbebas dari semua penderitaan (batin). Lenyapnya dukkha,
berakhir sama sekali, dilepaskannya,
ditinggalkannya, terbebas dari,
tidak terdapatnya keinginan rendah (taṇhā) ini; atau dengan kata lain: tercapainya Nibbāna.
Dalam Itivuttaka
44; Khuddaka
Nikāya, Buddha menjelaskan bahwa
terdapat 2 macam Nibbāna, yaitu :
Sa-upadisesa-Nibbāna
Sa-upadisesa-Nibbāna adalah nibbāna yang masih bersisa. Yang dimaksud dengan bersisa di sini adalah masih adanya lima gugusan pembentuk kehidupan (pañcakkhandhā). Ketika Petapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, Beliau dikatakan telah mencapai Sa-upadisesa-Nibbāna tetapi masih memiliki lima gugusan pembentuk kehidupan (pañcakkhandhā, yaitu jasmani, perasaan, bentuk - bentuk pikiran, pencerapan dan kesadaran indera). Sa-upadisesa-Nibbāna juga dapat dikatakan sebagai kondisi batin (state of mind) yang murni, tenang, dan seimbang.
An-upadisesa-Nibbāna
An-upadisesa-Nibbāna adalah nibbāna tanpa sisa. Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai An-upadisesa-Nibbāna, yakni Nibbāna tanpa sisa atau disebut juga Parinibbāna, dimana tidak ada lagi lima gugusan pembentuk kehidupan (pañcakkhandhā, yaitu jasmani, perasaan, bentuk - bentuk pikiran, pencerapan dan kesadaran indera), tidak ada lagi sisa - sisa dan sebab - sebab dari suatu bentuk kemunculan. Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata - kata. Hal ini dapat diumpamakan dengan padamnya api dari sebuah pelita, kemanakah api itu pergi ? Hanya satu jawaban yang tepat, yakni ‘tidak tahu’. Ketika Buddha mangkat, Beliau dikatakan telah mencapai anupadisesa-nibbāna.
KEBENARAN
MULIA TENTANG JALAN MENUJU
BERAKHIRNYA DUKKHA (Dukkhanirodhagāminī patipadā Ariyasacca)
Apakah
Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju
Berakhirnya Dukkha ? Kebenaran Mulia
ini adalah
Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu: Pandangan Benar, Pikiran Benar,
Ucapan
Benar, Perbuatan Benar, Pencaharian Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian
Benar
dan Konsentrasi Benar. Inilah Jalan Mulia Menuju Berakhirnya Dukkha,
demikianlah pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman, dan cahaya
yang
timbul dalam diri-Ku mengenai hal yang belum pernah Kudengar sebelumnya.
Kebenaran Mulia ini harus
ditembus dengan mengkultivasi Jalan [tersebut].
Kebenaran
Mulia ini telah ditembus
dengan mengkultivasi Jalan, demikianlah pandangan, pengetahuan,
kebijaksanaan,
pemahaman, dan cahaya yang timbul dalam diri-Ku mengenai hal yang belum
pernah
Kudengar sebelumnya.
[Saṁyutta
Nikāya LVI, 11]
Buddha bersabda, “Sekarang,
O para Bhikkhu, Kebenaran Mulia tentang Jalan menuju berakhirnya Dukkha,
tiada
lain adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu : Pandangan
Benar,
Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Pencaharian Benar, Daya
Upaya
Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar.”
Jalan untuk menuju berakhirnya dukkha
adalah "Jalan Mulia Berunsur Delapan" (Ariya Aṭṭhaṅgika
Magga).
Jalan Mulia Berunsur Delapan ini
dikenal juga sebagai "Jalan Tengah" (Majjhimā Paṭipadā),
oleh karena "Jalan" ini menghindari dan berada di luar dua cara hidup
yang ekstrim, yaitu : pemuasan nafsu indera yang berlebih - lebihan dan
penyiksaan diri, dan sekaligus mengajarkan suatu cara berpikir yang
menghindari
kedua sudut pandang, yaitu pandangan tentang "kekekalan" (sassata-diṭṭhi)
dan "kemusnahan" (uccheda-diṭṭhi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar