Translate

Kamis, 29 Maret 2012

update tgl 29 - 3 - 12 s/d 4 - 4 - 12

21-8-12
1.                              keraguan (vicikicchā)
2.                              kemelekatan pada ritual dan kebiasaan (sīlabbata-parāmāso)
3.                              Menurut Kanon, tiga belenggu-belenggu telah diberantas oleh para pemasuk-arus dan kembali-sekali.

Daftar sepuluh belunggu menurut Abhidhamma Pitaka

4.                              Kitab Dhamma Sangani dalam Abhidhamma Pitaka (Dhs. 1113-34) menyediakan daftar lain mengenai sepuluh belenggu, daftar ini juga ditemukan dalam Culla Niddesa kitab Khuddaka Nikaya (Nd2 656, 1463) dan pada komentar-komentar Kanon Pali. Penomorannya adalah:[21]
5.                              nafsu sensual (Pali: kāma-rāga)
22-8-12
1.                              kemarahan (paṭigha)
2.                              kesombongan (māna)
3.                              pandangan-pandangan (diṭṭhi)
4.                              keraguan (vicikicchā)
5.                              kemelekatan pada kebiasaan dan ritual (sīlabbata-parāmāsa)
23-8-12
1.                              nafsu akan keberadaan (bhava-rāga)
2.                              kecemburuan (issā)
3.                              keserakahan (macchariya)
4.                              kebodohan (avijjā).
5.                              Komentar menegaskan bahwa pandangan-pandangan, keraguan, kemelekatan pada kebiasaan dan rituas, kecemburuan dan keserakahan keluar dari tahapan pertama akan Kesadaran (sotāpatti); nafsu sensual yang kotor dan kemarahan pada tingkatan kedua (sakadāgāmitā) dan bahkan bentuk halus serupa pada tingkatan ketiga (anāgāmitā); dan kesombongan, nafsu akan keberadaan dan kebodohan pada tahapan keempat dan akhir (arahatta).
24-8-12

1.                              Belenggu-belenggu yang berhubungan dengan rumah tangga

2.                              Secara khusus, Sutta "Potaliya" (MN 54), mengenal delapan belenggu-belenggu (termasuk tiga dari Lima Ajaran) yang mana mengabaikan "menyebabkan pemutusan hubungan" ("lead[s] to the cutting off of affairs") (vohāra-samucchedāya saṃvattanti): menghancurkan kehidupan (pāṇātipāto); mencuri (adinnādānaṃ); ucapan salah (musāvādo); fitnah (pisunā); iri hati dan keserakahan (giddhilobho); kebencian (nindāroso); kemarahan dan kebencian (kodhūpāyāso); dan kesombongan (atimāno)
3.                              Belenggu individual
4.                              Belenggu-belenggu berikut merupakan tiga belenggu pertama dalam daftar sepuluh belenggu yang terdapat di Sutta Pitaka sebagaimana disebutkan terdahulu, dan daftar Sagīti Sutta dan Abhidhamma Pitaka akan "tiga belenggu" (DN33, Dhs. 1003 ff). Sebagaimana dijelaskan dibawah, pemberantasan tiga belenggu-belenggu ini merupakan petunjuk kanonikal akan seseorang yang berada pada jalur pencerahan
Pandangan identitas (sakkāya-diṭṭhi)
5.                              secara etimologi, kāya berarti "tubuh", sakkāya berarti "tubuh fisik", dan diṭṭhi berarti "pandangan" (seringkali menunjuk kepada pandangan salah, dalam agama Buddha, sebagaimana dicontohkan dalam tampilan tabel berikut).
25-8-12
1.      Secara umum, "percaya akan keberadaan diri sendir" atau, lebih ringkasnya, "pandangan diri" merujuk kepada "kepercayaan bahwa dalam satu khanda atau lainnya terdapat entitas permanen, sebuah attā".[23]
2.      Sama halnya, dalam MN 2,Sabbasava Sutta, Buddha menjelaskan "belenggu akan pandangan" dalam bentuk berikut:
"Pandangan" oleh Enam Samana
dalam Kanon Pali

(berdasarkan Sāmaññaphala Sutta1)
Pertanyaan: "Apakah mungkin untuk menunjukkan
buah kehidupan tafakur, terlihat disini dan saat ini?"1
pandangan (diṭṭhi)
Amoralitas: menolak segala penghargaan atau
hukuman baik untuk perkara baik maupun buruk.
Fatalisme: kami tidak memiliki kekuatan;
penderitaan adalah sesuatu yang telah ditakdirkan.
Materialisme:
dengan kematian, segalanya musnah.
Keabadian: Permasalahan, kesenangan, sakit dan
jiwa adalah abadi dan tidak saling berinteraksi.
Pengendalian diri: terberkati dengannya, dibersihkan olehnya
dan diliputi dengan menghindari segala bentuk kejahatan.2
Agnostisisme: "Saya pikir tidak juga. Saya tidak berpikir
demikian pula. Saya tidak berpikir tidak atau bukan tidak."
Notes:
1. DN 2 (Thanissaro, 1997; Walshe, 1995, pp. 91-109).
2. DN-a (Ñāṇamoli & Bodhi, 1995, pp. 1258-59, n. 585).
3.      "Demikian lah bagaimana [seseorang dengan pandangan salah] hadir dengan tidak sesuai: 'Siapakah saya di masa lalu? ... Bagaimana saya di masa mendatang? ... Saya kah? Tidakkah saya? Apa saya? ...'
4.      "Sebagaimana ia hadir dengan tidak sesuai, satu dari enam jenis pandangan timbul dalam dirinya: ...
5.      "As he attends inappropriately in this way, one of six kinds of view arises in him: ... 'Saya memiliki jiwa...'
26-8-12
1.      'Saya tidak memiliki jiwa...'
2.      'Justru karena pengertian akan jiwa saya mengartikan jiwa...'
3.      'Justru karena pengertian akan diri saya mengartikan tanpa-jiwa...'
4.      'Justru karena pengertian akan tanpa-jiwa, saya mengartikan jiwa...'
5.      'Ini adalah jiwa saya sesungguhnya ... adalah jiwa milik saya yang senantiasa...'
                    27-8-12
1.                              "Hal ini disebut juga semak-belukar mengenai pandangan, sebuah hutan belantara mengenai pandangan, pemutar balikkan mengenai pandangan, geliatan akan pandanggan, sebuah belenggu mengenai pandangan. Terikat oleh belenggu mengenai pandangan, yang awam ... tidak terbebaskan, Saya menyampaikan kepada mu, dari penderitaan & tekanan."

Keraguan (vicikicchā)

2.      Pada umumnya, "keraguan" merujuk kepada keraguan mengenai ajaran Buddha, Dhamma. (Pengajaran setara lainnya ditampilkan pada tabel di sebelah kanan.)                                                                                     
3.                              Lebih jelasnya, dalam SN 22.84, Tissa Sutta, Buddha dengan tegas memperingatkan terhadap ketidakpastian mengenai Jalan Utama Berunsur Delapan, yang dijelaskan sebagai jalur yang tepat menuju Nibbana, memimpin seseorang melewati kebodohan, nafsu indria, kemarahan dan keputusasaan.

Kemelekatan akan kebiasaan dan ritual (sīlabbata-parāmāso)

4.                              Sīla merujuk pada "perilaku moral", vata (atau bata) untuk "tugas keagamaan, ketaantan, tata cara, pelaksanaan, kebiasaan,"  dan parāmāsauntuk "menjadi terikat kepada" atau "penularan" dan memiliki konotasi akan "penyalahgunaan" Dhamma.  
5.                              Keseluruhan, sīlabbata-parāmāso diterjemahkan menjadi "penularan pengaruh buruk akan peraturan dan ritual, kecanduan akan pekerjaan baik, khayalan bahwa hal tersebut cukup" atau, lebih sederhananya, "jatuh kembali kepada kemelekatan akan pedoman dan peraturan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar