YANG ARIYA UPALI
Terkemuka
dalam Menjaga Sila
Enam
bangsawan muda Sakya yaitu Ananda, Anuruddha, Bhaddiya, Bhagu, Devadatta dan
Kimbila memutuskan bersama untuk menjadi siswa Sang Buddha. Ketika mereka
meninggalkan Kapilavatthu, ibu kota kerajaan Sakya, mereka diiringi dengan
rombongan besar kereta, gajah dan sejumiah pelayan untuk melayani mereka dalam
perjalanan. Di perbatasan antara kerajaan Sakya dan kerajaan Magadha, mereka
mengirim seluruh kereta kembali ke Kaplivatthu, dan yang tinggal bersama mereka
hanyalah Upali, tukang cukur mereka.
Di tepi
hutan mereka menyuruh Upali untuk mencukur rambut mereka. Kemudian mereka
melepaskan baju mereka yang mewah, perhiasan, lalu mengenakan jubah yang telah
disiapkan. Mereka memberikan baju dan perhiasan itu kepada Upali dan
menyuruhnya kembali ke Kapilavatthu. Upali mendapati dirinya sendirian dengan
barang-barang berharga di dekatnya. Dengan gemetar dipungutnya barang-barang
itu. Namun ia berpikir, kalau ia membawa pulang barang-barang itu tentu
orang-orang akan mencurigainya dan ia akan dituduh mencuri barang-barang itu.
Kemudian ia bertanya-tanya, mengapa keenam bangsawan muda itu mau meninggalkan
kehidupan keduniawian untuk memasuki kehidupan suci. Ia teringat sabda Sang
Buddha, “Semua penderitaan di dunia ini lahir karena nafsu keinginan. Bila
nafsu keinginan tidak dilenyapkan, kedamaian pikiran sulit dicapai”.
Upali
tidak lagi tertarik pada baju dan perhiasan mewah itu, dan ia pun bergegas
mengejar para bangsawan muda itu untuk ikut pula menemui Sang Buddha. Mereka
menjumpai Sang Buddha di Anupiya dalam perjalanan ke Rajagaha. Mereka memohon
kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai bhikkhu dan memohon agar Upali dapat
ditahbiskan terlebih dahulu agar mereka dapat mengurangi kesombongan hati
mereka dengan menjadikan Upali sebagai senior mereka.
Dengan
sikap rendah hati Upali selalu menerima apa yang dikatakan orang dengan baik
dan melakukan segala hal dengan sungguh-sungguh, belajar dan melaksanakan semua
aturan dengan baik melebihi para bhikkhu lainnya. Pada suatu kali Upali memohon
ijin untuk tinggal di dalam hutan untuk melatih diri dalam meditasi.
Tetapi
Sang Buddha menjawab, “Setiap orang mempunyai kemampuan sendiri-sendiri. Engkau
tidak terlahir untuk hidup dalam kesunyian di hutan. Bayangkanlah apabila
terdapat seekor gajah besar sedang mandi dengan gembira di sebuah danau. Apa
yang akan terjadi bila seekor kelinci atau kucing melihat kegembiraan sang
gajah, kemudian mencoba menyainginya dengan melompat ke dalam air juga?”
YA Upali
kemudian menyadari bahwa beliau harus tetap berada dalam Sahgha, mengabdikan
dirinya dalam peraturan dan latihan, menjaga sila dan bertindak sebagai
penuntun bagi bagi bhikkhu-bhikkhu lainnya. Apabila menemui keragu-raguan sesedikit
apapun, beliau segera menanyakannya kepada Sang Buddha. Beliau memegang teguh
semua sila – mulai dari yang paling dasar yaitu tidak membunuh, mencuri,
melakukan tindakan asusila, berdusta, minum minuman keras yang memabukkan –
sedemikian baiknya sehingga orang-orang mulai datang kepadanya untuk meminta
nasihatnya.
Meskipun
demikian tidak berarti YA Upali mengikuti peraturan secara dogmatis. Beliau
tahu bagaimana untuk membuat pengecualian. Pada suatu kali beliau bertemu
dengan seorang bhikkhu tua yang sakit yang baru kembali dari perjalanan.
Mendengar bahwa sakit tersebut dapat diobati dengan meminum anggur, YA Upali
menemui Sang Buddha dan bertanya apa yang harus dilakukannya. Sang Buddha
berkata bahwa orang yang sakit dikecualikan dari aturan yang melarang minum
minuman yang diragi. YA Upali segera memberikan anggur kepada bhikku itu, yang
dengan demikian menjadi sembuh dari sakitnya.
YA Upali
melaksanakan sila untuk kepentingan semua bhikkhu dan untuk perbaikan Sangha.
Beliau dihormati atas caranya menyelesaikan perselisihan yang seringkali
mengganggu Sangha. Sesudah Sang Buddha mencapai Parinibbana, beliau memberikan
sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan Ajaran Sang Buddha dengan
mengulang Vinaya (peraturan kebhikkhuan) dalam Sidang Agung yang
diselenggarakan di bawah pimpinan YA Maha Kassapa. Ketika pertemuan dibuka, YA
Maha Kassapa berkata, “Para Bhante yang
terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha
menganggap baik, aku akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada bhikkhu
Upali mengenai Vinaya”.
YA Upali
menjawab, “Para Bhante yang terhormat, harap
Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik,
aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Vinaya yang akan diajukan oleh
Ayasma Maha Kassapa”.
Kemudian
YA Maha Kassapa bertanya, “Bhikkhu Upali, di mana ditetapkannya pelanggaran
Parajika yang pertama?”
“Di Vesali, Bhante”
“Mengenai siapa?”
“Mengenai bhikkhu Sudinna dari desa Kalandaka”
…
“Di Vesali, Bhante”
“Mengenai siapa?”
“Mengenai bhikkhu Sudinna dari desa Kalandaka”
…
Demikianlah
ditanyakan tentang pokok persoalannya, asal mulanya dan tentang orang-orang
yang terlibat, apa yang ditetapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian
ditanyakan tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap
sebagai bukan pelanggaran. Ditanyakan pula tentang peraturan-peraturan yang
lain, baik yang berlaku untuk para bhikkhu maupun untuk para bhikkhuni.
Demikianlah semua pertanyaan dijawab oleh YA Upali dengan terang dan jelas
sehingga Vinaya dapat terulang kembali dengan benar untuk dilestarikan.
YANG ARIYA RAHULA
Terkemuka
dalam Melaksanakan Kebaikan
Pada hari
ketujuh setelah Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu, Puteri Yasodhara
mendandani Pangeran Rahula dengan pakaian yang bagus dan mengajaknya ke
jendela. Dari jendela itu mereka dapat melihat Sang Buddha sedang makan siang.
Puteri Yasodhara kemudian bertanya pada Rahula, “Anakku, tahukah engkau siapa
orang itu ?”. Rahula menjawab, “Beliau adalah Sang Buddha, ibu”. Yasodhara tak
dapat menahan air matanya yang menitik keluar dan berkata, “Anakku, petapa yang
kulitnya kuning keemasan dan tampak seperti Brahma dikelilingi oleh ribuan
muridnya adalah ayahmu. Beliau punya banyak harta pusaka. Pergilah kepadanya
dan mintalah harta pusaka untukmu”.
Pangeran
Rahula, yang masih kecil itu kemudian pergi mendekati Sang Buddha dan sambil
memegang jari tangan Sang Buddha mengatakan apa yang dipesankan ibunya.
Kemudian ia menambahkan, “Ayah, bahkan bayangan ayah membuat hatiku senang.
Selesai makan siang Sang Buddha meninggalkan istana. Rahula mengikuti sambil
terus merengek, “Ayah, berikanlah aku harta pusaka. Kelak aku akan menjadi
raja, aku ingin memiliki harta pusaka. Ayah, berikanlah aku warisan”. Tak ada
orang yang mencoba menghalang-halangi dan Sang Buddha sendiri juga membiarkan
Rahula berbuat demikian. Setibanya di taman, beliau berpikir, “Rahula minta
warisan harta pusaka, tetapi semua harta dunia penuh dengan penderitaan. Lebih
baik Aku memberikan warisan berupa Tujuh Faktor Penerangan Agung yang Aku
peroleh bawah pohon Bodhi. Dengan demikian akan mewarisi harta pusaka yang
paling mulia”.
Di vihara,
Sang Buddha meminta YA Sariputta untuk menahbiskan Rahula sebagai samanera.
Rahula dengan demikian merupakan samanera pertama. Mendengar berita Rahula
telah ditahbiskan menjadi samanera, Raja Suddhodana merasa sedih sekali. Oleh
karena itu ia mohon kepada Sang Buddha agar seseorang yang akan ditahbiskan
menjadi bhikkhu atau samanera agar dengan ijin orangtuanya. Sang Buddha
menyetujui permohonan tersebut dan mulai saat itu tidak mentahbiskan bhikkhu
atau samanera tanpa terlebih dahulu mendapat ijin dari orangtuanya.
Rahula
merupakan putera dari Pangeran Siddhattha dan Puteri Yasodhara. Ketika Pangeran
Siddhattha mendengar berita bahwa isterinya telah melahirkan seorang putera,
mukanya menjadi pucat. Pangeran mengangkat kepalanya menatap langit dan
berkata, “Rahulajato, bandhanam jatam” (Satu belenggu telah terlahir, satu
ikatan telah terlahir). Karena itulah maka bayi yang baru lahir itu diberi nama
Rahula. Kelahiran Rahula disambut dengan pesta besar yang meriah. Namun saat
itu Pangeran Siddhattha telah bertekad untuk meninggalkan istana untuk mencari
jalan untuk membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan kematian.
Sesaat
sebelum meninggalkan istana, Pangeran Siddhattha pergi ke kamar Puteri
Yasodhara untuk melihat isteri dan anaknya. Isterinya sedang tidur nyenyak dan
memeluk bayinya. Tangannya menutup muka sang bayi sehingga muka bayi tidak
dapat terlihat. Pangeran semula ingin menggeser tangan isterinya untuk dapat
melihat muka puteranya itu, tetapi hal ini diurungkan karena takut hal itu
menyebabkan Puteri Yasodhara terbangun dan rencananya untuk meninggalkan istana
bisa gagal. Pangeran berkata dalam hati, “Biarlah hari ini aku tidak melihat
wajah anakku, tetapi nanti setelah aku memperoleh apa yang kucari aku akan
datang kembali dan dengan puas dapat melihat wajah anak dan isteriku”. Setelah
itu Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dengan menunggang kuda Kanthaka
diikuti oleh kusirnya, Channa, untuk berkelana mencari jalan kebahagiaan bagi
umat manusia.
Kepergian
Pangeran Sidhattha memberikan kesedihan yang mendalam bagi ayahnya, Raja
Suddhodana terlebih pula isterinya, Puteri Yasodhara. Rahula yang kehilangan
ayahnya diasuh dan dididik dengan penuh kasih sayang dan tumbuh menjadi anak
yang pandai dan baik budi. Puteri Yasodhara sendiri ketika mendengar bahwa
Pangeran Siddhattha yang telah menjadi petapa memakai jubah kuning, ia pun
memakai jubah kuning, sewaktu mendengar petapa Siddhattha hanya makan satu kali
sehari, ia pun makan hanya satu kali sehari. Demikian pula mengikuti kehidupan
petapa Siddhattha, Puteri Yasodhara tidak lagi tidur di dipan yang tinggi dan
mewah, tidak lagi memakai untaian bunga dan wewangian.
Setelah
ditahbiskan oleh YA Sariputta, Rahula kini harus mengikuti peraturan yang
berlaku. Sebagai anak Rahula tidak dapat memanggil ayah atau selalu berdekatan
dengan Sang Buddha. Ini mungkin merupakan kesedihan baginya karena ia tidak
dapat memperlakukan ayahnya sebagai seorang ayah sehingga mendorongnya untuk
melakukan kenakalan-kenakalan kecil. Contohnya, suatu kali ia menunjukkan arah
yang salah kepada umat yang datang ke vihara dan bertanya di mana dapat bertemu
dengan Sang Buddha. Hal ini terdengar oleh Sang Buddha yang segera menuju ke
kuti Rahula.
Rahula
merasa bahagia ketika melihat ayahnya datang menghampirinya. Sang Buddha lalu
meminta Rahula untuk menyiapkan sebaskom air. Setelah Rahula membasuh kaki Sang
Buddha, Sang Buddha bertanya, “Rahula, dapatkah kamu minum air ini ?”
Rahula menjawab, “Tidak, tadi air ini bersih, tetapi sekarang sesudah dipakai membasuh kaki, air menjadi terlalu kotor untuk diminum”
Sang Budhha lalu menyuruh Rahula membuang air itu dan kembali dengan baskom yang sudah kosong. Lalu Sang Buddha berkata, “Rahula, dapatkah kamu menaruh makanan ke dalam baskom ini?”
Rahula menjawab, “Tidak saya tidak dapat menaruh makanan di baskom karena bekas tempat air kotor”.
Mendengar jawaban Rahula Sang Buddha berkata, “Seseorang yang mengetahui bahwa kebohongan adalah perbuatan buruk, tetapi berbohong terus menerus dengan menyakiti orang lain adalah seperti air yang kotor atau sebuah baskom yang sudah kotor. Kejahatan mulai dengan berbohong, yang akan mengundang kejahatan lain pada dirinya sendiri. Dan penderitaan yang disebabkan oleh kebohongan tidak akan dapat dielakkan oleh si pembuat kebohongan”.
Rahula menjawab, “Tidak, tadi air ini bersih, tetapi sekarang sesudah dipakai membasuh kaki, air menjadi terlalu kotor untuk diminum”
Sang Budhha lalu menyuruh Rahula membuang air itu dan kembali dengan baskom yang sudah kosong. Lalu Sang Buddha berkata, “Rahula, dapatkah kamu menaruh makanan ke dalam baskom ini?”
Rahula menjawab, “Tidak saya tidak dapat menaruh makanan di baskom karena bekas tempat air kotor”.
Mendengar jawaban Rahula Sang Buddha berkata, “Seseorang yang mengetahui bahwa kebohongan adalah perbuatan buruk, tetapi berbohong terus menerus dengan menyakiti orang lain adalah seperti air yang kotor atau sebuah baskom yang sudah kotor. Kejahatan mulai dengan berbohong, yang akan mengundang kejahatan lain pada dirinya sendiri. Dan penderitaan yang disebabkan oleh kebohongan tidak akan dapat dielakkan oleh si pembuat kebohongan”.
Dengan
kata-kata yang disampaikan oleh Sang Buddha, sejak saat itu Rahula dengan amat
rajin mematuhi semua peraturan Sangha dan menjadi seorang bhikkhu yang
terkemuka dalam melaksanakan perbuatan baik. Banyak orang memandang Rahula
dengan penuh simpati. Meskipun terlahir dan dididik sebagai pangeran, Ia dapat
melepaskan semua hak-hak istimewanya dan pada usia demikian muda dapat
menjalani kehidupan suci dengan begitu baik. Namun adapula anggota sangha yang
memperlakukannya dengan tidak ramah dan beberapa orang bhikkhu iri hati
kepadanya. Menerima perlakuan yang tidak menyenangkan itu merupakan ujian berat
baginya.
Pada suatu
ketika, ketika YA Sariputta dan Rahula sedang berpindapata di Rajagaha, seorang
perusuh melempar pasir ke mangkuk YA Sariputta dan memukul Rahula. YA Sariputta
mengingatkan Rahula, “Rahula, engkau adalah siswa Sang Buddha. Perlakuan apapun
yang kamu terima, tidak boleh menyebabkan kemarahan masuk ke dalam hatimu. Kamu
harus selalu berbelas kasihan kepada semua makhluk. Orang yang paling berani,
orang yang mencari penerangan, membuang kesombongan dan memiliki keteguhan hati
untuk mengatasi kemarahan”. Rahula tersenyum dan terus berjalan sampai menemui
sebuah sungai dan membersihkan kotoran dari tubuhnya.
Rahula
tidak pernah membenci nasihat yang diberikan kepadanya. Setiap bangun pagi ia
mengambil segenggam pasir dan bertekad, “Semoga hari ini saya mendapat nasihat
sebanyak pasir ini”. Semangatnya dapat terlihat dari kenyataan bahwa ia
melaksanakan latihan-latihan yang sangat sulit dan keras, dengan cara tidak
berbaring melainkan duduk dalam posisi meditasi untuk tidur selama masa dua
belas tahun.
Pada usia
dua puluh tahun, Rahula ditahbiskan menjadi bhikkhu dengan pembimbing
(upajjhaya) YA Sariputta dan guru penahbisan resmi YA Moggallana. Selama kurang
lebih satu masa latihan musim hujan Rahula melatih diri dengan sungguh-sungguh.
Ketika itu Sang Buddha yang mengetahui bahwa pikiran Rahula sudah matang,
membawanya ke hutan Andha dan mengajarkan ajaran yang dikenal sebagai Nasihat
Kecil untuk Rahula (Cullarahulovada Sutta, Majjhima Nikaya) Rahula merasakan
kegembiraan setelah mendengar sabda Sang Buddha dan hatinya terbebas dari
kekotoran batin (asava) dan beliau mencapai tingkat kesucian tertinggi yaitu
Arahat.
Pada suatu
kali delapan tahun setelah mencapai tingkat Arahat, terdapat para bhikkhu yang
datang memakai tempat tidur YA Rahula. Karena tidak menemukan tempat untuk
beristirahat, YA Rahula tidur di ruang terbuka di depan tempat Sang Buddha. YA
Rahula mencapai Parinibbana (wafat) setelah wafatnya Sang Buddha, diperkirakan
pada usia lima
puluh tahun. Dibangun sebuah stupa untuk menyimpan peninggalan beliau.
Yang Ariya Maha Pajapati
Gotami Theri
Seseorang yang tidak lagi
berbuat jahat melalui badan, ucapan, dan pikiran serta dapat mengendalikan diri
dalam 3 saluran perbuatan ini, maka ia Kusebut seorang “Brahmana”
Maha
Pajapati Gotami, yang terkenal sebagai salah satu pembentuk Sangha Bhikkhuni,
berasal dari suku Koliya. Pada waktu Maha Pajapati Gotami dilahirkan, seorang
peramal meramalkan bahwa jika besar nanti ia akan menjadi pemimpin dari suatu
perkumpulan yang mempunyai banyak pengikut. Oleh karena itu ia diberi nama
“Pajapati”, yang berarti pemimpin suatu perkumpulan besar, sedangkan “Maha”
merupakan suatu awalan yang berarti luar biasa.
Maha
Pajapati Gotami mempunyai kakak perempuan bernama Maya, kakak beradik ini
menikah dengan Raja Suddhodana, dan tinggal bersama di Kapilavatthu. Kakak Maha
Pajapati Gotami, Ratu Maya hamil lebih dahulu, yang kemudian melahirkan Pangeran
Siddharta. Tujuh hari setelah melahirkan Pangeran Siddharta, Ratu Maya
meninggal dunia.
Sudah
menjadi tradisi, Maha Pajapati Gotami menggantikan kakaknya, menjadi Permaisuri
dari Raja Suddhodana. Maha Pajapati Gotami walaupun sebagai ibu tiri, beliau menyusui
dan mengurus Pangeran Siddharta seperti anaknya sendiri. Dari pernikahannya
dengan Raja Suddhodana melahirkan dua orang anak, yaitu seorang anak perempuan
bernama Sundari-Nanda dan seorang anak laki-laki bernama Nanda.
Waktu
berlalu, Pangeran Siddharta yang telah mencapai ke-Buddha-an datang berkunjung
ke Kapilavatthu, bersemayam di Nigrodharama (Taman
Banyan), ketika itu Raja Suddhodana telah mangkat. Mendengar kabar kedatangan
Sang Buddha, Maha Pajapati Gotami, bersama-sama dengan lima ratus wanita datang
menemui Sang Buddha dan memohon kepada Beliau supaya wanita dapat ditahbiskan
menjadi bhikkhuni, dan mengajukan permohonan,
“Yang mulia, akan menjadi baik, apabila seorang wanita diijinkan untuk meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata.”
“Yang mulia, akan menjadi baik, apabila seorang wanita diijinkan untuk meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata.”
Tanpa
menjelaskan alasan-Nya, Sang Buddha langsung menolak, dengan berkata,
“Cukup, O Gotami, jangan mengajukan permohonan supaya wanita meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata.”
“Cukup, O Gotami, jangan mengajukan permohonan supaya wanita meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata.”
Untuk
kedua dan ketiga kalinya Maha Pajapati Gotami mengulangi permohonannya, Sang
Buddha tetap memberikan jawaban yang sama.
Kemudian,
ketika Sang Buddha sedang berada di Kapilavatthu dalam perjalannya menuju
Vesali, Beliau tinggal di sana pada waktu yang sesuai, saat itu Beliau berada
di Mahavana (Hutan Besar) di Ruang Kutagara (Ruang Menara).
Ketika itu
Maha Pajapati Gotami telah mencukur rambutnya, mengenakan jubah kuning, dengan
lima ratus wanita pengikutnya, dalam perjalanan menuju Vesali, mereka tiba di
Ruang Kutagara, Mahavana. Maha Pajapati Gotami dengan kaki yang bengkak, penuh
dengan debu, amat berduka, sangat sedih dan penuh airmata, berdiri dengan menangis
di depan pintu masuk ruangan. Yang Mulia Ananda menemui mereka yang sedang
menangis dan menanyakan mengapa mereka amat berduka, kemudian beliau menemui
Sang Buddha dan berkata,
“Lihatlah, Yang Mulia, Maha Pajapati Gotami berdiri di luar pintu, dengan kaki yang bengkak, tubuh yang berdebu dan amat sedih. lzinkanlah wanita meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci, dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Buddha. Adalah baik, Yang Mulia, kalau wanita diizinkan meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci.”
“Lihatlah, Yang Mulia, Maha Pajapati Gotami berdiri di luar pintu, dengan kaki yang bengkak, tubuh yang berdebu dan amat sedih. lzinkanlah wanita meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci, dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Buddha. Adalah baik, Yang Mulia, kalau wanita diizinkan meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci.”
“Cukup,
Ananda, jangan meminta agar wanita meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki
kehidupan suci, dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang
Tathagata”, jawab Sang Buddha.
Untuk
kedua dan ketiga kalinya, Yang Mulia Ananda atas nama para wanita memohon
kepada Sang Buddha, tetapi Beliau tetap tidak mengizinkan.
“Yang
Mulia, apakah wanita mempunyai kemampuan, apabila mereka meninggalkan kehidupan
berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang
dipimpin oleh Sang Tathagata, dapat mencapai Tingkat Kesucian Sotapanna,
Sakadagami, Anagami, mencapai Arahat?”
Sang
Buddha menjawab, bahwa mereka mampu untuk mencapai Tingkat-tingkat Kesucian.
Mendengar
jawaban Sang Buddha ini, Yang Mulia Ananda mencoba untuk membujuk Yang Maha
Sempurna dengan berkata,
“Kalau demikian, Yang Mulia, mereka mampu untuk mencapai Tingkat Kesucian. Maha Pajapati Gotami telah memberikan pengorbanan yang besar kepada Yang Mulia, sebagai ibu asuh, perawat dan memberikan susunya, ia menyusui ketika ibu Yang Mulia meninggal dunia. Yang Mulia, adalah baik apabila wanita diijinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata.”
“Kalau demikian, Yang Mulia, mereka mampu untuk mencapai Tingkat Kesucian. Maha Pajapati Gotami telah memberikan pengorbanan yang besar kepada Yang Mulia, sebagai ibu asuh, perawat dan memberikan susunya, ia menyusui ketika ibu Yang Mulia meninggal dunia. Yang Mulia, adalah baik apabila wanita diijinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata.”
Akhirnya,
setelah Yang Mulia Ananda mengajukan permohonan berkali-kali, Sang Buddha lalu
berkata,
“Ananda, kalau Maha Pajapati Gotami mau menerima Delapan Peraturan Utama, ia harus melaksanakan peraturan ini sebagai persyaratan penahbisannya. Peraturan-peraturan ini harus dihormati, dijaga, dihargai, dijunjung tinggi selama hidupnya, dan tidak boleh dilanggar.”
“Ananda, kalau Maha Pajapati Gotami mau menerima Delapan Peraturan Utama, ia harus melaksanakan peraturan ini sebagai persyaratan penahbisannya. Peraturan-peraturan ini harus dihormati, dijaga, dihargai, dijunjung tinggi selama hidupnya, dan tidak boleh dilanggar.”
Yang Mulia
Ananda lalu menyampaikan hal ini kepada Maha Pajapati Gotami , ia
dengan gembira menerima Delapan Peraturan Utama. Dengan diterimanya persyaratan
ini, secara otomatis ia sudah menerima Penahbisan Tertinggi, menjadi bhikkhuni.
Maha
Pajapati Gotami adalah wanita yang pertama kali diterima dalam pasamuan
Bhikkhuni. Wanita yang lain diterima ke dalam pasamuan setelah Maha Pajapati
Gotami, oleh para bhikkhu sesuai peraturan yang telah diajarkan Sang Buddha.
Tambahan :
Dengan
munculnya Sangha Bhikkhuni, Sang Buddha lalu menyampaikan pandangan Beliau di
masa yang akan datang, dengan bersabda,
“Ananda, apabila wanita tidak diizinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, Kehidupan Suci akan berlangsung dalam masa yang lama sekali dan Dhamma Yang Mulia akan bertahan sepuluh ribu tahun lamanya. Tetapi, sejak wanita diijinkan meninggalkan kehidupan duniawi, maka Kehidupan Suci tidak akan berlangsung lama dan Dhamma Yang mulia hanya akan bertahan selamalima ribu tahun.”
“Ananda, apabila wanita tidak diizinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, Kehidupan Suci akan berlangsung dalam masa yang lama sekali dan Dhamma Yang Mulia akan bertahan sepuluh ribu tahun lamanya. Tetapi, sejak wanita diijinkan meninggalkan kehidupan duniawi, maka Kehidupan Suci tidak akan berlangsung lama dan Dhamma Yang mulia hanya akan bertahan selama
Sang
Buddha menambahkan,
“Seperti perumpamaan ini, Ananda, rumah yang dihuni oleh lebih banyak wanita dan laki-lakinya sedikit maka akan mudah dirampok. Demikian pula dimana Ajaran dan Peraturan yang mengizinkan wanita meninggalkan Kehidupan Suci tidak akan bertahan lama.”
“Seperti perumpamaan ini, Ananda, rumah yang dihuni oleh lebih banyak wanita dan laki-lakinya sedikit maka akan mudah dirampok. Demikian pula dimana Ajaran dan Peraturan yang mengizinkan wanita meninggalkan Kehidupan Suci tidak akan bertahan lama.”
“Dan
seperti seorang laki-laki yang akan membangun terlebih dahulu sebuah bendungan
yang besar sehingga dapat menampung air, demikian pula Tathagata membentenginya
dengan Delapan Peraturan Utama untuk Sangha Bhikkhuni, yang tidak boleh
dilanggar selama hidup mereka.”
Pernyataan
ini, tentu saja tidak begitu menyenangkan bagi para wanita, Sang Buddha
tidaklah bermaksud untuk menghukum, tetapi memperhitungkan hal ini karena
kelemahan fisik wanita itu sendiri.
Meskipun
ada beberapa alasan yang masuk akal, Sang Buddha dengan berat hati mengizinkan
wanita untuk ditabhiskan menjadi bhikkhuni, hal ini menujukkan kebesaran hati
Sang Buddha, dan merupakan yang pertama kali di dalam sejarah dunia ini,
terbentuknya Sangha Bhikkhuni dengan peraturan-peraturan yang harus
dilaksanakan selama hidupnya.
Yang Ariya Khema Theri
Seseorang yang
pengetahuannya dalam, pandai, dan terlatih dalam membedakan jalan yang benar
dan salah, yang telah mencapai tujuan tertinggi, maka ia Kusebut seorang
“Brahmana “
Khema
berasal dari keluarga yang berkuasa di Desa Sagala Magadha . Ia sangat cantik, kulitnya
berwarna kuning keemasan. Kecantikan Khema tersebut membuat Raja Bimbisara
meminang Khema dan menjadikannya sebagai permaisuri.
Ratu
Khema, amat memuja kecantikan wajahnya. Namun ia pernah mendengar bahwa Sang
Buddha mengatakan bahwa kecantikan bukan hal yang utama, dan karena itu Ratu
Khema menghindar untuk berjumpa dengan Sang Buddha. Raja Bimbisara mengerti
sikap Ratu Khema terhadap Sang Buddha, ia juga mengetahui betapa istrinya amat
mengagumi kecantikan wajahnya, lalu meminta pengarang lagu untuk menciptakan
sebuah lagu yang isinya memuji keindahan hutan Veluvana. Lagu itu kemudian
dinyanyikan oleh para penyanyi terkenal.
Ketika
Ratu Khema mendengar lagu tersebut menjadi penasaran, karena hutan Veluvana
yang digambarkan sebagai suatu tempat yang indah itu belum pernah ia dengar dan
lihat sendiri.
“Kalian bernyanyi tentang hutan yang mana?” , tanya Ratu Khema kepada para penyanyi.
“Paduka Ratu, kami bernyanyi tentang tentang hutan Veluva
“Kalian bernyanyi tentang hutan yang mana?” , tanya Ratu Khema kepada para penyanyi.
“Paduka Ratu, kami bernyanyi tentang tentang hutan Veluva
Yang Ariya Patacara Theri
Walaupun seseorang hidup
seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu
yang berkondisi, sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat
melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi.
Patacara
merupakan putri seorang saudagar kaya dari Savatthi. Ia sangat cantik. Orangtua
Patacara sangat menyayangi dan menjaganya dengan ketat. Oleh karena itu ketika
Patacara menginjak umur 16 tahun, ia selalu dikelilingi oleh beberapa penjaga,
untuk melindunginya dari gangguan para pemuda. Karena selalu dijaga oleh para
penjaga dan dikelilingi para pelayan di rumahnya, Patacara terlibat hubungan asmara dengan salah
seorang pelayan di rumahnya. Hubungan tersebut berlangsung tanpa diketahui oleh
orangtua Patacara.
Pada suatu
hari, orangtua Patacara merencanakan pernikahannya dengan seorang pemuda dari
golongan yang sederajat. Mengetahui hal tersebut, membuat Patacara menjadi
sangat terkejut. Patacara tidak mau menikah dengan pemuda pilihan orangtuanya,
karena itu ia melarikan diri meninggalkan kota bersama kekasihnya, pelayan
orang tuanya, pergi melalui pintu gerbang utama, dan tinggal di sebuah desa
kecil, jauh dari Savatthi.
Patacara,
kini menjadi isteri orang miskin. Suaminya menjadi petani dan Patacara harus
melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga sendiri, hal yang sebelumnya tidak
pernah ia kerjakan.
Tidak lama
kemudian Patacara hamil dan pada saat persalinan sudah dekat, Patacara minta
ijin kepada suaminya untuk mengantarnya pulang ke rumah orangtuanya.
“Suamiku,
di sini tidak ada orang yang merawatku apabila aku melahirkan anak kita,
ijinkanlah aku pulang ke rumah orang tuaku”, mohon Patacara. Namun suaminya
tidak mengijinkannya, beberapa kali Patacara meminta izin namun jawabannya
selalu sama, hingga pada suatu hari ketika suaminya sedang pergi bekerja di
sawah, Patacara memutuskan untuk pergi ke rumah orangtuanya sendirian dan
memberitahukan kepergiannya kepada tetangganya.
Sewaktu
suaminya kembali dan diberitahukan oleh tetengganya tentang kepergian istrinya,
maka dengan segera ia menyusul. Setelah menemukan Patacara, suaminya memohon
kepada Patacarta untuk kembali ke rumah mereka tapi Patacara menolak, dan terus
berjalan. Di tengah perjalanan, Patacara merasa kesakitan karena bayinya akan
segera lahir. Akhirnya Patacara melahirkan anak laki-lakinya di semak-semak.
Setelah Patacara melahirkan, suaminya membawanya pulang bersama bayi
laki-lakinya, kembali ke rumah mereka.
Beberapa
tahun kemudian, Patacara hamil anaknya yang kedua, pada saat akan melahirkan
Patacara juga ingin pulang ke rumah orang tuanya. Patacara juga ingin
melahirkan, anaknya di rumah orang tuanya. Dengan menuntun anaknya yang pertama
Patacara berjalan pulang menuju rumah orang tuanya, suaminya terus mengikuti
Patacara. Namun di tengah perjalanan menuju Savatthi, hujan badai menerpa
mereka.
“Suamiku,
carikanlah aku tempat berlindung!”, teriak Patacara dengan muka yang pucat.
Dengan segera suami Patacara mencarikan tempat perlindungan untuk istrinya.
Ketika suami Patacara sedang memotong dahan pohon, seekor ular berbisa keluar
dari liangnya dan mematuknya, pada saat itu juga ia meninggal dunia.
Patacara
menantikan kedatangan suaminya dengan penuh rasa cemas, takut dan kesakitan,
pada saat penantiannya itu, Patacara melahirkan anaknya yang kedua. Deru angin
dan hujan badai terus berlangsung, kedua anaknya itu menangis karena ketakutan,
kedinginan dan kelaparan. Patacara dengan tubuh yang masih lemah karena
melahirkan, melindungi kedua anaknya dengan posisi tubuh menelungkupi mereka di
tanah, ia melewati malam itu dengan penuh rasa cemas, ketakutan dan kedinginan.
Pada pagi
harinya, ketika matahari sudah terbit, Patacara mencari suaminya sambil
menggendong bayinya dan menuntun anak tertuanya. Ia berjalan menuju bukit kecil
dan melihat tubuh suaminya sudah kaku di dekat gundukan rumah semut. Patacara
sangat sedih dan berduka, ia menyalahkan dirinya atas kematian suaminya.
” Hu….Hu….karena kesalahan aku, maka suamiku mati”. Tangisan tersedu-sedu.
” Hu….Hu….karena kesalahan aku, maka suamiku mati”. Tangisan tersedu-sedu.
Patacara
menangis dan meratap sepanjang hari, sambil meneruskan perjalanan ke rumah
orang tuanya. Hujan yang tak henti-henti, membuat sungai Aciravati meluap dan
airnya setinggi pinggang. Patacara yang masih lemah amat kebingungan, ia tidak
mampu menyeberangi sungai dengan kedua anaknya. Lalu ia meninggalkan anak
tertuanya di satu sisi sungai yang airnya mengalir dengan amat deras, dan ia
menyeberang dengan menggendong bayinya. Sesampainya diseberang sungai, Patacara
menebarkan ranting pohon yang telah dipatahkannya, dan membaringkan bayinya
yang dibalut dengan kain penutup kepalanya diatas ranting-ranting itu.
Kemudian
Patacara menyeberang kembali untuk menjemput anak tertuanya. Ketika ia berada
di tengah sungai seekor elang besar menyambar bayinya, bagaikan sepotong
daging. Melihat kejadian itu Patacara berteriak-teriak untuk mengusir burung
elang itu, namun usahanya sia-sia, burung elang itu tidak memperdulikannya
tetap membawa bayinya terbang tinggi. Anak tertuanya yang mengira ibunya
memanggil, berjalan menyeberangi sungai untuk pergi ke tempat ibunya berada.
Karena arus sungai yang amat deras, anak itu hanyut terbawa arus sungai.
Dalam
sekejap Patacara kehilangan kedua anaknya dan juga kehilangan suaminya.
Patacara lalu menangis dan meratap keras seperti orang gila, “Hu… hu… bayiku
disambar elang, anak tertuaku hanyut, suamiku mati dipatuk ular berbisa….!”
Dengan
perasaan sedih dan duka yang mendalam, Patacara berusaha pulang ke Savatthi
menuju rumah orang tuanya. Sesampainya di Savatthi, Patacara menjumpai seorang
laki-laki di tengah jalan, dan menanyakan tentang keadaan orang tuanya.
“Saudari,
tadi malam rumah saudagar kaya itu roboh dan menimpa mereka. Rumahnya terbakar,
saudagar kaya, isteri dan anak laki-lakinya, mereka semua terbakar dalam satu
tumpukan. Saudari, lihatlah kemari…! asapnya dapat terlihat dari sini”, ucap
lelaki itu sambil tangannya menunjuk pada kepulan asap.
Mendengan
berita yang demikian tragis, Patacara tidak kuat lagi menerima kenyataan yang
menyedihkan ini ia menjadi gila, ia merobek-robek pakaiannya dan hampir tidak
berpakaian. Patacara berlari-lari, berteriak-teriak, meratap-ratap di sepanjang
jalan. Orang-orang yang melihatnya mengusirnya, “Pergi… Pergilah… wanita
gila…!”
Sang
Buddha yang sedang membabarkan Dhamma di Vihara Jetavana, melihat Patacara
sedang berteriak-teriak di depan vihara. Seorang murid Sang Buddha berusaha
mencegahnya masuk dan berkata kepada orang yang ada didepan vihara, “Jangan
biarkan wanita gila itu masuk.”
“Jangan
melarangnya, biarkan ia mendekat”, kata Sang Buddha. Ketika Patacara berada
cukup dekap dengan Sang Buddha. Beliau berkata dengan penuh kelembutan,
“Anak-Ku Patacara, sadarlah.”
Setelah
mendengarkan kata-kata dari Sang Buddha Patacara menjadi tenang, dan
kesadarannya pulih kembali. Ia lalu sadar bahwa tubuhnya hampir tidak
berpakaian, Patacara menjadi malu dan ia lalu bersimpuh di tanah. Lalu salah
seorang murid Sang Buddha memberinya sehelai kain, dan Patacara membungkus
dirinya dengan kain itu. Lalu ia mendekat pada Sang Buddha, bersujud di
kaki-Nya dan berkata,
“Yang Mulia, tolonglah saya. Salah satu anakku disambar burung elang, yang satunya lagi hanyut terbawa arus sungai, suamiku meninggal dipatuk ular berbisa, orang tua dan saudara laki-lakiku rumahnya roboh dan terbakar dalam satu tumpukan”, ratap Patacara.
“Yang Mulia, tolonglah saya. Salah satu anakku disambar burung elang, yang satunya lagi hanyut terbawa arus sungai, suamiku meninggal dipatuk ular berbisa, orang tua dan saudara laki-lakiku rumahnya roboh dan terbakar dalam satu tumpukan”, ratap Patacara.
Sang
Buddha berkata, “Patacara, jangan takut, kamu telah datang kepadaKu yang dapat
melindungimu dan membimbingmu. Sepanjang proses lingkaran kehidupan ini (Samsara),
jumlah air mata yang telah kamu cucurkan atas kematian kedua anakmu, suami,
orangtua, dan saudara laki-lakimu sudah sangat banyak, lebih banyak dari air yang
ada di empat samudra.”
Kemudian
Sang Buddha menjelaskan dengan rinci ‘Anamatagga Sutta’, yang menjelaskan
perihal kehidupan yang tak terhitung banyaknya. Berangsur-angsur Patacara
merasa tenang dan damai. Sang Buddha menambahkan bahwa ia seharusnya tidak
berpikir keras tentang sesuatu yang telah pergi, tetapi seharusnya berjuang
keras menyucikan diri untuk mencapai Nibbana. Mendengar nasihat Sang Buddha,
Patacara mencapai Tingkat Kesucian Sotapatti. Kemudian Patacara menjadi
bhikkhuni.
Pada suatu
hari, Patacara sedang membersihkan kakinya dengan air dari tempayan. Pada saat
ia menuangkan air untuk pertama kalinya, air tersebut hanya mengalir pada jarak
yang pendek kemudian meresap. Lalu ia menuangkan untuk kedua kalinya, air
tersebut mengalir sedikit lebih jauh, tetapi air yang dituangkan untuk ketiga
kalinya mengalir paling jauh. Dengan melihat aliran dan menghilangnya air yang
dituangkan sebanyak tiga kali, Patacara mengerti dengan jelas tiga tahapan di
dalam kehidupan makhluk hidup.
Sang
Buddha melihat Patacara melalui kemampuan batin-Nya dari Vihara Jetavana,
mengirim seberkas sinar dan menampakkan diri sebagai seorang manusia. Sang
Buddha kemudian berkata kepadanya, “Patacara kamu sekarang pada jalan yang
benar, kamu telah tahu pandangan yang benar tentang kelompok kehidupan (khanda).
Seseorang yang tidak mengerti karakteristik ketidak-kekalan, ketidak-puasan,
tanpa inti dari khanda adalah tidak bermanfaat, walaupun ia hidup selama
seratus tahun.”
Yang Ariya Bhadda Kapilani
Theri
Setelah melihat bahaya
kehidupan dunia, kami berdua menjadi pertapa dengan memusnahkan kekotoran batin
dan kami mencapai Nibbana
Bhadda
Kapilani dilahirkan di dalam keluarga yang makmur dari suku Kosiya. Bhadda
tumbuh menjadi dewasa di Sagala, ibukota dari kerajaan Madda. Pada suatu hari,
ketika Bhadda masih kecil, ia melihat seekor burung gagak memakan serangga dan
serangga tersebut kelihatan sangat menderita bergeliat-geliut diantara benih
wijen kering. Kejadian tersebut sangat menakutkan Bhadda. Tetapi yang lebih
menakutkan lagi ketika beberapa anak yang lebih tua mengatakan bahwa kematian
serangga tersebut merupakan kesalahan Bhadda. Walaupun kejadian tersebut
terlihat biasa, tetapi tidak menurut Bhadda. Semenjak kejadian itu, Bhadda
mengambil keputusan untuk melepas hidup keduniawian.
Ternyata
kejadian yang sama menimpa seorang anak laki-laki, yang kelak menjadi suami
Bhadda, bernama Kassappa. Ketika itu Kassappa sedang berdiri di tengah-tengah
sawah yang telah dibajak. Kassappa yang pada saat itu masih kecil melihat
cacing-cacing sedang dimakan oleh burung-burung. Dia merasa bersalah atas
penderitaan itu. Sama seperti Bhadda, dia memutuskan untuk menjadi pertapa.
Masing-masing
tumbuh di kedua tempat yang berbeda. Bhadda dan Kassappa tetap pada
keputusannya untuk menjadi pertapa. Keduanya bertekad bahwa mereka tidak akan
menikah. Keputusan ini membuat kedua orang tua mereka menjadi sedih.
Orangtua
Kassappa membujuk Kassappa untuk menikah.
“Kassappa, kami ingin melihat kamu berkeluarga”, ucap ayah Kassappa.
“Kassappa, kami ingin melihat kamu berkeluarga”, ucap ayah Kassappa.
Namun
Kassappa menolak,
“Maaf ayah, saya sudah memutuskan untuk tidak menikah.”
“Maaf ayah, saya sudah memutuskan untuk tidak menikah.”
Orang tua
Kassappa mendesak terus supaya Kassappa menikah, akhirnya ia menyetujuinya,
tetapi dengan sebuah persyaratan,
“Ayah Ibu, aku akan menikah, tetapi carilah wanita yang wajahnya mirip dengan patung yang akan aku buat”, kata Kassappa kepada kedua orangtuanya.
“Ayah Ibu, aku akan menikah, tetapi carilah wanita yang wajahnya mirip dengan patung yang akan aku buat”, kata Kassappa kepada kedua orangtuanya.
Kassappa
lalu membuat sebuah patung wanita yang sangat cantik. Orang tuanya kemudian
mengutus orang-orang untuk mencari wanita cantik di seluruh negeri yang mirip
dengan patung itu. Akhirnya ditemukanlah wanita cantik yang menyerupai patung
yang dibuat oleh Kassappa itu.
“Kami telah menemukan wanita cantik yang dicari, ia benama Bhadda Kapilani”, lapor seorang yang ditugaskan itu kepada orang tua Kassappa.
“Kami telah menemukan wanita cantik yang dicari, ia benama Bhadda Kapilani”, lapor seorang yang ditugaskan itu kepada orang tua Kassappa.
Mereka
amat bahagia karena anaknya akan menikah. Sungguh luar biasa dapat menemukan
wanita yang persis sama seperti patung itu.
Kegembiraan
itu juga dirasakan oleh orang tua Bhadda.
“Mari segera kita persiapkan pesta pernikahan Kassappa dengan Bhadda!”, ucap ayah Kassappa dengan bersemangat.
“Mari segera kita persiapkan pesta pernikahan Kassappa dengan Bhadda!”, ucap ayah Kassappa dengan bersemangat.
Kemudian
kedua orang tua Kassappa dan Bhadda merencanakan pesta pernikahan untuk mereka
secara rahasia. Mengetahui rencana pernikahan tersebut, Bhadda dan Kassappa
berusaha untuk membatalkannya dengan cara menulis surat kepada kedua
orangtuanya, yang berisi bahwa mereka akan menjadi pasangan suami isteri yang
tidak harmonis.
Tetapi
taktik surat
tersebut tidak behasil dan pesta pernikahan tetap dilangsungkan. Namun sesudah
pernikahan tersebut, Kassappa dan Bhadda sepakat untuk tidak mewujudkan
kehidupan berumah tangga, mereka sepakat untuk meninggalkan hidup keduniawian.
Mereka saling memotong rambut mereka satu sama lain, mengenakan jubah kuning,
memberikan kebebasan kepada pelayan-pelayannya dan menjadi pertapa.
Kassappa
dan Bhadda meninggalkan rumah, Bhadda berjalan mengikuti Kassappa, mereka
menyadari bahwa berjalan bersama-sama kesana kemari, akan menimbulkan
prasangka, maka mereka memutuskan untuk berpisah. Kassappa mengambil arah kanan
sedangkan Bhadda mengambil arah kiri.
Setelah
berselang beberapa waktu Kassappa menjadi pengikut Sang Buddha dan ditahbiskan
(upasampada)
menjadi bhikkhu. Bhadda tinggal di Titthiya rama dekat hutan Jeta di Savatthi.
Setelah
kurang lebih 5 tahun pada saat Maha Pajapati Gotami membentuk Sangha Bhikkhuni,
kemudian Bhadda ditahbiskan menjadi anggota Sangha Bhikkhuni
Kassappa, Sang Putera,
pewaris Sang Buddha,
penuh konsentrasi,
yang mengetahui bahwa
Ia telah hidup dimasa lampau,
Ia telah melihat surga dan neraka.
Kassappa memutuskan lingkaran
tumimbal lahir, mencapai Arahat,
karena ketiga pengetahuan yang ia
miliki maka ia disebut brahmana
pemilik Tiga Pengetahuan.
pewaris Sang Buddha,
penuh konsentrasi,
yang mengetahui bahwa
Ia telah hidup dimasa lampau,
Ia telah melihat surga dan neraka.
Kassappa memutuskan lingkaran
tumimbal lahir, mencapai Arahat,
karena ketiga pengetahuan yang ia
miliki maka ia disebut brahmana
pemilik Tiga Pengetahuan.
Dengan cara yang sama,
Bhadda Kapilani pemilik Tiga Pengetahuan,
Setelah meninggalkan kematian,
melanjutkan sisa kehidupan
jasadnya yang terakhir kali,
setelah menaklukkan Mara dan
para pengikutnya.
Bhadda Kapilani pemilik Tiga Pengetahuan,
Setelah meninggalkan kematian,
melanjutkan sisa kehidupan
jasadnya yang terakhir kali,
setelah menaklukkan Mara dan
para pengikutnya.
Setelah melihat
bahaya kehidupan dunia,
kami berdua menjadi pertapa dengan
memusnahkan kekotoran batin
dan kami mencapai Nibbana.
bahaya kehidupan dunia,
kami berdua menjadi pertapa dengan
memusnahkan kekotoran batin
dan kami mencapai Nibbana.
Yang Ariya Sona Theri
Walaupun seseorang hidup
seratus tahun, tetapi malas dan tidak bersemangat, maka sesungguhnya lebih baik
kehidupan sehari dari orang yang berjuang penuh dengan semangat.
Sona
adalah seorang ibu rumah tangga yang mempunyai sepuluh orang anak. Beliau
merawat, mengasuh, membesarkan, mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang.
Seluruh hidupnya dicurahkan hanya untuk anak-anaknya, oleh karena itu ia
dikenal sebagai Sona “Si Banyak Anak”.
Suami Sona
adalah pengikut Sang Buddha, ia belajar banyak mengenai kehidupan. Setelah
beberapa tahun menjadi kepala rumah tangga, suami Sona memutuskan untuk
terbebas dari belenggu kehidupan dengan cara menjalani kehidupan suci. Dengan
persetujuan Sona sebagai isterinya, suami Sona meninggalkan keluarganya,
menjalani kehidupan suci dan ditahbiskan (upasampada) sebagai bhikkhu. Sona
menjadi orang tua tunggal yang menghidupi dan merawat kesepuluh anak-anaknya
itu dengan susah payah.
Waktu
berlalu, Sona telah tua, dan anak-anaknya telah berkeluarga. Sona banyak
menghabiskan waktunya pada kegiatan-kegiatan keagamaan. Walaupun demikian Sona
yang telah tua, merasa takut dan cemas menghadapi hari tuanya. Sona merasa ia
hanya menjadi beban bagi keluarga anak-anaknya saja. Sona takut akan kesepian,
ditinggalkan oleh anak-anaknya.
“Aku
sekarang sudah tua, sudah tidak seperti dulu lagi, akankah anak-anakku
menyokongku…, memperhatikanku…, merawatku ketika sakit, seperti aku merawat
mereka, bagaimanakah aku nanti…?” Sona menyadari kenyataan bahwa ia tidak dapat
menggantungkan hidupnya kepada anak-anaknya, tapi harus bergantung kepada diri
sendiri.
Pemikiran
ini, membuat Sona memutuskan untuk mengikuti jalan hidup suaminya, yaitu
menjalani kehidupan suci dan menjadi anggota Sangha Bhikkhuni, sehingga ia
dapat mengembangkan cinta kasih dan sifat-sifat kebajikan.
Saat
memasuki Sangha Bhikkhuni, Sona yang sudah lanjut usia itu membawa
kebiasaan-kebiasaannya sendiri, ia harus menghadapai hal-hal baru yang tidak
pernah dilakukannya, sehingga sering mendapat kritik dan saran dari para
bhikkhuni lainnya yang lebih muda, namun memiliki vassa yang lebih banyak. Sona
menyadari bahwa tidak mudah untuk mencapai pencerahan, harus berlatih dengan
giat dan penuh semangat.
Dengan
usianya yang telah lanjut, Sona merasa tidak banyak waktu lagi untuk berlatih
sebelum meninggalkan dunia ini. Oleh karena itu, Sona berlatih meditasi dengan
giat. Setiap malam ia habiskan waktunya untuk bermeditasi dengan sikap duduk
dan sikap berjalan, dan Sona hanya tidur sebentar.
Dalam
kegelapan malam, Sona berlatih meditasi jalan sambil memegang pilar demi pilar
vihara, berjaga-jaga agar tidak tersandung benda.
Dengan
usahanya yang giat, tanpa mengenal lelah, ia sendirian di dalam ruangan vihara,
dimana para bhikkhuni lainnya sedang keluar, Sona mencapai Tingkat Kesucian
Arahat. Dia menggambarkan dalam kata-katanya sendiri terdapat dalam Apadana :
Pada saat para bhikkhuni
lainnya
meninggalkanku sendiri di vihara
Mereka telah memberikanku instruksi
Merebus seketel air
meninggalkanku sendiri di vihara
Mereka telah memberikanku instruksi
Merebus seketel air
Mengambil air
Menuangkannya ke dalam ketel
Menaruh ketel di atas kompor dan duduk
Kemudian pikiranku menggubah
Menuangkannya ke dalam ketel
Menaruh ketel di atas kompor dan duduk
Kemudian pikiranku menggubah
Aku melihat bahwa
Sesuatu tidak kekal,
Aku melihat sesuatu
sebagai penderitaan dan tidak berinti
Melepaskan segala kekotoran batin
Disana aku mencapai Arahat
Sesuatu tidak kekal,
Aku melihat sesuatu
sebagai penderitaan dan tidak berinti
Melepaskan segala kekotoran batin
Di
Yang Ariya Bhadda Kapilani
Theri
Setelah melihat bahaya
kehidupan dunia, kami berdua menjadi pertapa dengan memusnahkan kekotoran batin
dan kami mencapai Nibbana
Bhadda
Kapilani dilahirkan di dalam keluarga yang makmur dari suku Kosiya. Bhadda
tumbuh menjadi dewasa di Sagala, ibukota dari kerajaan Madda. Pada suatu hari,
ketika Bhadda masih kecil, ia melihat seekor burung gagak memakan serangga dan
serangga tersebut kelihatan sangat menderita bergeliat-geliut diantara benih
wijen kering. Kejadian tersebut sangat menakutkan Bhadda. Tetapi yang lebih
menakutkan lagi ketika beberapa anak yang lebih tua mengatakan bahwa kematian
serangga tersebut merupakan kesalahan Bhadda. Walaupun kejadian tersebut
terlihat biasa, tetapi tidak menurut Bhadda. Semenjak kejadian itu, Bhadda
mengambil keputusan untuk melepas hidup keduniawian.
Ternyata
kejadian yang sama menimpa seorang anak laki-laki, yang kelak menjadi suami
Bhadda, bernama Kassappa. Ketika itu Kassappa sedang berdiri di tengah-tengah
sawah yang telah dibajak. Kassappa yang pada saat itu masih kecil melihat
cacing-cacing sedang dimakan oleh burung-burung. Dia merasa bersalah atas
penderitaan itu. Sama seperti Bhadda, dia memutuskan untuk menjadi pertapa.
Masing-masing
tumbuh di kedua tempat yang berbeda. Bhadda dan Kassappa tetap pada
keputusannya untuk menjadi pertapa. Keduanya bertekad bahwa mereka tidak akan
menikah. Keputusan ini membuat kedua orang tua mereka menjadi sedih.
Orangtua
Kassappa membujuk Kassappa untuk menikah.
“Kassappa, kami ingin melihat kamu berkeluarga”, ucap ayah Kassappa.
“Kassappa, kami ingin melihat kamu berkeluarga”, ucap ayah Kassappa.
Namun
Kassappa menolak,
“Maaf ayah, saya sudah memutuskan untuk tidak menikah.”
“Maaf ayah, saya sudah memutuskan untuk tidak menikah.”
Orang tua
Kassappa mendesak terus supaya Kassappa menikah, akhirnya ia menyetujuinya,
tetapi dengan sebuah persyaratan,
“Ayah Ibu, aku akan menikah, tetapi carilah wanita yang wajahnya mirip dengan patung yang akan aku buat”, kata Kassappa kepada kedua orangtuanya.
“Ayah Ibu, aku akan menikah, tetapi carilah wanita yang wajahnya mirip dengan patung yang akan aku buat”, kata Kassappa kepada kedua orangtuanya.
Kassappa
lalu membuat sebuah patung wanita yang sangat cantik. Orang tuanya kemudian
mengutus orang-orang untuk mencari wanita cantik di seluruh negeri yang mirip
dengan patung itu. Akhirnya ditemukanlah wanita cantik yang menyerupai patung
yang dibuat oleh Kassappa itu.
“Kami telah menemukan wanita cantik yang dicari, ia benama Bhadda Kapilani”, lapor seorang yang ditugaskan itu kepada orang tua Kassappa.
“Kami telah menemukan wanita cantik yang dicari, ia benama Bhadda Kapilani”, lapor seorang yang ditugaskan itu kepada orang tua Kassappa.
Mereka
amat bahagia karena anaknya akan menikah. Sungguh luar biasa dapat menemukan
wanita yang persis sama seperti patung itu.
Kegembiraan
itu juga dirasakan oleh orang tua Bhadda.
“Mari segera kita persiapkan pesta pernikahan Kassappa dengan Bhadda!”, ucap ayah Kassappa dengan bersemangat.
“Mari segera kita persiapkan pesta pernikahan Kassappa dengan Bhadda!”, ucap ayah Kassappa dengan bersemangat.
Kemudian
kedua orang tua Kassappa dan Bhadda merencanakan pesta pernikahan untuk mereka
secara rahasia. Mengetahui rencana pernikahan tersebut, Bhadda dan Kassappa
berusaha untuk membatalkannya dengan cara menulis surat kepada kedua
orangtuanya, yang berisi bahwa mereka akan menjadi pasangan suami isteri yang
tidak harmonis.
Tetapi
taktik surat
tersebut tidak behasil dan pesta pernikahan tetap dilangsungkan. Namun sesudah
pernikahan tersebut, Kassappa dan Bhadda sepakat untuk tidak mewujudkan
kehidupan berumah tangga, mereka sepakat untuk meninggalkan hidup keduniawian.
Mereka saling memotong rambut mereka satu sama lain, mengenakan jubah kuning,
memberikan kebebasan kepada pelayan-pelayannya dan menjadi pertapa.
Kassappa
dan Bhadda meninggalkan rumah, Bhadda berjalan mengikuti Kassappa, mereka
menyadari bahwa berjalan bersama-sama kesana kemari, akan menimbulkan
prasangka, maka mereka memutuskan untuk berpisah. Kassappa mengambil arah kanan
sedangkan Bhadda mengambil arah kiri.
Setelah
berselang beberapa waktu Kassappa menjadi pengikut Sang Buddha dan ditahbiskan
(upasampada)
menjadi bhikkhu. Bhadda tinggal di Titthiya rama dekat hutan Jeta di Savatthi.
Setelah
kurang lebih 5 tahun pada saat Maha Pajapati Gotami membentuk Sangha Bhikkhuni,
kemudian Bhadda ditahbiskan menjadi anggota Sangha Bhikkhuni
Kassappa, Sang Putera,
pewaris Sang Buddha,
penuh konsentrasi,
yang mengetahui bahwa
Ia telah hidup dimasa lampau,
Ia telah melihat surga dan neraka.
Kassappa memutuskan lingkaran
tumimbal lahir, mencapai Arahat,
karena ketiga pengetahuan yang ia
miliki maka ia disebut brahmana
pemilik Tiga Pengetahuan.
pewaris Sang Buddha,
penuh konsentrasi,
yang mengetahui bahwa
Ia telah hidup dimasa lampau,
Ia telah melihat surga dan neraka.
Kassappa memutuskan lingkaran
tumimbal lahir, mencapai Arahat,
karena ketiga pengetahuan yang ia
miliki maka ia disebut brahmana
pemilik Tiga Pengetahuan.
Dengan cara yang sama,
Bhadda Kapilani pemilik Tiga Pengetahuan,
Setelah meninggalkan kematian,
melanjutkan sisa kehidupan
jasadnya yang terakhir kali,
setelah menaklukkan Mara dan
para pengikutnya.
Bhadda Kapilani pemilik Tiga Pengetahuan,
Setelah meninggalkan kematian,
melanjutkan sisa kehidupan
jasadnya yang terakhir kali,
setelah menaklukkan Mara dan
para pengikutnya.
Setelah melihat
bahaya kehidupan dunia,
kami berdua menjadi pertapa dengan
memusnahkan kekotoran batin
dan kami mencapai Nibbana.
bahaya kehidupan dunia,
kami berdua menjadi pertapa dengan
memusnahkan kekotoran batin
dan kami mencapai Nibbana.
Culla Subadha
Meskipun dari jauh, orang
baik akan terlihat bersinar; Bagaikan puncak pegunungan Himalaya .
Tetapi meskipun dekat, orang jahat tidak akan terlihat; Bagaikan anak panah
yang dilepaskan pada malam hari.
Berawal
dari Anathapindika masih remaja. Ia mempunyai sahabat akrab dari anak seorang
bendahara bernama Ugga, yang tinggal di kota
Ugga. Mereka belajar bersama ilmu sastra di rumah seorang guru. Ketika mereka
belajar bersama, mereka membuat perjanjian, “Bila kita sudah dewasa, lalu
menikah dan mempunyai anak, yang perempuan akan dijadikan isteri dari anak
laki-laki.” Ketika kedua remaja ini menjadi dewasa, mereka menjadi bendahara,
yang tinggal di kota
masing-masing.
Waktu
berlalu, Anathapindika telah berkeluarga dan mempunyai anak perempuan yang
bernama Culla Subhadda. Pada suatu kesempatan Bendahara Ugga berkunjung ke
Savatthi dengan membawa kereta untuk berdagang. Ketika itu Anathapindika berkata
kepada anak perempuannya Culla Subhadda, “Anakku sayang, ayahmu Bendahara Ugga
akan datang mengunjungi kita; kamu harus melayaninya dengan baik.” “Baiklah
ayah”, jawab Culla Subhadda ,
ia berjanji untuk mematuhi
perintah ayahnya.
Sejak
Bendahara Ugga tiba, Culla Subhadda menyiapkan sendiri piring-piring, masakan
dan makanan lainnya, menghiasi rumah dengan bunga-bunga, menyediakan minyak
wangi, obat gosok dan lain-lain untuk menyenangkan tamunya. Ketika waktu makan
tiba, ia segera menyiapkan air untuk tamunya mandi dan sesudah itu ia melayani
segala macam kebutuhan tamunya itu.
Ketika
Bendahara Ugga memperhatikan tingkah laku Culla Subhadda yang menyenangkan itu,
hatinya bahagia. Suatu hari ia berbincang-bincang dengan Anathapindika, ia
mengingatkan kembali perjanjian di antara mereka, ketika mereka masih remaja,
ia lalu memutuskan untuk memilih Culla Subhadda untuk menjadi menantunya.
Sekarang
ini, Bendahara Ugga berguru kepada pertapa telanjang yang mempunyai pandangan
yang salah, dan Anathapindika lalu bertanya kepada Sang Budhha tentang masalah
ini. Sang Guru melihat bahwa Bendahara Ugga mempunyai kemampuan untuk
mempelajari Dhamma, mengijinkan Culla Subhadda untuk menjadi menantu Bendahara
Ugga. Sesudah Bendahara Anathapindika membicarakan masalah ini kepada
isterinya, ia lalu menerima lamaran Bendahara Ugga dan mempersiapkan upacara
pernikahan puterinya.
Bendahara
Anathapindika memberikan beberapa hadiah kepada putrinya. Ia memberikan Sepuluh
Peringatan, kemudian berkata, “Putriku sayang, kalau kamu tinggal di rumah
mertuamu, api di dalam rumah jangan dibawa keluar dan sebagainya.” Ia juga
menyediakan delapan orang pengikut sebagai penasihat, ia berpesan kepada
mereka, “Kalau ada kesalahan berada di pihak puteriku, kalian harus
memberitahukan kesalahannya.”
Ketika ia
hendak melepaskan puterinya, ia berdana yang luar biasa besarnya kepada Bhikkhu
Sangha, yang dipimpin oleh Sang Buddha, dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa
puterinya telah melakukan perbuatan baik sehingga puterinya memperoleh
kebahagian, ia lalu melepas puterinya pergi dengan penuh rasa bahagia.
Ketika
Culla Subhada tiba di kota Ugga, seluruh anggota keluarga mertuanya dan
keluarga besar lainnya datang menyambut dengan penuh kehangatan. Ia memasuki
kota dengan berdiri di atas kereta kencana, berpawai ke sekeliling kota, yang
memperhatikan kebesaran dan kebahagiaannya. Ia menerima banyak hadiah dari
penduduk, sehingga menimbulkan hubungan dan pengertian yang baik dengan
penduduk di sekitarnya. Seluruh kota
membicarakan dengan penuh hormat kecantikan dan keluhuran budinya.
Sekarang
ini, ayah mertuanya sedang menjamu para pertapa telanjang pada suatu festival,
dan pada saat itu ia mengirimkan pesan kepada menantunya, “Panggillah ia masuk,
untuk memberikan hormat kepada pertapa-pertapa kita.”
Tetapi
dengan penuh kerendahan hati Culla Subhadda menolak untuk bertemu dan masuk
menemui mereka. Berkali-kali mertuanya memberikan pesan supaya menantunya
datang dan berkali-kali pula ia manolak untuk masuk. Akhirnya ayah mertuanya
marah dan memerintahkan, “Usir dia keluar dari rumah ini!”
Tetapi ia
menolak, “Tidak seorangpun dapat menghukum tanpa suatu alasan.” Dengan segera
Culla Subhadda mengumpulkan para penasihat yang mengiringinya dan menerangkan
permasalahan di hadapan mereka.
Ayah
mertua berbincang-bincang dengan isterinya tentang masalah ini dan berkata,
“Perempuan ini menolak untuk memberikan hormat kepada para pertapa kita,
alasannya karena mereka ‘tidak sopan’.” Ibu mertuanya berkata, “Bagamanakah
tingkah laku para bhikkhunya, sehingga ia puja sedemikian tinggi ?”
Ia lalu
memanggil Culla Subhadda dan berkata, “Bagaimanakah tingkah laku para
bhikkhumu, yang kamu puja sedemikian tinggi? Apa yang mereka pahami dan
bagaimana mereka mempraktekannya? Jawablah pertanyaan saya.”
Dalam
menjawab pertanyaan ibu mertuanya, Culla Subhadda menjelaskan tentang kemuliaan
dan keluhuran dari Sang Buddha dan Ajaran-Nya sebagai berikut :
“Tenang ucapan mereka,
tenang pikiran mereka,
tenang langkah mereka berjalan,
tenang pendirian mereka
Mereka melihat ke bawah;
sedikit yang mereka ucapkan.
Itulah para bhikkhu saya.
tenang pikiran mereka,
tenang langkah mereka berjalan,
tenang pendirian mereka
Mereka melihat ke bawah;
sedikit yang mereka ucapkan.
Itulah para bhikkhu saya.
Perbuatan mereka bersih,
Ucapan mereka bersih,
Pikiran mereka bersih,
Itulah para bhikkhu saya.
Ucapan mereka bersih,
Pikiran mereka bersih,
Itulah para bhikkhu saya.
Tidak bernoda seperti
mutiara,
Murni di dalam dan di luar
Penuh dengan sifat-sifat baik,
Itulah para bhikkhu saya.
Murni di dalam dan di luar
Penuh dengan sifat-sifat baik,
Itulah para bhikkhu saya.
Dunia gembira dengan
keuntungan dan
bersedih karena kerugian.
Tetapi mereka tidak terpengaruh dari
keduanya; keuntungan dan kerugian.
Itulah para bhikkhu saya.
bersedih karena kerugian.
Tetapi mereka tidak terpengaruh dari
keduanya; keuntungan dan kerugian.
Itulah para bhikkhu saya.
Dunia gembira karena
terkenal dan
bersedih karena tidak terkenal.
Tetapi mereka tidak terpengaruh dari
keduanya; terkenal atau tidak terkenal.
Itulah para bhikkhu saya.
bersedih karena tidak terkenal.
Tetapi mereka tidak terpengaruh dari
keduanya; terkenal atau tidak terkenal.
Itulah para bhikkhu saya.
Dunia gembira karena
pujian dan
bersedih karena celaan.
Tetapi mereka tidak bereaksi
terhadap keduanya; pujian dan celaan.
Itulah para bhikkhu saya.
bersedih karena celaan.
Tetapi mereka tidak bereaksi
terhadap keduanya; pujian dan celaan.
Itulah para bhikkhu saya.
Dunia gembira karena
kesenangan dan
bersedih karena penderitaan.
Tetapi mereka tidak berubah
terhadap kesenangan dan penderitaan.
Itulah para bhikkhu saya”.
bersedih karena penderitaan.
Tetapi mereka tidak berubah
terhadap kesenangan dan penderitaan.
Itulah para bhikkhu saya”.
Dengan
kata-kata yang diucapkannya itu, dan pada saat itu juga Culla Subhadda
memuaskan ibu mertuanya. Sehingga ibu mertuanya bertanya kepadanya,
“Mungkinkah bagi kami untuk bertemu dengan bhikkhu-bhikkhu kamu?”
“Tentu saja mungkin,” jawab Culla Subhadda.
“Kalau begitu, aturlah supaya kami dapat bertemu dengan mereka,” tanya ibu mertuanya.
“Baiklah,” jawab Culla Subhadda.
“Mungkinkah bagi kami untuk bertemu dengan bhikkhu-bhikkhu kamu?”
“Tentu saja mungkin,” jawab Culla Subhadda.
“Kalau begitu, aturlah supaya kami dapat bertemu dengan mereka,” tanya ibu mertuanya.
“Baiklah,” jawab Culla Subhadda.
Kemudian
Culla Subhadda menyiapkan persembahan-persembahan kepada Bhikkhu Sangha yang
dipimpin oleh Sang Buddha.
Ia lalu
berdiri di lantai paling atas di istana dan menghadap Vihara Jetavana, sambil
menghormat, ia merenungkan kebajikan-kebajikan Sang Buddha. Ia menghormati Sang
Buddha dengan mempersembahkan dupa, wewangian dan bunga-bunga, lalu ia
melemparkannya ke udara delapan genggam bunga melati, sambil berkata dengan
penuh hormat,
“Yang Mulia saya mengundang Bhikkhu Sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha besok pagi, semoga Sang Guru mengetahui permohonan undangan saya melalui bunga-bunga ini.”
“Yang Mulia saya mengundang Bhikkhu Sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha besok pagi, semoga Sang Guru mengetahui permohonan undangan saya melalui bunga-bunga ini.”
Bunga-bunga
ini lalu melayang di udara dan membentuk payung bunga yang indah diatas Sang
Buddha ketika Beliau sedang membabarkan Dhamma di tengah para bhikkhu.
Pada waktu
itu Anathapindika, yang sedang mendengarkan Dhamma, mengundang Sang Buddha
untuk menjadi tamunya besok pagi. Sang Buddha lalu menjawab,
“Saudara, saya sudah menerima undangan untuk besok pagi.”
“Tetapi Yang Mulia,” jawab Anathapindika, “Tidak ada seorangpun yang datang ke sini sebelum saya, undangan siapakah Yang Mulia terima?”
“Saudara, saya sudah menerima undangan untuk besok pagi.”
“Tetapi Yang Mulia,” jawab Anathapindika, “Tidak ada seorangpun yang datang ke sini sebelum saya, undangan siapakah Yang Mulia terima?”
Sang Guru
berkata :
“Culla subhadda mengundangku, saudara.”
“Tetapi, Yang Mulia, bukankah Culla Subhadda tinggal jauh dari sini, kira-kira seratus dua puluh leagues (1 league = 4,8km) dari sini ?”
“Ya,” jawab Sang Buddha. “Tetapi perbuatan baik, meskipun jauh dapat menampakkan dirinya seperti saling berhadapan.” Kemudian Sang Buddha mengucapkan syair :
“Culla subhadda mengundangku, saudara.”
“Tetapi, Yang Mulia, bukankah Culla Subhadda tinggal jauh dari sini, kira-kira seratus dua puluh leagues (1 league = 4,8km) dari sini ?”
“Ya,” jawab Sang Buddha. “Tetapi perbuatan baik, meskipun jauh dapat menampakkan dirinya seperti saling berhadapan.” Kemudian Sang Buddha mengucapkan syair :
“Meskipun
dari jauh,
orang baik akan terlihat bersinar
bagaikan puncak
pegununganHimalaya .
Tetapi meskipun dekat,
orang jahat tidak akan terlihat,
Bagaikan anak panah yang dilepaskan
pada malam hari.”
orang baik akan terlihat bersinar
bagaikan puncak
pegunungan
Tetapi meskipun dekat,
orang jahat tidak akan terlihat,
Bagaikan anak panah yang dilepaskan
pada malam hari.”
Dewa
Sakka, raja para dewa menyadari bahwa Sang Guru telah menerima undangan Culla
Subhadda, memberikan perintah kepada Dewa Vissakamma:
“Ciptakanlahlima ratus pagoda dan pada esok
hari antarkanlah Bhikkhu Sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha menuju Kota Ugga.”
“Ciptakanlah
Keesokan
paginya, Dewa Vissakamma menciptakan lima
ratus pagoda dan menunggu di depan pintu Vihara Jetavana. Sang Buddha memilih lima ratus Arahat, dan rombongan ini bersama-sama lalu
duduk di pagoda, dan melalui udara menuju Kota
Ugga.
Bendahara
Ugga beserta rombongan, dengan dikepalai oleh Culla Subhadda berdiri menunggu
di jalan, di mana Sang Buddha akan tiba. Ketika ia melihat Sang Buddha
mendekati dengan semua kemegahan dan keagungan-Nya, hatinya dipenuhi dengan
kebahagiaan yang luar biasa.
Ia
menyampaikan penghormatan yang tertinggi dengan karangan bunga dan persembahan
lainnya, mengundang Sang Guru untuk memasuki rumahnya, dan menyampaikan
hormatnya. Ia mempersembahkan berbagai macam dana, mengundang Sang Buddha
berkali-kali untuk bersedia menjadi tamunya. Selama tujuh hari ia
mempersembahkan dana yang luar biasa besar.
Sang
Buddha lalu mengingatkannya untuk selalu berbuat kebaikan dan membabarkan
Dhamma kepada ayah mertuanya.
Dimulai
dengan Bendahara Ugga, delapan puluh empat ribu makhluk hidup, mencapai
pengertian terhadap Dhamma Yang Mulia.
Sebagai
hadiah atas kemurahan hati Culla Subhadda, Sang Buddha lalu meminta Yang Mulia
Anuruddha untuk tetap tinggal, dengan berkata, “Kamu tetap tinggal di sini.”
Sang
Buddha lalu kembali ke Savatthi. Sejak saat itu kota Ugga menjadi kota yang
penduduknya mengerti akan Dhamma Yang Mulia, kota yang sejuk dan damai.
Visakha
Seperti dari setumpuk
bunga dapat dibuat banyak karangan bunga; demikian pula hendaknya banyak
kebajikan dapat dilakukan oleh manusia di dunia ini.
Visakha
adalah puteri dari seorang hartawan dari Bhaddiya bernama Dhananjaya dan ibunya
bernama Sumanadevi. Kakek Visakha adalah seorang hartawan bernama Ram, yang
merupakan salah satu dari lima
hartawan di wilayah kerajaan Raja Bimbisara.
Pada suatu
hari, ketika kakek Visakha mendengar kabar bahwa Sang Buddha sedang berjalan
memasuki kota, ia mengajak Visakha yang baru berusia tujuh tahun bersama lima ratus pengawalnya
untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha.
“Cucuku
sayang, hari ini hari bahagia untukmu dan untukku, kumpulkan lima
ratus pengawal beserta lima
ratus pelayan. Mari kita temui Sang Buddha”, kata kakek Visakha.
“Baiklah!”
jawab Visakha. Keesokan harinya kakek Visakha mengundang Sang Buddha bersama
para bhikkhu untuk menerima persembahan dana darinya. Setelah mendengar khotbah
Sang Buddha, Kakek Visakha, Visakha dan lima
ratus pengawalnya mencapai tingkat kesucian Sotapatti.
Ketika
Visakha dewasa, dia tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik. Ia dipersunting
oleh Punnavaddhana, putra Migara, seorang hartawan dari Savatthi. Pada waktu ia
pindah mengikuti suaminya ke Savatthi, ayahnya meminta 8 orang penasihat mengiringinya
ke Savatthi.
Pada suatu
hari, ketika ayah mertuanya sedang makan siang di rumahnya, seorang bhikkhu
berhenti di rumah tersebut untuk berpindapatta, Visakha yang pada saat itu
sedang berdiri di dekat ayah mertuanya, ketika melihat bhikkhu itu, ia lalu
berpikir, adalah tidak tepat jika saya memberitahukan kepada ayah mertua
tentang kedatangan bhikkhu tersebut. Ia lalu bergeser ke samping supaya ayah
mertuanya melihat kedatangan bhikkhu itu.
Tapi
ketika ayah mertua melihat kedatangan bhikkhu tersebut, beliau tidak perduli,
dan meneruskan makan siangnya. Visakha berpikir, “Ayah mertuaku sudah melihat
kedatangan bhikkhu itu tapi beliau tidak perduli.” Akhirnya ia berkata kepada
bhikkhu tersebut, “Bhante, maafkanlah ayah mertua saya sedang makan makanan
sisa,”
Ayah
mertua yang sedang makan, mendengar ucapan menantunya bahwa ia makan makanan
sisa, lalu mengibaskan tangannya dan berkata dengan marah, “Buang makanan ini
dan usir perempuan itu dari rumah sekarang juga!”
Visakha
yang mendengar ayah mertuanya marah dan mengusirnya, berkata dengan lembut,
“Ayah, tidaklah cukup alasan yang mengharuskan saya pergi dari rumah ini, ayah
saya mengirim 8 orang penasihat untuk mengawasi saya apabila saya melakukan
kekeliruan. Saya akan mengundang mereka dan menjelaskan apa yang terjadi.”
Ayah
mertuanya menyetujui ucapan Visakha untuk memanggil ke 8 penasihat tersebut.
Ketika para penasihat itu berkumpul, Migara berkata, “Ketika saya sedang makan
dengan piring emas, Visakha mengatakan saya sedang makan makanan sisa, maka
saya mengusirnya keluar dari rumah ini.”
“Apakah
benar anakku?” tanya para penasihat. “Saya tidak mengatakan demikian yang
terjadi sebagai berikut, ketika seorang bhikkhu sedang berpindapata, berdiri di
depan pintu, ayah mertua yang sedang makan dengan piring emas tidak
mempedulikan bhikkhu tersebut.” Jadi saya berkata, “Bhante, maafkanlah ayah
mertua saya sedang makan makanan sisa. Saya pikir ayah mertua saya tidak mau
melakukan perbuatan baik saat ini, beliau hanya makan hasil dari perbuatan
baiknya di masa lampau.”
“Apakah
saya berkata salah, Tuan?” tanya Visakha kepada para penasihat. “Tidak, kamu
tidak bersalah, apa yang Visakha katakan seluruhnya benar”, jawab para
penasihat. “Mengapa tuan marah kepadanya?” tanya salah satu penasihat kepada
Migara.
Akhirnya
ayah mertuanya menyadari kekeliruannya, lalu Visakha berkata, “Tuan-tuan,
meskipun pada mulanya tidaklah benar bila saya meninggalkan rumah ini atas
perintah ayah, dan sekarang anda telah membebaskan saya atas semua tuduhan
terhadap saya, maka sekaranglah waktu yang tepat bagi saya untuk pergi dari
rumah ini.”
Visakha
lalu memberi perintah, “Beritahu kepada semua pembantu baik laki-laki atau
perempuan, persiapkan kereta dan segalanya, saya mau pulang ke rumah orang
tuaku.” Ayah mertua menghampirinya, “Saya memaafkanmu, menantuku.”
“Ayah,
saya sebagai murid Sang Buddha, tidak dapat tinggal diam apabila ada para
bhikkhu yang sedang berpindapata. Namun, apabila saya diijinkan untuk
mengundang dan berdana kepada para bhikkhu, saya akan tinggal”, jawab Visakha
kepada ayah mertuanya.
Kemudian
ayah mertuanya berkata, “Menantuku, kamu dapat mengundang para bhikkhu sesuai
dengan keinginanmu.” Visakha lalu mengundang Sang Buddha dan murid-murid-Nya ke
rumah mertuanya untuk keesokan harinya.
Ketika
dana makanan telah disajikan Visakha mengundang ayah mertua untuk bertemu
dengan Sang Buddha, tetapi ayah mertuanya yang mempercayai pertapa yang
berpandangan salah, melarangnya. Untuk kedua kalinya Visakha meminta ayah
mertuanya untuk datang.
Namun ayah
mertuanya tetap bersikeras tidak mau menemui Sang Buddha. Namun Visakha
bersepakat dengan ayah mertuanya untuk mendengarkan kotbah Sang Buddha dari
balik tirai.
Setelah
mendengar kotbah, Migara mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Migara amat
berterima kasih kepada Sang Buddha dan kepada menantunya. Sejak saat itu ia
menyatakan Visakha sebagai ibunya, yang kemudian dikenal sebagai Migara mata.
Visakha lalu berdana makanan dan kebutuhan lain kepada Sang Buddha dan
murid-murid-Nya.
Visakha
hidup bahagia dan makmur, dan dari pernikahannya itu, Visakha mempunyai sepuluh
anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan.
Pada suatu
hari, Visakha pergi ke Vihara Jetavana bersama pelayannya, sesampainya di
vihara ia melepaskan perhiasan yang dihadiahi ayahnya ketika ia menikah, karena
terlalu berat, lalu membungkusnya dengan selendang dan meminta pelayannya untuk
menjaganya. Namun, ketika pulang pelayan itu lupa membawa perhiasan tersebut.
Sudah menjadi kebiasaan Yang Arya Ananda menyimpan barang-barang yang
ditinggalkan oleh umat.
Visakha
mengirim kembali pelayannya ke vihara dan berkata, “Pergi dan lihatlah
perhiasan permata itu, tetapi jika Yang Arya Ananda telah menemukan dan
menyimpannya di suatu tempat, jangan bawa pulang kembali; Saya mendanakan
perhiasan permata itu kepada Yang Arya Ananda.” Tetapi Yang Arya Ananda tidak
menerima dana tersebut.
Maka
Visakha memutuskan untuk menjual perhiasan tersebut dan kemudian akan
mendanakan hasil penjualannya. Tetapi tidak seorang pun yang mampu membeli
perhiasan tersebut. Akhirnya Visakha membelinya sendiri seharga sembilan crore
dan satu lakh. Dengan uang tersebut ia membangun sebuah vihara di bagian timur
kota; Vihara itu dikenal dengan nama Pubbarama, ia lalu mempersembahkan vihara
itu dengan rasa bahagia kepada Sang Buddha dan murid-muridnya-Nya. Selain itu
Visakha juga berdana makanan, obat-obatan dengan penuh rasa hormat, ia amat
bahagia karena semua keinginannya telah terpenuhi dan ia tidak lagi punya
keraguan, kemudian sambil melantunkan lima
syair kegembiraan ia berputar menglilingi vihara.
Syair itu
berbunyi :
Kapankah aku dapat
mempersembahkan sebuah vihara,
tempat tinggal yang dibangun dengan semen dan batu bata.
Semoga tercapai keinginanku.
tempat tinggal yang dibangun dengan semen dan batu bata.
Semoga tercapai keinginanku.
Kapankah aku dapat
mempersembahkan
perlengkapannya-perlengkapannya, kasur-kasur,
kursi-kursi, karpet dan bantal-bantal.
Semoga tercapai keinginanku.
perlengkapannya-perlengkapannya, kasur-kasur,
kursi-kursi, karpet dan bantal-bantal.
Semoga tercapai keinginanku.
Kapankah aku dapat
mempersembahkan
makanan dan minuman.
Semoga tercapai keinginanku.
makanan dan minuman.
Semoga tercapai keinginanku.
Kapankah aku dapat
mempersembahkan
jubah dan kain-kain.
Semoga tercapai keinginanku.
jubah dan kain-kain.
Semoga tercapai keinginanku.
Kapankah aku dapat
mempersembahkan
obat-obatan, madu dan mentega.
Semoga tercapai keinginanku.
obat-obatan, madu dan mentega.
Semoga tercapai keinginanku.
Para
bhikku yang mendengar suaranya, berkata kepada Sang Buddha, “Yang Mulia, selama
ini kami tidak pernah mendengar Visakha bernyanyi, tapi pada hari ini, dengan
dikelilingi anak-anak dan cucu-cucunya, ia bernyanyi sambil mengelilingi
vihara. Apakah ia sudah kehilangan akal sehatnya ?”
Sang
Buddha menjawab, “O, para bhikkhu, anakku Visakha tidak bernyanyi, tapi ia
melantunkan syair karena semua keinginannya telah terpenuhi dan hatinya dipenuhi
rasa bahagia. Visakha pada masa lampau selalu berbuat kebaikan-kebaikan yang
besar dan mempunyai keyakinan yang kuat kepada ajaran Para
Buddha. Seperti seorang ahli bunga menyusun banyak rangkaian bunga dari
setumpuk bunga-bunga.”
Kemudian
Sang Buddha mengucapkan Syair 53 :
Seperti dari setumpuk
bunga dapat dibuat banyak karangan bunga; demikian pula hendaknya banyak
kebajikan dapat dilakukan oleh manusia di dunia ini.
YANG ARIYA SARIPUTTA
Terkemuka
dalam Kebijaksanaan
Pada suatu
pagi Sariputta melihat YA Assaji, salah seorang bhikkhu siswa pertama Sang
Buddha sedang menerima dana makanan di Rajagaha. Ia sangat terkesan melihat
penampilan YA Assaji yang damai dan agung. Ia berpikir bahwa pastilah bhikkhu
itu telah mencapai arahat. Ketika YA Assaji selesai makan, ia mendekati dan
memberi salam untuk kemudian bertanya siapakah guru beliau dan ajaran apakah
yang diajarkan oleh gurunya itu. YA Assaji memberi tahukan bahwa gurunya adalah
Sang Buddha Gotama dan bahwa beliau tidak dapat menerangkan ajaran tersebut
secara panjang lebar karena belum lama menjadi bhikkhu tetapi dapat menjelaskan
artinya secara singkat. Kemudian beliau mengucapkan syair berikut:
“Ye dhamma
hetuppabhava,
Tesam hetum tathagato aha;
Tesañca yo nirodho ca
Evam vadi mahasamano”
Tesam hetum tathagato aha;
Tesañca yo nirodho ca
Evam vadi mahasamano”
“Semua
benda timbul karena suatu sebab,
‘Sebab’ itu telah diberitahukan oleh Sang Tathagata;
Dan juga lenyapnya
Demikianlah yang diajarkan oleh
Sang Petapa Agung“
‘Sebab’ itu telah diberitahukan oleh Sang Tathagata;
Dan juga lenyapnya
Demikianlah yang diajarkan oleh
Sang Petapa Agung“
Mendengar
syair tersebut, Sariputta memperoleh Mata Dhamma (Dhammacakkhu) dan menjadi
seorang Sotapanna (orang yang mencapai tingkat kesucian pertama).
Sariputta
terlahir di desa Upatissa dekat Rajagaha. Karena ia adalah anak tertua dari
keluarga utama di desa itu, nama pribadinya menjadi Upatissa. Ayahnya adalah
seorang Brahmana bernama Vanganta dan ibunya bernama Rupasari, oleh karena
itulah ia dikenal pula sebagai Sariputta (putera dari Sari). Ia mempunyai tiga
adik laki-laki dan tiga adik perempuan, yang kesemuanya di kemudian hari
memasuki Sangha. Sejak kecil Sariputta sudah memperlihatkan kepandaian yang
istimewa. Mula-mula ia belajar kepada ayahnya yang mempunyai pandangan yang
bijaksana dalam pengetahuan-nya sebagai seorang Brahmana. Ia mempelajari Veda
(Kitab Suci Agama Hindu). Pada usia delapan tahun ia mulai belajar dengan
seorang guru, dan pada usia enam belas tahun ia sudah terkenal di daerah tempat
tinggalnya.
Pada hari
kelahirannya, terlahir pula seorang anak laki-laki di desa Kolita, sehingga
anak itu disebut Kolita. Ayahnya adalah kepala desa dan ibunya adalah seorang
Brahmana bernama Moggali sehingga anak itu disebut pula sebagai Moggallana.
Upatissa dan Moggallana berteman sejak masa kanak-kanak mereka. Mereka
bersama-sama pula menikmati kesenangan hidup. Sampai pada suatu ketika mereka
menyadari bahwa pada akhirnya semua manusia akan mengalami kematian. Oleh
karena itulah keduanya bersepakat, untuk meninggalkan hidup keduniawian untuk
mencari jalan yang dapat membebaskan diri dari kematian.
Mereka
kemudian pergi untuk berguru kepada seorang guru terkenal saat itu yang bernama
Sañjaya. Karena kemampuannya yang luar biasa, Sariputta dan Moggallana segera
diakui sebagai murid yang utama diantara murid-murid lainnya. Tetapi meskipun
mereka telah menguasai semua ajaran yang diberikan oleh Sañjaya, mereka belum
juga menemukan jalan pembebasan yang dicari. Mereka kemudian berjanji bahwa
siapa di antara mereka yang kelak lebih dulu memperoleh Ajaran Sempurna akan
memberitahukan hal itu kepada lainnya.
Maka
segera setelah Sariputta bertemu dengan YA Assaji, beliau menemui Moggallana
dan menyampaikan peristiwa yang dialaminya dan mengulangi syair yang diucapkan
oleh YA Assaji. Seketika itu pula Moggallana memperoleh Mata Dhamma dan menjadi
seorang Sotapanna. Kemudian mereka menyampaikan hal ini kepada Sañjaya. Namun
Sañjaya menolak untuk pergi bersama mereka menemui Sang Buddha. Keduanya lalu
pergi bersama dua ratus lima
puluh murid Sañjaya ke Vihara Veluvana untuk menemui Sang Buddha. Mereka
memohon penahbisan dan Sang Buddha menerima mereka ke dalam Sangha dengan
kata-kata “Ehi Bhikkhu”.
Tujuh hari
setelah ditahbiskan, Moggallana mencapai tingkat Arahat (tingkat kesucian
tertinggi) setelah mendapat petunjuk dari Sang Buddha. Lima belas hari setelah
ditahbiskan, Sariputta berdiam bersama Sang Buddha di gua Sukarakhta di gunung
Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar) di kota
Rajagaha. Seorang petapa Paribbajaka bernama Dighanakha dari keluarga
Aggivesana pada suatu hari menghampiri Sang Buddha dan bertanya kepada Sang
Buddha. Sang Buddha kemudian mengkhotbahkan Vedanapariggha kepada petapa
tersebut. Mendengar sutta itu Sariputta pun menjadi seorang Arahat (orang yang
mencapai kesucian tertinggi).
YA
Sariputta dan YA Moggallana merupakan siswa-siswa yang mulia dan termashyur,
merupakan Siswa Kepala (Aggisavaka) yang membantu Sang Buddha dalam
menyampaikan Ajaran kepada dunia.
Dalam
suatu pertemuan para bhikkhu Sang Buddha menyatakan bahwa YA Sariputta adalah
siswa yang terkemuka dalam kebijaksanaan, dan YA Moggallana adalah yang
terkemuka dalam kekuatan gaib. Dalam hal kebijaksanaan, YA Sariputta adalah
yang kedua setelah Sang Buddha. Beliau sangat ahli dalam mengajarkan tentang
sebab akibat, Empat Kesunyataan Mulia dan Jalan Utama Berunsur Delapan. Beliau
amat pandai menguraikan dengan terinci intisari Ajaran Sang Buddha kepada orang
lain. Sang Buddha pernah bersabda “Bila kamu meninggalkan kehidupan keduniawian
dan menjadi bhikkhu, kamu harus seperti Sariputta dan Moggallana. Berusahalah
untuk mendekati dan meminta mereka untuk mengajarimu”.
Meskipun
YA Sariputta dikenal sebagai Siswa Kepala, beliau tidak mementingkan diri
sendiri. Beliau adalah seseorang yang tahu berterima kasih, rendah hati, penuh
belas kasihan dan sabar. Beliau senang mengunjungi bhikkhu-bhikkhu lain yang
sakit. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain sedang melakukan pindapata, beliau
mengelilingi seluruh bangunan vihara, menyapu tempat-tempat yang belum tersapu,
mengisi saluran-saluran yang kosong dengan air, mengatur perabotan dan
sebagainya. Khotbahnya, Sangiti Sutta dan Dasuttara Sutta adalah permulaan dari
cita-citanya mengulangi Ajaran Sang Buddha untuk menjaga dan mempertahankan
kemurniannya dan agar ajaran itu tetap terlindung. Apabila Sang Buddha adalah
Dhammaraja (Raja dari Ajaran), maka YA Sariputta adalah Dhammasenapati
(Panglima dari Ajaran).
Ketika
Sang Buddha mengunjungi kerajaan Sakya, Rahula, putra-Nya meminta harta
kepadanya. Untuk memberi harta yang agung kepada Rahula, Sang Buddha meminta YA
Sariputta untuk menahbiskan Rahula. YA Sariputta menjadi Upajjhaya dari Rahula
sedangkan YA Moggallana menjadi Acariya bagi Rahula. Ketika Sang Buddha mengkhotbahkan
Abhidhamma kepada ibunya dan dewa-dewa di surga Tavatimsa, YA Moggallana
tinggal bersama orang-orang yang menunggu kembalinya Sang Buddha. Sementara
itu, setiap hari pertama Sang Buddha pergi ke danau Anottata untuk mandi dan
istirahat siang, YA Sariputta mengunjungi Sang Buddha dan mempelajari semua
yang telah dikhotbahkan. Setelah itu beliau mengajarkannya kepada lima ratus siswanya.
Pada saat
Devadatta menimbulkan perpecahan di antara para bhikkhu dan membawa lima ratus
bhikkhu yang baru ditahbiskan ke Gayasisa, Sang Buddha mengirim kedua Siswa
Kepala untuk membawa mereka kembali. Mereka berhasil melaksanakan tugas
tersebut dan kembali kepada Sang Buddha bersama kelima ratus bhikkhu itu.
Kurang
lebih enam bulan sebelum Sang Buddha wafat, YA Sariputta merasa bahwa akhir
hidupnya telah menjelang. Beliau memohon ijin kepada Sang Buddha untuk mencapai
Parinibbana (wafat). Setelah diijinkan, YA Sariputta pulang ke desa Nalaka yang
merupakan tempat kelahirannya. Para dewa dan
Brahma mengunjunginya sehingga membuat ibunya takjub karena Brahma yang
dipujanya ternyata menghormati putranya. Pada saat itulah YA Sariputta
mengajarkan Dhamma kepada ibunya dan membuatnya yakin kepada Sang Tiratana.
Kepada seorang bhikkhu yang ikut bersamanya beliau berkata, “Saya telah
bersama-sama denganmu selama lebih dari empat puluh tahun. Kalau saya mempunyai
kesalahan, maafkanlah saya.” Itulah kata-katanya yang terakhir. Malam itu
beliau merebahkan dirinya di tempat tidur dan dengan tenang mencapai
Parinibbana (wafat). Relik beliau dibawa ke Savatthi dan Sang Buddha
memerintahkan membuat cetiya untuk menyimpan relik tesebut.
YANG ARIYA MOGGALLANA
Terkemuka
dalam Kekuatan Gaib
Setelah
memperoleh kekuatan gaib setelah berlatih dengan tekun di bawah bimbingan Sang
Buddha, YA Moggallana menggunakan kekuatannya itu untuk mencari di mana ibunya
terlahir kembali dan mencoba untuk membalas budi kepada ibu yang mengasuhnya
hingga dewasa. Setelah menyelidiki, ditemukanlah bahwa ibunya terlahir kembali
di alam neraka dan amat menderita. Melihat hal itu, YA Moggallana segera
menggunakan kekuatan gaibnya mengirimkan makanan kepada ibunya. Tetapi pada
saat ibunya mencoba memasukkan makanan ke mulutnya, makanan itu terbakar
menjadi nyala api dan menyebabkan penderitaan yang lebih hebat dari sebelumnya.
Merasa iba
dengan keadaan ibunya itu, YA Moggalana bertanya kepada Sang Buddha apa yang
harus dilakukannya untuk menolong ibunya. Sang Buddha bersabda, “Kekuatanmu
sendiri tidak mampu untuk mengatasi akibat perbuatan buruk yang telah dilakukan
ibumu. Kamu harus memberi persembahan kepada para bhikkhu dan meminta mereka
untuk mendoakan ibumu. Doa mereka akan dapat membebaskan ibumu dari neraka”. YA
Moggallana melaksanakan apa yang disampaikan oleh Sang Buddha, dan jasa
perbuatan baik yang dilakukannya dengan memberikan persembahan kepada para
bhikkhu untuk dilimpahkan kepada ibunya dan untuk membebaskan ibunya dari alam
neraka.
YA
Moggallana terlahir di desa Kolita di Rajagaha, berdekatan dengan desa Nalaka
tempat kelahiran YA Sariputta. Sejak kecil keduanya merupakan sahabat akrab dan
saling menghormati satu sama lain. Keluarga Moggallana merupakan keluarga
Brahmana penasihat raja, tinggal di sebuah rumah besar yang dapat dibandingkan
dengan istana raja di Rajagaha. Setelah berdiskusi dengan Sariputta, Moggallana
memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Pada mulanya keluarganya
menolak dengan keras karena keluarganya menaruh harapan besar kepada Moggallana
yang mempunyai kemampuan luar biasa. Namun akhirnya mereka mengijinkan karena
menyadari tekad Moggallana yang kuat dan keputusannya yang mantap. Moggallana
bersama Sariputta berguru kepada Sañjaya, dan kemudian datang kepada Sang
Buddha untuk menjadi siswa Sang Buddha dan memasuki Sangha.
Tujuh hari
setelah ditahbiskan menjadi bhikkhu, Moggallana pergi menyepi di desa
Kallavalamuttagama untuk melatih diri dengan sungguh-sungguh dalam meditasi.
Ketika suatu kali beliau merasa mengantuk dan kehilangan semangat, Sang Buddha
menampakkan diri di hadapannya dan memberi petunjuk sehingga Moggallana dapat
mengatasi perasaan itu. Dengan melaksanakan petunjuk itu Moggallana berhasil
mencapai tingkat Arahat hari itu juga. Karena pengabdiannya yang besar kepada
Sang Buddha, YA Moggallana mempunyai kemampuan untuk melihat wajah dan
mendengar suara Sang Buddha tidak masalah berapapun jauhnya jarak yang
memisahkan mereka.
Pada suatu
ketika Sang Buddha pergi ke Vihara Jetavana meninggalkan Ya Sariputta dan YA
Moggallana di Vihara Hutan Bambu. Suatu hari YA Moggallana menemui YA Sariputta
dan berkata bahwa beliau baru saja berbicara dengan Sang Buddha. Dengan takjub
YA Sariputta bertanya, “Bagaimana caranya anda berbicara dengan Beliau yang
berada sangat jauh, melewati sungai dan gunung, di Vihara Jetavana?” YA
Moggallana menjawab bahwa dengan kekuatan gaibnya beliau dapat berbicara dengan
Sang Buddha dan Sang Buddha menguraikan ajaran kepadanya. Mendengar hal itu, YA
Sariputta berkata bengan kagum, “Sahabatku, kita semua harus menghormatimu,
dekat denganmu, dan berusaha keras untuk menjadi seperti dirimu, bagaikan batu
kecil yang menyerupai Gunung Himalaya yang amat tinggi.”
YA
Moggallana pun amat menghormati YA Sariputta. Pada suatu kesempatan, mendengar
YA Sariputta menjelaskan dengan sangat fasihnya tentang Empat Jalan untuk
Kebebasan, YA Moggallana berkata dengan penuh kekaguman, “Sahabatku, ajaranmu
bagaikan makanan untuk mereka yang lapar, dan bagaikan minuman untuk mereka
yang haus.” Sang Buddha memuji mereka dengan menyatakan, “Sariputta bagaikan
seorang ibu yang melahirkan dengan membangunkan pikiran untuk mencari jalan
kebebasan. Moggallana bagaikan pengasuh yang merawat si anak untuk
mengembangkan pikiran kebebasan. Semua bhikkhu yang melatih diri hendaklah
mengambil kedua siswaKu sebagai contoh dan berjuang untuk menyamai mereka untuk
mencapai kesempurnaan diri sendiri”.
Dengan
kekuatan gaibnya YA Moggallana sering mengunjungi surga dan alam lain serta
membawa berita dari orang yang sudah meninggal dunia. Beliau mengunjungi Dewa
Sakka di alam surga, bahkan Dewa Brahma Baka di alam Brahma, dan banyak orang
penting dan membuat mereka yakin akan ajaran Sang Buddha. Dengan kekuatan
gaibnya pula beliau mengajar Dhamma. Banyaknya orang yang mengikuti ajaran Sang
Buddha menimbulkan iri hati dari kelompok kepercayaan lain. YA Moggallana yang
membabarkan ajaran Sang Buddha secara terbuka dan menentang kepercayaan lain
sering menjadi sasaran orang-orang itu.
Suatu
ketika mereka ingin mempermalukan YA Moggallana dengan mengirim seorang pelacur
untuk merayu YA Moggallana. Namun YA Moggallana dengan kekuatan gaibnya dapat
mengetahui keadaan pelacur itu dan membimbingnya untuk memiliki keyakinan
kepada ajaran Sang Buddha.
Pada
akhirnya, YA Moggallana dibunuh oleh orang-orang yang membencinya. Mereka
menyewa penjahat untuk menyerang beliau pada saat bermeditasi di gunung.
Meskipun batu-batu mematahkan tulangnya, namun YA Moggallana bertekad kembali
ke Vihara Hutan Bambu untuk bertemu dengan Sang Buddha. Setelah itu barulah
beliau mencapai Parinibbana (wafat). Jenazahnya diperabukan dan reliknya
diletakkan dalam sebuah cetiya pada pintu masuk Vihara Veluvana di Rajagaha.
Kini relik itu dapat dijumpai pada salah satu stupa di Sanchi, India .
YANG ARIYA ANANDA
Pembantu
Tetap Sang Buddha dan Bendahara Dhamma
Pada suatu
ketika dalam suatu pertemuan para bhikkhu di Rajagaha, Sang Buddha yang saat
itu berusia lima puluh lima tahun menyinggung tentang perlunya
ditunjuk seorang pembantu tetap untuk diriNya. Semua siswa utama seperti YA
Sariputta dan YA Moggallana menawarkan diri untuk menjadi pembantu tetap namun
semuanya ditolak oleh Sang Buddha. Para
bhikkhu kemudian menganjurkan Ananda yang selama itu berdiam diri saja untuk
memohon kepada Sang Buddha untuk dapat diterima sebagai pembantu tetap. Ananda
mengatakan, “Kalau Sang Bhagava memang memerlukan Ananda sebagai Pembantu Tetap,
Sang Bhagava boleh mengatakannya”. Kemudian Sang Buddha berkata, “Ananda,
jangan membiarkan orang lain menganjurkan engkau untuk memohon pekerjaan
tersebut. Atas kemauan sendiri engkau dapat menjadi Pembantu Tetap Sang
Buddha”.
Baru
setelah itulah Ananda menawarkan diri untuk menjadi Pembantu Tetap asal Sang
Buddha berkenan meluluskan delapan permintaannya, yaitu menolak empat hal dan
memenuhi empat hal. Empat hal yang diminta Ananda untuk ditolak adalah: apabila
Sang Buddha menerima persembahan jubah, maka jubah itu tidak boleh diberikan
kepada Ananda; apabila Sang Buddha menerima hadiah, hadiah itu tidak boleh
diberikan kepada Ananda; Ananda tidak boleh diminta untuk tidur di kamar
pribadi Sang Buddha yang harum baunya (Gandhakuti); apabila Sang Buddha
menerima undangan pribadi, maka undangan itu tidak termasuk dirinya. Ananda
mengatakan apabila Sang Buddha melakukan hal tersebut maka orang akan bercerita
bahwa Ananda menjadi Pembantu Tetap karena ingin mendapat jubah bagus, makanan
enak, tempat tinggal menyenangkan dan ikut serta kalau Sang Buddha mendapat
undangan.
Empat hal
yang diminta Ananda untuk dipenuhi adalah: apabila Ananda menerima undangan
atas nama Sang Buddha maka Sang Buddha harus memenuhinya; apabila ada orang
datang dari tempat jauh, agar Ananda dapat membawanya menghadap Sang Buddha;
apabila Ananda merasa ada sesuatu yang meragukan ia diperbolehkan bertanya
kepada Sang Buddha setiap waktu; apabila Ananda tidak hadir saat Sang Buddha
berkhotbah, Sang Buddha bersedia mengulanginya kembali. Apabila hal tersebut
tidak diperkenankan maka orang akan bertanya-tanya apa sebenarnya faedah dari
pengabdian tersebut. Sang Buddha menyetujui permintaan tersebut dan sejak saat
itu Ananda resmi menjadi Buddha-upatthaka (Pembantu Tetap Sang Buddha).
YA Ananda
terlahir sebagai putera Sukkodana, saudara Suddhodana ayah Sang Buddha, oleh
karenanya ia merupakan saudara sepupu pertama Sang Buddha. Hari kelahirannya
bersamaan dengan hari kelahiran Sang Buddha, bersamaan pula dengan terlahirnya
Puteri Yasodhara yang kemudian menjadi isteri Pangeran Siddhattha, Channa yang
kemudian menjadi kusir Pangeran Siddhattha, Kaludayi yang kemudian mengundang
Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu, Kanthaka yang kemudian
menjadi kuda Pangeran Siddhattha, seekor gajah istana, pohon Bodhi tempat
Pangeran Siddhattha mencapai Penerangan Agung, Nidhikumbhi yaitu tempat harta
pusaka.
Ananda
memasuki Sangha bersama-sama dengan para bangsawan Sakya yaitu Mahanama,
Bhaddhiya, Bhagu, Kambila, Devadatta dan tukang cukur mereka yang bernama
Upali. Mereka menjumpai Sang Buddha di hutan mangga Anupiya dalam perjalanan ke
Rajagaha. Di tempat itu mereka memohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan
menjadi bhikkhu. Dan dengan tujuan untuk mengurangi rasa kebanggaan mereka, mereka
memohon kepada Sang Buddha untuk mentasbihkan Upali, tukang cukur mereka,
terlebih dahulu.
Selama
vassa berikutnya, Bhaddhiya mendapat tiga kemampuan dan menjadi Arahat.
Anuruddha mendapatkan yang kedua dari kemampuan tersebut yaitu mata dewa yang
dapat melihat timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk. Sang Buddha menyatakan
Anuruddha sebagai yang terkemuka di antara mereka yang memperoleh mata dewa
(dibbacakkhu) dan Bhaddhiya sebagai yang terkemuka di antara mereka yang
mengalami kelahiran agung. Ananda mendengar khotbah YA Punnamantaniputta dan
menjadi seorang Sotapanna (seorang suci tingkat pertama).
Devadatta
memperoleh kekuatan gaib yang dapat dicapai oleh manusia biasa. Di kemudian
hari Devadatta mengembangkan pikiran jahat dan memusuhi Sang Buddha. Sedangkan
Upali menjadi yang terkemuka di antara mereka yang mempelajari Vinaya (aturan
kebhikkhuan).
Sebagai
Pembantu Tetap Sang Buddha, Ananda melayani Sang Buddha selama dua puluh lima
tahun, mengikuti Sang Buddha bagaikan bayanganNya, membawakan air dan tusuk
gigi, mencuci kaki Sang Buddha, menyertai Sang Buddha ke mana saja, menyapu
tempat kediaman Sang Buddha. Karena dekatnya hubungan dengan Sang Buddha,
Ananda berkesempatan untuk mendengarkan semua Khotbah Sang Buddha. Karena
mempunyai daya ingat yang luar biasa, Ananda dapat mengingat segala sesuatu
yang diucapkan oleh Sang Buddha sehingga ia dikenal sebagai ‘Bendahara Dhamma’
(Dhamma Bhandagarika)
Pada suatu
ketika di Jetavana dalam pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha memuji Ananda dan
menempatkannya sebagai bhikkhu yang utama dalam lima hal: kepandaian (Bahusacca), ingatan
yang kuat (Sati), kelakuan baik (Gati), ketabahan (Dhiti), perhatian penuh
dalam pelayanan (Upatthana).
Ketika
Maha Pajapati Gotami, ibu tiri Sang Buddha, memohon kepada Sang Buddha untuk
diijinkan memasuki Sangha, Anandalah yang sangat mendukung keinginan tersebut
dan berhasil memohon kepada Sang Buddha untuk memperkenankan wanita memasuki
Sangha. Inilah permulaan adanya Sangha Bhikkhuni dalam agama Buddha. Ananda
pulalah, atas permintaan Sang Buddha, yang merancang jubah bhikkhu dengan pola
menyerupai sawah di Magadha .
Meskipun
mempunyai hubungan yang dekat dengan Sang Buddha, sampai pada saat Sang Buddha
mencapai Parinibbana (wafat), Ananda belum juga mencapai tingkat Arahat
(tingkat kesucian tertinggi). Ananda mencapai tingkat Arahat tiga bulan setelah
wafatnya Sang Buddha yaitu pada Sidang Agung Pertarna di Gua Sattapanni,
Rajagaha. Ketika itu YA Maha Kassapa mengusulkan untuk mengulang Dhamma dan
Vinaya sehingga dapat diketahui Ajaran yang sesungguhnya. Para
bhikkhu memintanya memilih anggota pertemuan dan beliau memilih 499 Arahat.
Beliau diminta pula untuk memilih Ananda, karena meskipun belum mencapai
Arahat, Ananda telah mempelajari Dhamma dan Vinaya dari Sang Buddha sendiri. Menyadari
dirinya merupakan satu-satunya peserta pertemuan yang belum Arahat, sehari
sebelum pertemuan dimulai Ananda melatih diri dengan sungguh-sungguh hingga
larut malam.
Menjelang
fajar, ia merasa mengantuk dan karenanya merebahkan diri. Pada saat kepala
belum menyentuh bantal, belum lagi kakinya meninggalkan lantai, ia menyelami
Enam Kemampuan Batin Luar Biasa (Abhiñña). Karena itulah beliau dikatakan
sebagai satu-satunya siswa yang mencapai Arahat tanpa empat sikap tubuh
(Iriyapatha).
Pada hari
pertemuan, Ananda memasuki ruang pertemuan dan muncul di atas tempat duduk
kosong yang telah disediakan untuknya. YA Upali dipilih untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan YA Maha Kassapa tentang Vinaya dan YA Ananda ditunjuk
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang Dhamma, yaitu tentang Sutta dan
Abhidhamma. Oleh karena itulah tiap Sutta selalu dimulai dengan kata-katanya,
“Evam me sutam” – ‘Demikianlah telah kudengar’.
Ananda
melewatkan tahun-tahun terakhirnya dengan mengajar, berkhotbah dan memberikan
semangat kepada rekan-rekannya yang lebih muda. Beliau hidup sampai usia yang
sangat lanjut yaitu seratus dua puluh tahun. Menjelang wafatnya, beliau pergi
ke sungai Rohini yang terletak di perbatasan antara Kapilavatthu dan Koliya.
Setelah berkhotbah kepada kedua pihak, beliau berjalan ke tengah sungai dan
dari tubuhnya keluar api yang membakar badan jasmaninya. Sisa badan jasmaninya
dibagi dua dan ditaruh dalam stupa di Kapilavatthu dan di Koliya.
YANG ARIYA MAHA KASSAPA
Terkemuka
dalam Pelaksanaan Latihan Keras
Setelah
Sang Buddha mencapai Parinibbana, maka badan jasmani beliau disiapkan untuk
diperabukan. Empat orang dari suku Malla, setelah membersihkan diri dan
mengenakan baju baru akan menyalakan api untuk perabuan jenazah Sang Buddha.
Berkali-kali mereka mencoba tapi tidak berhasil sehingga mereka menanyakan hal
itu kepada YA Anuruddha. Beliau memberitahukan bahwa hal itu tidak berhasil
karena para dewa mempunyai maksud lain yaitu hendaknya api jangan dinyalakan
terlebih dahulu sebelum YA Maha Kassapa yang sedang dalam perjalanan menuju
tempat itu memberi hormat di kaki Sang Buddha.
Saat itu
YA Maha Kassapa dan para bhikkhu rombongannya yang sedang mengadakan perjalanan
dari Pava ke Kusinara bertemu dengan Petapa Ajivika. Petapa itu membawa bunga
Mandarava yang dibawanya dari tempat wafatnya Sang Buddha di Kusinara. Dari
petapa itu YA Maha Kassapa mengetahui berita wafatnya Sang Buddha. Mendengar
berita itu para bhikkhu yang belum mencapai tingkat Arahat atau Anagami merasa
sangat sedih, meratap dan menangis. Di antara mereka terdapat seorang bhikkhu
tua bernama Subhadda yang baru memasuki kebhikkhuan pada usia lanjut. Ia
berkata, “Cukup kawan-kawan, janganlah sedih atau meratap. Kita sekarang
terbebas dari Sang Buddha. Kita telah dipersulit oleh kata-kata Sang Buddha
‘Ini boleh, ini tidak boleh’. Kini kita bebas untuk berbuat apa yang kita
sukai”. Kata-kata itu membuat YA Maha Kassapa berpikir bahwa beliau harus
mengadakan pertemuan para Arahat untuk melindungi dan menjaga kemurnian Ajaran
Sang Buddha.
Setelah
sampai di tempat Sang Buddha akan diperabukan dan YA Maha Kassapa beserta
rombongannya selesai memberi penghormatan dengan tiba-tiba api menyala dengan
sendirinya membakar jenazah Sang Buddha.
YA Maha
Kassapa terlahir sebagai putera tunggal Brahmana Kapila dan isterinya
Sumanadevi. Ia diberi nama Pipphali dan hidup dalam kemewahan. Setelah dewasa
orang tuanya menyuruhnya menikah. Pipphali menolak dengan berkata, “Selama ayah
dan ibu masih hidup, saya akan merawat ayah dan ibu. Setelah itu saya akan
meninggalkan hidup keduniawian”. Karena orang tuanya mendesak terus untuk
menikah, akhirnya ia membuat sebuah lukisan dan menyatakan bahwa ia akan
menikah apabila ditemukan seorang gadis secantik gadis dalam lukisannya itu.
Banyak orang dikirim untuk mencari gadis seperti lukisan itu. Di kota Sagaala mereka
bertemu dengan Bhadda Kapilani yang sesuai dengan lukisan itu dan juga belum
mau menikah. Akhirnya Pipphali dan Bhadda Kapilani menikah mau dan hidup
bersama sampai orang tua Pipphali meninggal dunia.
Pada suatu
hari setelah kematian orangtuanya, Pipphali dan Bhadda Kapilani memutuskan
untuk meninggalkan hidup keduniawian. Mereka mengenakan jubah kuning, memotong
rambut, membawa mangkuk, dan pergi dari rumah bersama-sama. Tetapi karena
merasa tidak pantas berjalan bersama, mereka bersepakat untuk berpisah di
persimpangan jalan, Pipphali menuju ke arah kiri dan Bhadda Kapilani menuju ke
arah kanan.
Dalam
perjalanan antara Rajagaha dan Nalanda, Pipphali melihat Sang Buddha sedang
duduk di kaki pohon Bahuputtika Banyan. Ia mendekati Sang Buddha dan duduk di
satu sisi serta mohon diterima sebagai murid. Sang Buddha mentahbiskannya
dengan memberikan tiga nasihat, “O Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa
pertama, engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada bhikkhu yang tua, yang
muda dan yang setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarkan Dhamma dengan
baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu
menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus menerus mengambil tubuhmu sebagai
obyek meditasi”.
Pada
perjalanan kembali ke Rajagaha, Kassapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru
dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Merasa merupakan kehormatan besar
baginya untuk dapat memakai jubah Sang Buddha, maka Kassapa memutuskan untuk
melaksanakan latihan Dhutanga. Delapan hari kemudian mencapai tingkat kesucian
Arahat. Sedangkan Bhadda Kapilani menuju ke sebuah vihara di Titthiyas dekat
Jetavana. Ia tinggal di sana
selama enam tahun. Kemudian setelah Maha Pajapati Gotami diijinkan untuk
menerima penahbisan sebagai bhikkhuni, ia pun memasuki Sangha Bhikkhuni. Tak
lama kemudian ia mencapai tingkat kesucian Arahat dan merupakan siswa yang
terkemuka di antara para bhikkhuni yang dapat mengingat kehidupan-kehidupan
yang lampau.
YA Kassapa
sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang
berdiam di hutan. Selama hidupnya menjadi bhikkhu, beliau selalu tinggal di
hutan, tiap hari mengumpulkan dana makanan, selalu memakai jubah bekas
(pembungkus mayat), puas dengan pemberian yang sedikit, selalu hidup menjauhi
masyarakat ramai dan terkenal sangat rajin. Menjawab pertanyaan mengapa beliau
menuntut penghidupan yang demikian keras, beliau mengatakan bahwa hal itu
dilakukannya bukan hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kebahagiaan
orang lain di kelak kemudian hari. Beliau merupakan contoh yang sangat baik
bagi orang-orang yang ingin menuntut kehidupan suci. Sebagai penghormatan
beliau diberi nama Maha Kassapa (Kassapa Agung). Dalam suatu pertemuan para
bhikkhu dan bhikkhuni, Sang Buddha menyatakan bahwa YA Maha Kassapa adalah
siswa yang terkemuka di antara mereka yang melakukan latihan yang keras.
Setelah
upacara perabuan jenazah Sang Buddha selesai, YA Maha Kassapa menceritakan
ucapan Bhikkhu Subhadda kepada para bhikkhu lainnya. Beliau berkata bahwa
seharusnyalah diadakan pengulangan Dhamma dan Vinaya. Hal itu disetujui oleh
para bhikkhu lainnya. Tiga bulan kemudian diadakanlah Sidang Agung
(Sangha-samaya) yang pertama di gua Sattapanni di Rajagaha dengan bantuan dan perlindungan
Raja Ajatasattu yang dihadiri oleh lima
ratus Arahat. Sidang itu dipimpin oleh YA Maha Kassapa. Sidang itu mengulang
semua peraturan Vinaya untuk para bhikkhu dan bhikkhuni serta semua khotbah
Sang Buddha yang diberikan di tempat-tempat berlainan, kepada orang-orang
berlainan dan pada waktu berlainan selama empat puluh lima tahun. Sidang berakhir setelah tujuh
bulan bekerja keras.
Bagi para
bhikkhu yang baru saja kehilangan Sang Buddha, YA Maha Kassapa dianggap sebagai
bhikkhu yang dijadikan panutan. Hal ini tidak mengherankan karena beliau
merupakan salah satu siswa utama yang masih hidup setelah wafatnya Sang Buddha
dan merupakan bhikkhu yang sangat dihormati karena kesungguhannya dalam
melaksanakan latihan yang keras. Selain itu beliau merupakan satu-satunya
bhikkhu yang pernah bertukar jubah dengan Sang Buddha dan memiliki tujuh tanda
dari tiga puluh dua tanda Manusia Agung yang dimiliki Sang Buddha. Beliau hidup
sampai usia yang sangat lanjut dan mencapai Parinibbana pada usia seratus dua
puluh tahun.
BUDDHA KASSAPA
Buddha KEENAM yang disebutkan dalam Atanatiya Paritta.
Buddha
Kassapa adalah Buddha ke 24 dari tradisi Pali; dan salah satu dari 7 Buddha
yang disebutkan dalam daftar-daftar Pali. Lagi pula ia juga dianggap sebagai
Buddha ke 3 di aeon saat ini (Kappa Bhadda).
Kassapa
dilahirkan di Taman Rusa di Isipatana saat raja Kiki memerintah Varanasi . Beliau adalah
putra dari Brahmadatta dan Dhanavati dan termasuk dalam suku Kassapa. IstriNya
adalah Sunanda dan Vijitasena adalah putraNya. Beliau menjalani kehidupan
berumah tangga selama 2.000 tahun dan hidup dalam istana-istana yaitu Hamsa,
Yasa dan Sirinanda. Selanjutnya Beliau melepaskan kehidupan duniawi.
IstriNya
mempersembahkan nasi susu; dan Soma memberinya rumput untuk tempat dudukNya
tepat sebelum pencerahanNya. Yana adalah pohon
bodhiNya. Beliau menyampaikan kotbah pertamaNya di Isipatana kepada sekelompok
bhikkhu; dan menunjukkan keajaiban gandaNya di kaki pohon Asana di bagian luar
Sundaranagara.
Banyak legenda dihubungkan denganNya; dan cerita tentang percakapan Yakkha Naradeva adalah yang paling menarik. Tissa dan Bharadvaja adalah bhikkhu utamaNya; dan diantara para bhikkhuni Anula dan Uruvela adalah pengikutNya yang paling terkenal. PembantuNya adalah Sabbamitta. Konon wajah keemasan Maha Kacchana disebabkan karena persembahan sebuah batu bata emasnya untuk tempat pemujaan Kassapa.
Banyak legenda dihubungkan denganNya; dan cerita tentang percakapan Yakkha Naradeva adalah yang paling menarik. Tissa dan Bharadvaja adalah bhikkhu utamaNya; dan diantara para bhikkhuni Anula dan Uruvela adalah pengikutNya yang paling terkenal. PembantuNya adalah Sabbamitta. Konon wajah keemasan Maha Kacchana disebabkan karena persembahan sebuah batu bata emasnya untuk tempat pemujaan Kassapa.
Buddha
Kassapa hidup selama 20.000 tahun dan meninggal di Taman
Setavya di Kashi.
Selama
jaman Buddha Kassapa, Bodhisatva hidup sebagai seorang pemuda brahmin dengan
nama Jotipala.
Faxian
(Fahsien) dan Xuangzang (Huan Tsang) juga menunjukkan keberadaan fisik
tempat-tempat pemujaan Kassapa.
Teks-teks
Sansekerta Buddhist seperti Divyavadana 333 f.; Mahavastu i. 114 menyebut
Kassapa sebagai Kashyapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar