4-9-12
1. Ia yang memotong tiga belenggu pertama
(Pali: tīṇi
saŋyojanāni) menjadi "pemasuk-arus"
(sotapanna);
2. Ia yang memotong tiga belenggu pertama dan
secara berarti melemahkan dua belenggu berikut untuk menjadi "kembali
sekali" (sakadagami);
3. Ia yang memotong lima belenggu pertama (orambhāgiyāni samyojanāni) menjadi
seorang "tidak-kembali"
(anagami);
5. Hubungan
dengan konsep inti lainnya
5-9-12
1. Sama dengan konsep Buddhis yang ditemukan
di seluruh Kanon Pali termasuk lima hambatan (nīvaraṇāni)
dan sepuluh kekotoran (kilesā).
Dengan perbandingan, dalam tradisi Theravada,
belenggu-belenggu menjangkau kehidupan berlipat kali dan sangat sulit untuk
dihapus, sedangkan hambatan bersifat rintangan sementara.
2. Kekotoran mencakup seluruh kekotoran batin termasuk belenggu dan hambatan.
3.
Bertambahnya Pelaku Kejahatan
4.
dan Apa Pengaruhnya Terhadap Usia Manusia?
5.
Selama
akibat dari perbuatan jahat belum masak, si pembuat kejahatan menganggap
perbuatan jahatnya sebagai hal yang menguntungkan, tetapi setelah akibat dari
perbuatan jahatnya sudah masak, ia akan menyadari kerugian dari perbuatan jahat
tersebut. (Dhammapada,
119)
6-9-12
1.
Akhir-akhir
ini khususnya di negeri kita pelaku kejahatan setiap hari semakin bertambah.
Mengapa orang-orang itu tidak takut dosa? Mengapa orang-orang itu tidak takut
karma? Apakah mereka itu tidak beragama? Begitulah mungkin yang sering kita
keluhkan selama ini. Dari pertanyaan di atas bisa kita jawab bahwa mereka
sebenarnya takut juga akan dosa, takut juga akan hukuman tetapi mungkin karena
masih ada waktu untuk bertaubat, masih ada waktu untuk meminta ampun dan
mengakui kesalahan yang pernah mereka lakukan. Mereka juga adalah orang-orang
yang beragama tetapi mungkin karena tidak melaksanakan ajaran agamanya sehingga
mereka tidak mengikuti aturan apa yang telah dilarang dan dianjurkan dalam
agama tersebut.
2.
Mengapa pelaku kejahatan semakin bertambah?
Ya, pelaku kejahatan bertambah bukan karena hidup mereka miskin, bukan karena tidak punya pekerjaan, bukan karena tidak berpendidikan dan lain-lain, tetapi yang membuat mereka berbuat jahat adalah karena keserakahan (lobha) tidak pernah merasa puas dan cukup. Coba saja kita saksikan akhir-akhir ini yang berbuat jahat bukan lagi pelakunya orang-orang miskin tetapi orang-orang kaya, memiliki pekerjaan dan berpendidikan.
Ya, pelaku kejahatan bertambah bukan karena hidup mereka miskin, bukan karena tidak punya pekerjaan, bukan karena tidak berpendidikan dan lain-lain, tetapi yang membuat mereka berbuat jahat adalah karena keserakahan (lobha) tidak pernah merasa puas dan cukup. Coba saja kita saksikan akhir-akhir ini yang berbuat jahat bukan lagi pelakunya orang-orang miskin tetapi orang-orang kaya, memiliki pekerjaan dan berpendidikan.
3.
Dari tema di
atas mungkin kita akan bertanya apakah di jaman dahulu pelaku kejahatan sudah
ada? Untuk menjawab hal ini, telah diceritakan dalam Cakkavati-sihanada Sutta
bahwa di jaman dahulu ada seorang raja bernama Dalhanemi, raja ini memiliki
tujuh pusaka, yaitu: pusaka-roda, pusaka-gajah, pusaka-kuda, pusaka-permata,
pusaka-perempuan, pusaka-perumah tangga, dan pusaka-penasihat.
4.
Dia
memerintah sesuai Dhamma, menjunjung tinggi Dhamma, bergantung pada Dhamma,
memuja Dhamma dan menghormati Dhamma.
5.
Selama
pemerintahan dan kekuasaannya negara aman rakyatnya hidup makmur dan damai.
Setelah masa tuanya raja ini melimpahkan jabatannya kepada putranya dan
putranya pun memerintah sesuai Dhamma. Begitu juga dengan raja ke-dua, ke-tiga,
ke-empat, ke-lima, ke-enam dan ke-tujuh. Setelah raja ke-tujuh inilah
Pusaka-Roda suci pemerintahan sesuai Dhamma lenyap.
7-9-12
1. Demikianlah diceritakan, dari tidak
memberikan kepada mereka yang membutuhkan, kemiskinan berkembang, dari
meningkatnya kemiskinan, tindakan mengambil yang tidak diberikan meningkat,
dari meningkatnya pencurian, penggunaan senjata meningkat, dari meningkat
penggunaan senjata, pembunuhan meningkat – dan dari meningkatnya pembunuhan,
umur kehidupan manusia menurun, kecantikan mereka memudar, dan sebagai akibat
dari menurunnya umur kehidupan dan kecantikan ini, anak-anak dari mereka yang
umur kehidupannya delapan puluh ribu tahun hanya hidup selama empat puluh ribu
tahun.
2. Kemudian dari pembunuhan, kebohongan
meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya
empat puluh ribu tahun hanya hidup selama dua puluh ribu tahun.
3. tindakan mengadukan kejahatan orang lain
meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya
dua puluh ribu tahun hanya hidup selama sepuluh ribu tahun.
4. Pelanggaran seksual meningkat, dan sebagai
akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya sepuluh ribu tahun
hanya hidup selama lima
ribu tahun.
dua hal meningkat: ucapan kasar dan
pembicaraan yang tidak bertujuan, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari
mereka yang umur kehidupannya lima ribu tahun,
beberapa hidup selama dua ribu lima
ratus tahun, dan beberapa hidup selama dua ribu tahun.
5. Iri hati dan kebencian meningkat, dan
sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya dua ribu lima ratus tahun, hanya
hidup selama seribu tahun. --- pendapat-pendapat salah meningkat dan sebagai
akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya seribu
tahun, hanya hidup selama lima
ratus tahun. --- tiga hal meningkat: hubungan seksual sedarah, keserakahan
berlebihan, dan praktik-praktik menyimpang dan sebagai akibatnya,
anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya lima
ratus tahun, beberapa hidup selama dua ratus lima puluh tahun, dan beberapa hidup selama
dua ratus tahun.
8-9-12
1. kuranganya hormat kepada ayah dan ibu,
kepada para petapa dan brahmana, dan kepada kepala-kepala suku menjadi
meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya
dua setengah abad hanya hidup selama seratus tahun.
2. Para bhikkhu, akan tiba saatnya ketika
anak-anak dari orang-orang ini memiliki umur kehidupan selama hanya sepuluh
tahun. Dan bersama mereka, anak-anak perempuan akan menikah pada usia lima tahun. Dan bersama
mereka rasa-rasa kecapan ini akan lenyap: ghee, mentega, minyak wijen, sirup,
dan garam. Di antara semua itu, padi kudrusa akan menjadi makanan pokok,
seperti halnya nasi dan kari pada masa sekarang.
3. Dan bersama mereka yang memiliki umur
kehidupan sepuluh tahun, tidak memahami kata ‘moral’, jadi bagaimana mungkin
ada orang yang dapat melakukan perbuatan bermoral? Orang-orang itu yang tidak
menghormati ayah dan ibu, para petapa dan brahmana, kepala-kepala suku, akan
menjadi orang-orang yang menikmati kehormatan dan martabat.
4. Seperti halnya sekarang, orang-orang yang
menghormati ayah dan ibu, para petapa dan brahmana, kepala-kepala suku, dipuji
dan dihormati, demikian pula halnya dengan mereka yang melakukan sebaliknya…
5. Di antara mereka yang memiliki umur
kehidupan sepuluh tahun, tidak ada yang dianggap ibu atau bibi, saudara ibu,
istri guru, atau istri ayah dan lain-lain – semua dianggap sama di dunia ini
seperti kambing dan domba, unggas dan babi, anjing dan srigala. Di antara
mereka, permusuhan sengit akan terjadi satu sama lain, kebencian hebat,
kemarahan besar, dan pikiran membunuh, antara ibu melawan anak dan anak melawan
ibu, ayah melawan anak dan anak melawan ayah, saudara laki-laki melawan saudara
laki-laki, saudara laki-laki melawan saudara perempuan, bagaikan pemburu yang
merasakan kebencian terhadap binatang yang ia buru, dst...
9-9-12
1. Selanjutnya ada Tujuh Sifat Baik sebagai
pedoman dalam kehidupan ini yang harus kita laksanakan dan dikembangkan:
Keyakinan
Rasa malu untuk berbuat jahat
Rasa takut akan perbuatan jahat
Banyak pengetahuan
Keteguhan batin
Perhatian yang kuat
Kebijaksanaan.
(Mahāparinibbāna Sutta)
Keyakinan
Rasa malu untuk berbuat jahat
Rasa takut akan perbuatan jahat
Banyak pengetahuan
Keteguhan batin
Perhatian yang kuat
Kebijaksanaan.
(Mahāparinibbāna Sutta)
2. Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā.
INTROSPEKSI
MEMPERKOKOH KEWASPADAAN
3. Appamādo amatapadaṁ,
pamādo maccuno padaṁ
Appamattā na mῑyanti, ye pamattā yathā mathā’ti
Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan;
Kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada
tidak akan mati, tetapi orang yang lengah seperti orang yang sudah mati.
(Dhammapada 21)
Appamattā na mῑyanti, ye pamattā yathā mathā’ti
Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan;
Kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada
tidak akan mati, tetapi orang yang lengah seperti orang yang sudah mati.
(Dhammapada 21)
4. Berbuat sesuatu dengan melihat dan
mengamati ke dalam diri sendiri adalah perbuatan yang sebetulnya sangat perlu
dilakukan oleh setiap individu manusia. Sebagai individu manusia, berada di
tengah-tengah masyarakat dalam status apapun seharusnya memiliki tanggung jawab
untuk mengendalikan sikap dan tingkah lakunya sendiri.
5. Percaya
Diri Sendiri
Apabila seseorang pernah mengalami sesuatu yang sangat terkesan dan tidak bisa dilupakan, apakah itu pengalaman yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan, akan menjadi sebuah ingatan yang paling jelas teringat dalam pikirannya. Untuk itu seharusnya ia berusaha melakukan perenungan hingga mampu menyadari hikmah apa sesungguhnya yang secara langsung bisa terkait dengan pengalaman itu, adalah yang disebut belajar dari pengalaman.
Apabila seseorang pernah mengalami sesuatu yang sangat terkesan dan tidak bisa dilupakan, apakah itu pengalaman yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan, akan menjadi sebuah ingatan yang paling jelas teringat dalam pikirannya. Untuk itu seharusnya ia berusaha melakukan perenungan hingga mampu menyadari hikmah apa sesungguhnya yang secara langsung bisa terkait dengan pengalaman itu, adalah yang disebut belajar dari pengalaman.
10-9-12
1.
Dalam Dhamma
diajarkan, "self is the protector of self" – “Diri sendiri adalah pelindung
diri sendiri”. Kita harus berusaha untuk mengerti ketergantungan dan
kecenderungan diri sendiri terhadap pihak luar di luar diri kita yang selalu
diharapkan. Kita harus mencoba melepaskan diri dari hal seperti itu dan
mengalihkan perhatian ke dalam diri kita sendiri yang sesungguhnya. Kita tidak
boleh tergantung kepada orangtua, sahabat dan yang lain-lain terlalu banyak
sampai lupa terhadap diri sendiri. Hal itu berakibat karakter kita bisa secara
terus-menerus mencari dan mengejar hingga menjadi sebuah kebiasaan yang sangat
melekat dan sulit diatasi. Justru demikianlah adanya di seluruh dunia, sehingga
dengan alasan itu Sang Buddha mengajarkan tentang percaya diri.
2.
Sifat
percaya diri tentu sangat berbeda dengan sifat memiliki ketergantungan dari luar
diri sendiri. Memiliki sifat ketergantungan diri seseorang jelas-jelas akan
menghadapi bahaya yang sangat riskan dan berakibat fatal. Sedangkan percaya
diri berarti dalam berbagai hal seseorang akan selalu kembali kepada dirinya
sendiri. Dalam usaha apa saja bisa berhasil, ia akan tahu bahwa perjuangannya
sendiri adalah penyebab utama dari keberhasilan itu. Namun apabila usahanya
gagal pun ia akan berusaha sedapat mungkin menemukan sebab-sebab dari kegagalan
itu dan akan kembali pula semua itu bertitik pangkal dari dirinya sendiri.
Apabila ia mampu melakukan hal itu bararti ia telah bercermin pada dirinya
sendiri dan ini namanya introspeksi diri, menjadi percaya diri.
3.
Apabila kita
menghadapi suatu masalah namun kita melakukan introspeksi diri atau melihat ke
dalam diri kita sendiri, maka kita tidak akan mencari kesalahan keluar dari
diri kita sendiri. Kita akan menemukan dan mengerti bahwa hal itu tersangkut
dengan diri kita sendiri sehingga kita akan tahu juga bahwa masalah itu adalah
akibat dari perbuatan kita sendiri.
4. Dengan introspeksi diri kita akan menjadi
waspada dan hati-hati dalam menghadapi berbagai hal di dunia ini. Kalau kita
sudah berusaha untuk selalu waspada dalam menghadapi masalah hidup dan
kehidupan ini, maka sifat kita yang selalu waspada itu menjadi suatu kebiasaan
hidup kita yang sangat baik. Waspada berarti selalu dalam kondisi sadar, siap
menghadapi semua tantangan hidup dan terus menjalankan tugas dan kewajiban
sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat.
5. Introspeksi
Diri Menumbuhkan Rasa Percaya Diri
Orang yang terbiasa introspeksi diri dan waspada dalam sikap hidupnya akan terlihat damai dan tenang, tidak mudah terpengaruh oleh persoalan-persoalan negatif yang mungkin tidak perlu diperhatikan. Introspeksi diri menjadi penting bagi siapa pun yang mengharapkan kemudahan dan kelancaran dalam segala hal.
Orang yang terbiasa introspeksi diri dan waspada dalam sikap hidupnya akan terlihat damai dan tenang, tidak mudah terpengaruh oleh persoalan-persoalan negatif yang mungkin tidak perlu diperhatikan. Introspeksi diri menjadi penting bagi siapa pun yang mengharapkan kemudahan dan kelancaran dalam segala hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar