Translate

Kamis, 19 April 2012


4-9-12
1.    Ia yang memotong tiga belenggu pertama (Pali: tīṇi saŋyojanāni) menjadi "pemasuk-arus" (sotapanna);
2.    Ia yang memotong tiga belenggu pertama dan secara berarti melemahkan dua belenggu berikut untuk menjadi "kembali sekali" (sakadagami);
3.    Ia yang memotong lima belenggu pertama (orambhāgiyāni samyojanāni) menjadi seorang "tidak-kembali" (anagami);
4.    Ia yang memotong seluruh sepuluh belenggu menjadi seorang arahat.[35]

5.    Hubungan dengan konsep inti lainnya

    
5-9-12
1.    Sama dengan konsep Buddhis yang ditemukan di seluruh Kanon Pali termasuk lima hambatan (nīvaraāni) dan sepuluh kekotoran (kilesā). Dengan perbandingan, dalam tradisi Theravada, belenggu-belenggu menjangkau kehidupan berlipat kali dan sangat sulit untuk dihapus, sedangkan hambatan bersifat rintangan sementara.
2.    Kekotoran mencakup seluruh kekotoran batin termasuk belenggu dan hambatan.

3.    Bertambahnya Pelaku Kejahatan

4.    dan Apa Pengaruhnya Terhadap Usia Manusia?

5.    Selama akibat dari perbuatan jahat belum masak, si pembuat kejahatan menganggap perbuatan jahatnya sebagai hal yang menguntungkan, tetapi setelah akibat dari perbuatan jahatnya sudah masak, ia akan menyadari kerugian dari perbuatan jahat tersebut. (Dhammapada, 119)
6-9-12
1.            Akhir-akhir ini khususnya di negeri kita pelaku kejahatan setiap hari semakin bertambah. Mengapa orang-orang itu tidak takut dosa? Mengapa orang-orang itu tidak takut karma? Apakah mereka itu tidak beragama? Begitulah mungkin yang sering kita keluhkan selama ini. Dari pertanyaan di atas bisa kita jawab bahwa mereka sebenarnya takut juga akan dosa, takut juga akan hukuman tetapi mungkin karena masih ada waktu untuk bertaubat, masih ada waktu untuk meminta ampun dan mengakui kesalahan yang pernah mereka lakukan. Mereka juga adalah orang-orang yang beragama tetapi mungkin karena tidak melaksanakan ajaran agamanya sehingga mereka tidak mengikuti aturan apa yang telah dilarang dan dianjurkan dalam agama tersebut.
2.            Mengapa pelaku kejahatan semakin bertambah?
Ya, pelaku kejahatan bertambah bukan karena hidup mereka miskin, bukan karena tidak punya pekerjaan, bukan karena tidak berpendidikan dan lain-lain, tetapi yang membuat mereka berbuat jahat adalah karena keserakahan (lobha) tidak pernah merasa puas dan cukup. Coba saja kita saksikan akhir-akhir ini yang berbuat jahat bukan lagi pelakunya orang-orang miskin tetapi orang-orang kaya, memiliki pekerjaan dan berpendidikan.
3.            Dari tema di atas mungkin kita akan bertanya apakah di jaman dahulu pelaku kejahatan sudah ada? Untuk menjawab hal ini, telah diceritakan dalam Cakkavati-sihanada Sutta bahwa di jaman dahulu ada seorang raja bernama Dalhanemi, raja ini memiliki tujuh pusaka, yaitu: pusaka-roda, pusaka-gajah, pusaka-kuda, pusaka-permata, pusaka-perempuan, pusaka-perumah tangga, dan pusaka-penasihat.
4.            Dia memerintah sesuai Dhamma, menjunjung tinggi Dhamma, bergantung pada Dhamma, memuja Dhamma dan menghormati Dhamma.
5.            Selama pemerintahan dan kekuasaannya negara aman rakyatnya hidup makmur dan damai. Setelah masa tuanya raja ini melimpahkan jabatannya kepada putranya dan putranya pun memerintah sesuai Dhamma. Begitu juga dengan raja ke-dua, ke-tiga, ke-empat, ke-lima, ke-enam dan ke-tujuh. Setelah raja ke-tujuh inilah Pusaka-Roda suci pemerintahan sesuai Dhamma lenyap.
7-9-12
1.    Demikianlah diceritakan, dari tidak memberikan kepada mereka yang membutuhkan, kemiskinan berkembang, dari meningkatnya kemiskinan, tindakan mengambil yang tidak diberikan meningkat, dari meningkatnya pencurian, penggunaan senjata meningkat, dari meningkat penggunaan senjata, pembunuhan meningkat – dan dari meningkatnya pembunuhan, umur kehidupan manusia menurun, kecantikan mereka memudar, dan sebagai akibat dari menurunnya umur kehidupan dan kecantikan ini, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya delapan puluh ribu tahun hanya hidup selama empat puluh ribu tahun.
2.    Kemudian dari pembunuhan, kebohongan meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya empat puluh ribu tahun hanya hidup selama dua puluh ribu tahun.
3.    tindakan mengadukan kejahatan orang lain meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya dua puluh ribu tahun hanya hidup selama sepuluh ribu tahun.
4.    Pelanggaran seksual meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya sepuluh ribu tahun hanya hidup selama lima ribu tahun.
dua hal meningkat: ucapan kasar dan pembicaraan yang  tidak bertujuan, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya lima ribu tahun, beberapa hidup selama dua ribu lima ratus tahun, dan beberapa hidup selama dua ribu tahun.
5.    Iri hati dan kebencian meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya dua ribu lima ratus tahun, hanya hidup selama seribu tahun. --- pendapat-pendapat salah meningkat dan sebagai akibatnya,   anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya seribu tahun, hanya hidup selama lima ratus tahun. --- tiga hal meningkat: hubungan seksual sedarah, keserakahan berlebihan, dan praktik-praktik menyimpang dan sebagai akibatnya,  anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya lima ratus tahun, beberapa hidup selama dua ratus lima puluh tahun, dan beberapa hidup selama dua ratus tahun.
8-9-12
1.    kuranganya hormat kepada ayah dan ibu, kepada para petapa dan brahmana, dan kepada kepala-kepala suku menjadi meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya dua setengah abad hanya hidup selama seratus tahun.
2.    Para bhikkhu, akan tiba saatnya ketika anak-anak dari orang-orang ini memiliki umur kehidupan selama hanya sepuluh tahun. Dan bersama mereka, anak-anak perempuan akan menikah pada usia lima tahun. Dan bersama mereka rasa-rasa kecapan ini akan lenyap: ghee, mentega, minyak wijen, sirup, dan garam. Di antara semua itu, padi kudrusa akan menjadi makanan pokok, seperti halnya nasi dan kari pada masa sekarang.
3.    Dan bersama mereka yang memiliki umur kehidupan sepuluh tahun, tidak memahami kata ‘moral’, jadi bagaimana mungkin ada orang yang dapat melakukan perbuatan bermoral? Orang-orang itu yang tidak menghormati ayah dan ibu, para petapa dan brahmana, kepala-kepala suku, akan menjadi orang-orang yang menikmati kehormatan dan martabat.
4.    Seperti halnya sekarang, orang-orang yang menghormati ayah dan ibu, para petapa dan brahmana, kepala-kepala suku, dipuji dan dihormati, demikian pula halnya dengan mereka yang melakukan sebaliknya…
5.    Di antara mereka yang memiliki umur kehidupan sepuluh tahun, tidak ada yang dianggap ibu atau bibi, saudara ibu, istri guru, atau istri ayah dan lain-lain – semua dianggap sama di dunia ini seperti kambing dan domba, unggas dan babi, anjing dan srigala. Di antara mereka, permusuhan sengit akan terjadi satu sama lain, kebencian hebat, kemarahan besar, dan pikiran membunuh, antara ibu melawan anak dan anak melawan ibu, ayah melawan anak dan anak melawan ayah, saudara laki-laki melawan saudara laki-laki, saudara laki-laki melawan saudara perempuan, bagaikan pemburu yang merasakan kebencian terhadap binatang yang ia buru, dst...
9-9-12
1.    Selanjutnya ada Tujuh Sifat Baik sebagai pedoman dalam kehidupan ini yang harus kita laksanakan dan dikembangkan:
Keyakinan
Rasa malu untuk berbuat jahat
Rasa takut akan perbuatan jahat
Banyak pengetahuan
Keteguhan batin
Perhatian yang kuat
Kebijaksanaan.
(Mahāparinibbāna Sutta)
2.    Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā.

