21-8-12
1.
keraguan (vicikicchā)
2.
kemelekatan
pada ritual dan kebiasaan (sīlabbata-parāmāso)
3.
Menurut
Kanon, tiga belenggu-belenggu telah diberantas oleh para pemasuk-arus
dan kembali-sekali.
Daftar
sepuluh belunggu menurut Abhidhamma Pitaka
4.
Kitab Dhamma Sangani dalam Abhidhamma Pitaka (Dhs. 1113-34)
menyediakan daftar lain mengenai sepuluh belenggu, daftar ini juga ditemukan
dalam Culla Niddesa kitab Khuddaka Nikaya (Nd2 656,
1463) dan pada komentar-komentar Kanon Pali.
Penomorannya adalah:[21]
5.
nafsu
sensual (Pali: kāma-rāga)
22-8-12
1.
kemarahan (paṭigha)
2.
kesombongan
(māna)
3.
pandangan-pandangan
(diṭṭhi)
4.
keraguan (vicikicchā)
5.
kemelekatan
pada kebiasaan dan ritual (sīlabbata-parāmāsa)
23-8-12
1.
nafsu akan
keberadaan (bhava-rāga)
2.
kecemburuan
(issā)
3.
keserakahan
(macchariya)
4.
kebodohan (avijjā).
5.
Komentar
menegaskan bahwa pandangan-pandangan, keraguan, kemelekatan pada kebiasaan dan
rituas, kecemburuan dan keserakahan keluar dari tahapan pertama akan Kesadaran
(sotāpatti); nafsu sensual yang kotor dan kemarahan pada tingkatan kedua
(sakadāgāmitā) dan bahkan bentuk halus serupa pada tingkatan ketiga
(anāgāmitā); dan kesombongan, nafsu akan keberadaan dan kebodohan pada tahapan
keempat dan akhir (arahatta).
24-8-12
1.
Belenggu-belenggu yang
berhubungan dengan rumah tangga
2.
Secara
khusus, Sutta "Potaliya" (MN
54), mengenal delapan
belenggu-belenggu (termasuk tiga dari Lima Ajaran) yang mana mengabaikan
"menyebabkan pemutusan hubungan" ("lead[s] to the cutting off of affairs") (vohāra-samucchedāya saṃvattanti):
menghancurkan kehidupan (pāṇātipāto); mencuri (adinnādānaṃ); ucapan salah (musāvādo); fitnah (pisunā); iri hati dan keserakahan (giddhilobho); kebencian (nindāroso); kemarahan dan kebencian (kodhūpāyāso); dan kesombongan (atimāno)
3.
Belenggu individual
4.
Belenggu-belenggu
berikut merupakan tiga belenggu pertama dalam daftar sepuluh belenggu yang
terdapat di Sutta Pitaka sebagaimana disebutkan terdahulu, dan daftar Saṅgīti Sutta dan Abhidhamma Pitaka akan "tiga
belenggu" (DN33, Dhs. 1003 ff).
Sebagaimana dijelaskan dibawah, pemberantasan tiga belenggu-belenggu ini
merupakan petunjuk kanonikal akan seseorang yang berada pada jalur pencerahan
Pandangan identitas (sakkāya-diṭṭhi)
5.
secara etimologi, kāya berarti "tubuh", sakkāya berarti "tubuh
fisik", dan diṭṭhi
berarti "pandangan" (seringkali menunjuk kepada pandangan salah, dalam agama Buddha,
sebagaimana dicontohkan dalam tampilan tabel berikut).
25-8-12
1. Secara umum, "percaya akan keberadaan
diri sendir" atau, lebih ringkasnya, "pandangan diri" merujuk
kepada "kepercayaan bahwa dalam satu khanda atau lainnya terdapat
entitas permanen, sebuah attā".[23]
2. Sama halnya, dalam MN
2,Sabbasava Sutta, Buddha menjelaskan "belenggu akan pandangan" dalam
bentuk berikut:
"Pandangan"
oleh Enam Samana
dalam Kanon Pali (berdasarkan Sāmaññaphala Sutta1) |
|
Pertanyaan: "Apakah mungkin untuk
menunjukkan
buah kehidupan tafakur, terlihat disini dan saat ini?"1 |
|
pandangan
(diṭṭhi)
|
|
Pengendalian diri:
terberkati dengannya, dibersihkan olehnya
dan diliputi dengan menghindari segala bentuk kejahatan.2 |
|
Agnostisisme: "Saya pikir tidak juga. Saya tidak
berpikir
demikian pula. Saya tidak berpikir tidak atau bukan tidak." |
|
Notes:
|
1. DN 2 (Thanissaro,
1997; Walshe, 1995, pp. 91-109).
2. DN-a (Ñāṇamoli & Bodhi, 1995, pp. 1258-59, n. 585). |
3. "Demikian lah bagaimana [seseorang
dengan pandangan salah] hadir dengan tidak sesuai: 'Siapakah saya di masa lalu?
... Bagaimana saya di masa mendatang? ... Saya kah? Tidakkah saya? Apa saya?
...'
4. "Sebagaimana ia hadir dengan tidak
sesuai, satu dari enam jenis pandangan timbul dalam dirinya: ...
5. "As he attends inappropriately in this
way, one of six kinds of view arises in him: ... 'Saya memiliki jiwa...'
26-8-12
1. 'Saya tidak memiliki jiwa...'
2. 'Justru karena pengertian akan jiwa saya
mengartikan jiwa...'
3. 'Justru karena pengertian akan diri saya
mengartikan tanpa-jiwa...'
4. 'Justru karena pengertian akan tanpa-jiwa,
saya mengartikan jiwa...'
5. 'Ini adalah jiwa saya sesungguhnya ...
adalah jiwa milik saya yang senantiasa...'
27-8-12
1.
"Hal
ini disebut juga semak-belukar mengenai pandangan, sebuah hutan belantara
mengenai pandangan, pemutar balikkan mengenai pandangan, geliatan akan
pandanggan, sebuah belenggu mengenai pandangan. Terikat oleh belenggu mengenai
pandangan, yang awam ... tidak terbebaskan, Saya menyampaikan kepada mu, dari
penderitaan & tekanan."
Keraguan
(vicikicchā)
2. Pada umumnya, "keraguan" merujuk
kepada keraguan mengenai ajaran Buddha, Dhamma. (Pengajaran
setara lainnya ditampilkan pada tabel di sebelah kanan.)
3.
Lebih jelasnya,
dalam SN 22.84, Tissa Sutta, Buddha dengan
tegas memperingatkan terhadap ketidakpastian mengenai Jalan Utama Berunsur Delapan, yang
dijelaskan sebagai jalur yang tepat menuju Nibbana, memimpin seseorang melewati
kebodohan, nafsu indria, kemarahan dan keputusasaan.
Kemelekatan
akan kebiasaan dan ritual (sīlabbata-parāmāso)
4.
Sīla merujuk pada "perilaku moral", vata (atau bata) untuk "tugas keagamaan, ketaantan, tata cara,
pelaksanaan, kebiasaan," dan parāmāsauntuk
"menjadi terikat kepada" atau "penularan" dan memiliki
konotasi akan "penyalahgunaan" Dhamma.
5.
Keseluruhan,
sīlabbata-parāmāso
diterjemahkan menjadi "penularan pengaruh buruk akan peraturan dan ritual,
kecanduan akan pekerjaan baik, khayalan bahwa hal tersebut cukup" atau,
lebih sederhananya, "jatuh kembali kepada kemelekatan akan pedoman dan
peraturan."