INTROSPEKSI

MEMPERKOKOH KEWASPADAAN

3.    Appamādo amatapadaṁ, pamādo maccuno padaṁ
Appamattā na mῑyanti, ye pamattā yathā mathā’ti

Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan;
Kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada
tidak akan mati, tetapi orang yang lengah seperti orang yang sudah mati.  
(Dhammapada 21)
4.    Berbuat sesuatu dengan melihat dan mengamati ke dalam diri sendiri adalah perbuatan yang sebetulnya sangat perlu dilakukan oleh setiap individu manusia. Sebagai individu manusia, berada di tengah-tengah masyarakat dalam status apapun seharusnya memiliki tanggung jawab untuk mengendalikan sikap dan tingkah lakunya sendiri.
5.    Percaya Diri Sendiri
Apabila seseorang pernah mengalami sesuatu yang sangat terkesan dan tidak bisa dilupakan, apakah itu pengalaman yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan, akan menjadi sebuah ingatan yang paling jelas teringat dalam pikirannya. Untuk itu seharusnya ia berusaha melakukan perenungan hingga mampu menyadari hikmah apa sesungguhnya yang secara langsung bisa terkait dengan pengalaman itu, adalah yang disebut belajar dari pengalaman.
10-9-12
1.            Dalam Dhamma diajarkan, "self is the protector of self" – “Diri sendiri adalah pelindung diri sendiri”. Kita harus berusaha untuk mengerti ketergantungan dan kecenderungan diri sendiri terhadap pihak luar di luar diri kita yang selalu diharapkan. Kita harus mencoba melepaskan diri dari hal seperti itu dan mengalihkan perhatian ke dalam diri kita sendiri yang sesungguhnya. Kita tidak boleh tergantung kepada orangtua, sahabat dan yang lain-lain terlalu banyak sampai lupa terhadap diri sendiri. Hal itu berakibat karakter kita bisa secara terus-menerus mencari dan mengejar hingga menjadi sebuah kebiasaan yang sangat melekat dan sulit diatasi. Justru demikianlah adanya di seluruh dunia, sehingga dengan alasan itu Sang Buddha mengajarkan tentang percaya diri.

2.            Sifat percaya diri tentu sangat berbeda dengan sifat memiliki ketergantungan dari luar diri sendiri. Memiliki sifat ketergantungan diri seseorang jelas-jelas akan menghadapi bahaya yang sangat riskan dan berakibat fatal. Sedangkan percaya diri berarti dalam berbagai hal seseorang akan selalu kembali kepada dirinya sendiri. Dalam usaha apa saja bisa berhasil, ia akan tahu bahwa perjuangannya sendiri adalah penyebab utama dari keberhasilan itu. Namun apabila usahanya gagal pun ia akan berusaha sedapat mungkin menemukan sebab-sebab dari kegagalan itu dan akan kembali pula semua itu bertitik pangkal dari dirinya sendiri. Apabila ia mampu melakukan hal itu bararti ia telah bercermin pada dirinya sendiri dan ini namanya introspeksi diri, menjadi percaya diri.
3.            Apabila kita menghadapi suatu masalah namun kita melakukan introspeksi diri atau melihat ke dalam diri kita sendiri, maka kita tidak akan mencari kesalahan keluar dari diri kita sendiri. Kita akan menemukan dan mengerti bahwa hal itu tersangkut dengan diri kita sendiri sehingga kita akan tahu juga bahwa masalah itu adalah akibat dari perbuatan kita sendiri.
4.    Dengan introspeksi diri kita akan menjadi waspada dan hati-hati dalam menghadapi berbagai hal di dunia ini. Kalau kita sudah berusaha untuk selalu waspada dalam menghadapi masalah hidup dan kehidupan ini, maka sifat kita yang selalu waspada itu menjadi suatu kebiasaan hidup kita yang sangat baik. Waspada berarti selalu dalam kondisi sadar, siap menghadapi semua tantangan hidup dan terus menjalankan tugas dan kewajiban sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat.
5.    Introspeksi Diri Menumbuhkan Rasa Percaya Diri
Orang yang terbiasa introspeksi diri dan waspada dalam sikap hidupnya akan terlihat damai dan tenang, tidak mudah terpengaruh oleh persoalan-persoalan negatif yang mungkin tidak perlu diperhatikan. Introspeksi diri menjadi penting bagi siapa pun yang mengharapkan kemudahan dan kelancaran dalam segala hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar