Translate

Jumat, 27 April 2012

27 april - 2 mei


11 – 9 -12
1.            Karena dengan introspeksi diri bisa menumbuhkan pemahaman yang benar tentang objek yang kita lihat, di luar maupun di dalam diri sendiri, yang dikenal dengan istilah melihat secara objektif, melihat objek sebagaimana apa adanya. Apabila kita mampu melakukan hal ini secara benar, maka pikiran kita akan terhindar dari kekacauan, tidak menimbulkan masalah baru dan menjadi tenang dan waspada, sehingga timbullah kebahagiaan tersendiri dari keadaan seperti itu, dan menjadi percaya diri.
2.            Seseorang yang menempuh proses perjuangan dalam melatih pikiran dari tak terkendali menjadi terlatih dengan penuh kewaspadaan dan timbul ketenangan, maka dia memiliki batin yang damai dan bahagia. Kebahagiaan yang timbul dari pengendalian diri seperti ini adalah keadaan yang dapat bertahan lama meskipun sampai kematian tiba, batin tersebut tetap tenang dan terkendali. Batin tersebut tentu merasa nyaman, tentram, damai, dan bahagia saat itu. Apabila keadaan seperti itu diatur sedemikian rupa bisa bertahan lebih lama lagi, maka kebahagiaan pun bertahan lama. Inilah sesungguhnya makna dari ayat Dhammapada 21 tersebut di atas.  Pemahaman dari pengertian ayat tersebut sesungguhnya timbul dari kebiasaan introspeksi diri harus percaya diri.
3.            Introspeksi diri secara sadar menimbulkan kewaspadaan dan kewaspadaan mengkondisikan timbulnya ketenangan, ketenangan pikiran yang bertahan lama pun membuat kondisi yang jelas membantu timbulnya kebahagiaan. Berbeda dengan sebaliknya, orang lengah atau tidak waspada adalah orang yang terus-menerus dirundung penderitaan, sulit mengenal dirinya sebagaimana adanya, sehingga orang yang tidak waspada sesungguhnya tidak ada artinya hidup, tidak bisa berbuat apa, maka dikatakan seolah-olah atau seperti sudah mati.
4.            Marilah kita menjaga agar kita tetap waspada.
5.            Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

12-9-12

Memahami dan Mengatasi Kekhawatiran

1.                        Atῑtaṁ nānvāgameyya, nappaṭikaṅkhe anāgataṁ
Yadatῑtampahῑnantaṁ, appattañca anāgataṁ.

Tak sepatutnya mengenang sesuatu yang telah berlalu, tak sepatutnya berharap pada sesuatu yang akan datang. Sesuatu yang telah berlalu adalah hal yang sudah lampau,
dan sesuatu yang akan datang adalah hal yang belum tiba.
(Upparipaṇṇāsa, Majjhima Nikāya)

2.                        Kekhawatiran adalah hal tidak asing bagi kita, sebab di antara kita semua pasti pernah mengalami kekhawatiran. Apa-lagi di awal tahun semacam ini, tentu kekhawatiran  sering muncul di dalam benak kita, dan banyak di antara kita ingin bebas dari kekhawatiran itu. Sesungguhnya kekhawatiran atau rasa khawatir adalah hal yang wajar pada diri manusia. Selama seseorang belum terbiasa mengendalikan pikiran dan juga terlatih mengendalikan pikiran, di sana masih ada rasa khawatir.

3.                        Kekhawatiran secara umum dikatakan sebagai perasaan yang terganggu akibat bayangan/pikiran buruk yang kita buat sendiri, yang belum terjadi pada diri kita atau orang-orang terdekat kita. Dalam Dhamma, kekhawatiran itu merupakan bagian dari saṅkhara (bentuk-bentuk pikiran). Karena adanya bentuk-bentuk pikiran yang terus berkembang, maka kekhawatiran akan muncul. Sering kali juga kekhawatiran dikatakan sebagai perusak kebahagiaan dan kedamaian.

4.                        Umumnya orang mengasosiasikan/menghubungkan kekhawatiran sebagai sesuatu yang buruk atau negatif. Padahal tidak selamanya kekhawatiran itu buruk, sebab dengan mengetahui adanya rasa khawatir, orang akan dapat mengantisipasinya di masa mendatang.  Kekhawatiran dikatakan buruk jika rasa khawatir itu berlebihan dan tidak beralasan, sehingga menimbulkan ketakutan, kecemasan, dan penyakit psikis lainnya. Demikian pula kekhawatiran dikatakan baik, jika rasa khawatir itu dapat meningkatkan semangat dan produktivitas untuk berusaha menjadi lebih baik daripada masa sekarang. Misalnya Bodhisatta Siddhartha sebelum menjadi petapa, Beliau mengalami rasa khawatir yang besar akan kehidupan (usia tua, sakit, kematian), tetapi dari hal ini Beliau akhirnya terdorong mencari pembebasan agung.

5.                        Berpikir akan masa depan yang berlebihan
Banyak sekali yang menjadi pemicu munculnya kekhawatiran, umumnya kekhawatiran muncul, ketika seseorang terlalu berpikir kritis tentang masa depan yang berlebihan. Dan ketika berpikir masa depan yang berlebihan, yang bekerja bukan lagi realita (kenyataan), tetapi rekaan-rekaan/khayalan dari pikiran semata. Dari rekaan-rekaan pikiran inilah kekhawatiran muncul. Apabila seseorang  tidak dapat  menghentikan rasa khawatir, maka rasa khawatir akan menjadi terus berkembang, apalagi kalau semakin dipikirkan, rasa khawatir bukannya berkurang, tetapi sebaliknya semakin membesar.
13-9-12
Nafsu keinginan

1.      Selain pikiran yang berlebihan akan masa depan, penyebab lainnya yang menjadi pemicu timbulnya kekhawatiran adalah adanya nafsu keinginan (taṅhā). Karena adanya taṅhā, maka akan timbul kemelekatan, sebab sewaktu seseorang sudah begitu melekat pada apa yang disayangi, maka akan timbul kekhawatiran. Kekhawatiran akan perasaan takut kehilangan yang disayangi dan takut berpisah dengan yang dicintai. Sebab apa saja yang kita sayangi dan kita cintai, jika ada unsur nafsu keinginan pastilah di sana ada kekhawatiran, dan kekhawatiran yang akan kita rasakan sebanding dengan seberapa besar nafsu keinginan dalam diri kita. Semakin besar nafsu keinginan, maka semakin besar pula kekhawatiran yang akan kita alami.
2.      Melihat segala sesuatu sebagaimana adanya
Kekhawatiran dapat kita atasi ketika kita dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Ketika kita dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kita akan dapat memahami apa yang kita khawatirkan dan mengapa kita khawatir. Seperti halnya kalau kita melihat seutas tali tambang yang tertutup sampah, hal ini dapat membuat kita khawatir andai kata kita berpikir itu adalah ular. Tetapi, ketika kita melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kita akan mengetahui bahwa itu hanyalah tali tambang semata, jadi rasa khawatir akan lenyap.
3.      Melihat segala sesuatu sebagaimana adanya juga termasuk melihat sifat alami kehidupan. Dalam abhiṇhapaccavekkhaṇa ada perenungan tentang sifat kehidupan yakni: sabbehi me piyehi manāpehi nānābhāvo vinābhāvo  yang artinya segala milikku yang kucintai dan kusayangi wajar berubah, wajar terpisah dariku. Dengan memahami hal ini, rasa khawatir akan mampu teratasi. Karena inilah sifat alami perubahan dalam kehidupan ini.
4.      Hidup saat ini (Sadar)
Kekhawatiran juga akan mampu kita atasi, ketika kita mampu untuk hidup saat ini dengan sadar. Sebab saat ini adalah penentu masa depan kita, hari esok ada diawali oleh hari ini. Di saat ini, kita perlu berbuat dengan sadar, agar saat ini kita dapat melakukan yang terbaik. Jika kita sudah melakukan yang terbaik, sudah berusaha yang terbaik serta sudah mengkondisikan yang terbaik, maka kita tidak akan mengalami rasa khawatir lagi.
5.      Sebaliknya, jika kita tidak sadar pada hidup saat ini, pikiran kita akan pergi jauh ke depan, dan hal ini merupakan sebab kekhawatiran timbul. Jika ada gambaran masa depan yang kita khawatirkan, cobalah lihat hidup kita saat ini. Karena gambaran tentang masa depan kita akan menjadi nyata, diawali saat ini, sebab saat ini adalah pengkondisi hari esok (masa depan).
14-9-12
1.      Semoga dengan memahami hal ini kita dapat mengatasi kekhawatiran dalam diri kita.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
2.      Oleh: Bhikkhu Atthadhiro (16 Januari 2011)
3.      Dhammapada (bahasa Pali) atau Dharmapada (bahasa Sansekerta) merupakan salah satu kitab suci agama Buddha dari bagian Khuddaka Nikāya, yang merupakan salah satu bagian dari Sutta Pitaka. Dhammapada terdiri dari 26 vagga (bab) atau 423 bait.
4.      == Konsep Ketuhanan dalam Buddhisme ==        
5.      {{main|Tuhan dalam agama Buddha}}      
15-9-12

1.      Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan [[Tuhan]]. Konsep [[Tuhan dalam agama Buddha|ketuhanan dalam agama Buddha]] berbeda dengan konsep dalam [[agama Samawi]] [[dimana]] alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke [[surga]] ciptaan Tuhan yang kekal.     

2.      {{cquote|Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.}}         

3.      Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam [[bahasa Pali]] adalah ''Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang'' yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.  

4.      Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.   

5.      Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang [[alam semesta]], [[terbentuknya Bumi]] dan [[evolusi manusia|manusia]], kehidupan manusia di alam semesta, [[kiamat]] dan Keselamatan atau Kebebasan.       
16-9-12

1.      Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (''anuttara samyak sambodhi'') atau pencerahan sejati [[dimana]] satu makhluk tidak perlu lagi mengalami proses [[tumimbal lahir]]. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.
3.      Tiga Mustika
4.      Buddha Mahayana
5.      Artikel utama untuk bagian ini adalah: Buddha Mahayana
17-9-12
1.      Patung Buddha Tian Tan. Vihara Po Lin, pulau Lantau, Hong Kong
2.      Sutra Teratai merupakan rujukan sampingan penganut Buddha aliran Mahayana. Tokoh Kwan Im yang bermaksud "maha mendengar" atau nama Sansekertanya "Avalokiteśvara" merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai telah menitis beberapa kali dalam alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut. Menurut sejarahnya Avalokitesvara adalah seorang lelaki murid Buddha, akan tetapi setelah pengaruh Buddha masuk ke Tiongkok, profil ini perlahan-lahan berubah menjadi sosok feminin dan dihubungkan dengan legenda yang ada di Tiongkok sebagai seorang dewi.
3.      Penyembahan kepada Amitabha Buddha (Amitayus) merupakan salah satu aliran utama Buddha Mahayana. Sorga Barat merupakan tempat tujuan umat Buddha aliran Sukhavati selepas mereka meninggal dunia dengan berkat kebaktian mereka terhadap Buddha Amitabha dimana mereka tidak perlu lagi mengalami proses reinkarnasi dan dari sana menolong semua makhluk hidup yang masih menderita di bumi.
4.      Mereka mempercayai mereka akan lahir semula di Sorga Barat untuk menunggu saat Buddha Amitabha memberikan khotbah Dhamma dan Buddha Amitabha akan memimpin mereka ke tahap mencapai 'Buddhi' (tahap kesempurnaan dimana kejahilan, kebencian dan ketamakan tidak ada lagi). Ia merupakan pemahaman Buddha yang paling disukai oleh orang Tionghoa.
5.      Seorang Buddha bukannya dewa atau makhluk suci yang memberikan kesejahteraan. Semua Buddha adalah pemimpin segala kehidupan ke arah mencapai kebebasan daripada kesengsaraan. Hasil amalan ajaran Buddha inilah yang akan membawa kesejahteraan kepada pengamalnya.
16-9-12
1.      Menurut Buddha Gautama , kenikmatan Kesadaran Nirwana yang dicapainya di bawah pohon Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila mereka dilahirkan sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran Buddha Mahayana khususnya merujuk kepada banyak Buddha dan juga bodhisattva (makhluk yang tekad "committed" pada Kesadaran tetapi menangguhkan Nirvana mereka agar dapat membantu orang lain pada jalan itu). Dalam Tipitaka suci - intipati teks suci Buddha - tidak terbilang Buddha yang lalu dan hidup mereka telah disebut "spoken of", termasuk Buddha yang akan datang, Buddha Maitreya .

Buddha Theravada

2.      Artikel utama untuk bagian ini adalah: Buddha Theravada
3.      Aliran Theravada adalah aliran yang memiliki sekolah Buddha tertua yang tinggal sampai saat ini, dan untuk berapa abad mendominasi Sri Langka dan wilayah Asia Tenggara (sebagian dari Tiongkok bagian barat daya, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Indonesia dan Thailand) dan juga sebagian Vietnam. Selain itu populer pula di Singapura dan Australia.

Gramatika

4.      Theravada berasal dari bahasa Pali yang terdiri dari dua kata yaitu thera dan vada. Thera berarti sesepuh khususnya sesepuh terdahulu , dan vada berarti perkataan atau ajaran. Jadi Theravada berarti Ajaran Para Sesepuh.
Istilah Theravada muncul sebagai salah satu aliran agama Buddha dalam Dipavamsa, catatan awal sejarah Sri Lanka pada abad ke-4 Masehi. Istilah ini juga tercatat dalam Mahavamsa, sebuah catatan sejarah penting yang berasal dari abad ke-5 Di yakini Theravada merupakan wujud lain dari salah satu aliran agama Buddha terdahulu yaitu Sthaviravada (Bahasa Sanskerta: Ajaran Para Sesepuh) , sebuah aliran agama Buddha awal yang terbentuk pada Sidang Agung Sangha ke-2 (443 SM). Dan juga merupakan wujud dari aliran Vibhajjavada yang berarti Ajaran Analisis (Doctrine of Analysis) atau Agama Akal Budi (Religion of Reason).

Kamis, 19 April 2012


4-9-12
1.    Ia yang memotong tiga belenggu pertama (Pali: tīṇi saŋyojanāni) menjadi "pemasuk-arus" (sotapanna);
2.    Ia yang memotong tiga belenggu pertama dan secara berarti melemahkan dua belenggu berikut untuk menjadi "kembali sekali" (sakadagami);
3.    Ia yang memotong lima belenggu pertama (orambhāgiyāni samyojanāni) menjadi seorang "tidak-kembali" (anagami);
4.    Ia yang memotong seluruh sepuluh belenggu menjadi seorang arahat.[35]

5.    Hubungan dengan konsep inti lainnya

    
5-9-12
1.    Sama dengan konsep Buddhis yang ditemukan di seluruh Kanon Pali termasuk lima hambatan (nīvaraāni) dan sepuluh kekotoran (kilesā). Dengan perbandingan, dalam tradisi Theravada, belenggu-belenggu menjangkau kehidupan berlipat kali dan sangat sulit untuk dihapus, sedangkan hambatan bersifat rintangan sementara.
2.    Kekotoran mencakup seluruh kekotoran batin termasuk belenggu dan hambatan.

3.    Bertambahnya Pelaku Kejahatan

4.    dan Apa Pengaruhnya Terhadap Usia Manusia?

5.    Selama akibat dari perbuatan jahat belum masak, si pembuat kejahatan menganggap perbuatan jahatnya sebagai hal yang menguntungkan, tetapi setelah akibat dari perbuatan jahatnya sudah masak, ia akan menyadari kerugian dari perbuatan jahat tersebut. (Dhammapada, 119)
6-9-12
1.            Akhir-akhir ini khususnya di negeri kita pelaku kejahatan setiap hari semakin bertambah. Mengapa orang-orang itu tidak takut dosa? Mengapa orang-orang itu tidak takut karma? Apakah mereka itu tidak beragama? Begitulah mungkin yang sering kita keluhkan selama ini. Dari pertanyaan di atas bisa kita jawab bahwa mereka sebenarnya takut juga akan dosa, takut juga akan hukuman tetapi mungkin karena masih ada waktu untuk bertaubat, masih ada waktu untuk meminta ampun dan mengakui kesalahan yang pernah mereka lakukan. Mereka juga adalah orang-orang yang beragama tetapi mungkin karena tidak melaksanakan ajaran agamanya sehingga mereka tidak mengikuti aturan apa yang telah dilarang dan dianjurkan dalam agama tersebut.
2.            Mengapa pelaku kejahatan semakin bertambah?
Ya, pelaku kejahatan bertambah bukan karena hidup mereka miskin, bukan karena tidak punya pekerjaan, bukan karena tidak berpendidikan dan lain-lain, tetapi yang membuat mereka berbuat jahat adalah karena keserakahan (lobha) tidak pernah merasa puas dan cukup. Coba saja kita saksikan akhir-akhir ini yang berbuat jahat bukan lagi pelakunya orang-orang miskin tetapi orang-orang kaya, memiliki pekerjaan dan berpendidikan.
3.            Dari tema di atas mungkin kita akan bertanya apakah di jaman dahulu pelaku kejahatan sudah ada? Untuk menjawab hal ini, telah diceritakan dalam Cakkavati-sihanada Sutta bahwa di jaman dahulu ada seorang raja bernama Dalhanemi, raja ini memiliki tujuh pusaka, yaitu: pusaka-roda, pusaka-gajah, pusaka-kuda, pusaka-permata, pusaka-perempuan, pusaka-perumah tangga, dan pusaka-penasihat.
4.            Dia memerintah sesuai Dhamma, menjunjung tinggi Dhamma, bergantung pada Dhamma, memuja Dhamma dan menghormati Dhamma.
5.            Selama pemerintahan dan kekuasaannya negara aman rakyatnya hidup makmur dan damai. Setelah masa tuanya raja ini melimpahkan jabatannya kepada putranya dan putranya pun memerintah sesuai Dhamma. Begitu juga dengan raja ke-dua, ke-tiga, ke-empat, ke-lima, ke-enam dan ke-tujuh. Setelah raja ke-tujuh inilah Pusaka-Roda suci pemerintahan sesuai Dhamma lenyap.
7-9-12
1.    Demikianlah diceritakan, dari tidak memberikan kepada mereka yang membutuhkan, kemiskinan berkembang, dari meningkatnya kemiskinan, tindakan mengambil yang tidak diberikan meningkat, dari meningkatnya pencurian, penggunaan senjata meningkat, dari meningkat penggunaan senjata, pembunuhan meningkat – dan dari meningkatnya pembunuhan, umur kehidupan manusia menurun, kecantikan mereka memudar, dan sebagai akibat dari menurunnya umur kehidupan dan kecantikan ini, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya delapan puluh ribu tahun hanya hidup selama empat puluh ribu tahun.
2.    Kemudian dari pembunuhan, kebohongan meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya empat puluh ribu tahun hanya hidup selama dua puluh ribu tahun.
3.    tindakan mengadukan kejahatan orang lain meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya dua puluh ribu tahun hanya hidup selama sepuluh ribu tahun.
4.    Pelanggaran seksual meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya sepuluh ribu tahun hanya hidup selama lima ribu tahun.
dua hal meningkat: ucapan kasar dan pembicaraan yang  tidak bertujuan, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya lima ribu tahun, beberapa hidup selama dua ribu lima ratus tahun, dan beberapa hidup selama dua ribu tahun.
5.    Iri hati dan kebencian meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya dua ribu lima ratus tahun, hanya hidup selama seribu tahun. --- pendapat-pendapat salah meningkat dan sebagai akibatnya,   anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya seribu tahun, hanya hidup selama lima ratus tahun. --- tiga hal meningkat: hubungan seksual sedarah, keserakahan berlebihan, dan praktik-praktik menyimpang dan sebagai akibatnya,  anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya lima ratus tahun, beberapa hidup selama dua ratus lima puluh tahun, dan beberapa hidup selama dua ratus tahun.
8-9-12
1.    kuranganya hormat kepada ayah dan ibu, kepada para petapa dan brahmana, dan kepada kepala-kepala suku menjadi meningkat, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya dua setengah abad hanya hidup selama seratus tahun.
2.    Para bhikkhu, akan tiba saatnya ketika anak-anak dari orang-orang ini memiliki umur kehidupan selama hanya sepuluh tahun. Dan bersama mereka, anak-anak perempuan akan menikah pada usia lima tahun. Dan bersama mereka rasa-rasa kecapan ini akan lenyap: ghee, mentega, minyak wijen, sirup, dan garam. Di antara semua itu, padi kudrusa akan menjadi makanan pokok, seperti halnya nasi dan kari pada masa sekarang.
3.    Dan bersama mereka yang memiliki umur kehidupan sepuluh tahun, tidak memahami kata ‘moral’, jadi bagaimana mungkin ada orang yang dapat melakukan perbuatan bermoral? Orang-orang itu yang tidak menghormati ayah dan ibu, para petapa dan brahmana, kepala-kepala suku, akan menjadi orang-orang yang menikmati kehormatan dan martabat.
4.    Seperti halnya sekarang, orang-orang yang menghormati ayah dan ibu, para petapa dan brahmana, kepala-kepala suku, dipuji dan dihormati, demikian pula halnya dengan mereka yang melakukan sebaliknya…
5.    Di antara mereka yang memiliki umur kehidupan sepuluh tahun, tidak ada yang dianggap ibu atau bibi, saudara ibu, istri guru, atau istri ayah dan lain-lain – semua dianggap sama di dunia ini seperti kambing dan domba, unggas dan babi, anjing dan srigala. Di antara mereka, permusuhan sengit akan terjadi satu sama lain, kebencian hebat, kemarahan besar, dan pikiran membunuh, antara ibu melawan anak dan anak melawan ibu, ayah melawan anak dan anak melawan ayah, saudara laki-laki melawan saudara laki-laki, saudara laki-laki melawan saudara perempuan, bagaikan pemburu yang merasakan kebencian terhadap binatang yang ia buru, dst...
9-9-12
1.    Selanjutnya ada Tujuh Sifat Baik sebagai pedoman dalam kehidupan ini yang harus kita laksanakan dan dikembangkan:
Keyakinan
Rasa malu untuk berbuat jahat
Rasa takut akan perbuatan jahat
Banyak pengetahuan
Keteguhan batin
Perhatian yang kuat
Kebijaksanaan.
(Mahāparinibbāna Sutta)
2.    Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā.

INTROSPEKSI

MEMPERKOKOH KEWASPADAAN

3.    Appamādo amatapadaṁ, pamādo maccuno padaṁ
Appamattā na mῑyanti, ye pamattā yathā mathā’ti

Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan;
Kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada
tidak akan mati, tetapi orang yang lengah seperti orang yang sudah mati.  
(Dhammapada 21)
4.    Berbuat sesuatu dengan melihat dan mengamati ke dalam diri sendiri adalah perbuatan yang sebetulnya sangat perlu dilakukan oleh setiap individu manusia. Sebagai individu manusia, berada di tengah-tengah masyarakat dalam status apapun seharusnya memiliki tanggung jawab untuk mengendalikan sikap dan tingkah lakunya sendiri.
5.    Percaya Diri Sendiri
Apabila seseorang pernah mengalami sesuatu yang sangat terkesan dan tidak bisa dilupakan, apakah itu pengalaman yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan, akan menjadi sebuah ingatan yang paling jelas teringat dalam pikirannya. Untuk itu seharusnya ia berusaha melakukan perenungan hingga mampu menyadari hikmah apa sesungguhnya yang secara langsung bisa terkait dengan pengalaman itu, adalah yang disebut belajar dari pengalaman.
10-9-12
1.            Dalam Dhamma diajarkan, "self is the protector of self" – “Diri sendiri adalah pelindung diri sendiri”. Kita harus berusaha untuk mengerti ketergantungan dan kecenderungan diri sendiri terhadap pihak luar di luar diri kita yang selalu diharapkan. Kita harus mencoba melepaskan diri dari hal seperti itu dan mengalihkan perhatian ke dalam diri kita sendiri yang sesungguhnya. Kita tidak boleh tergantung kepada orangtua, sahabat dan yang lain-lain terlalu banyak sampai lupa terhadap diri sendiri. Hal itu berakibat karakter kita bisa secara terus-menerus mencari dan mengejar hingga menjadi sebuah kebiasaan yang sangat melekat dan sulit diatasi. Justru demikianlah adanya di seluruh dunia, sehingga dengan alasan itu Sang Buddha mengajarkan tentang percaya diri.

2.            Sifat percaya diri tentu sangat berbeda dengan sifat memiliki ketergantungan dari luar diri sendiri. Memiliki sifat ketergantungan diri seseorang jelas-jelas akan menghadapi bahaya yang sangat riskan dan berakibat fatal. Sedangkan percaya diri berarti dalam berbagai hal seseorang akan selalu kembali kepada dirinya sendiri. Dalam usaha apa saja bisa berhasil, ia akan tahu bahwa perjuangannya sendiri adalah penyebab utama dari keberhasilan itu. Namun apabila usahanya gagal pun ia akan berusaha sedapat mungkin menemukan sebab-sebab dari kegagalan itu dan akan kembali pula semua itu bertitik pangkal dari dirinya sendiri. Apabila ia mampu melakukan hal itu bararti ia telah bercermin pada dirinya sendiri dan ini namanya introspeksi diri, menjadi percaya diri.
3.            Apabila kita menghadapi suatu masalah namun kita melakukan introspeksi diri atau melihat ke dalam diri kita sendiri, maka kita tidak akan mencari kesalahan keluar dari diri kita sendiri. Kita akan menemukan dan mengerti bahwa hal itu tersangkut dengan diri kita sendiri sehingga kita akan tahu juga bahwa masalah itu adalah akibat dari perbuatan kita sendiri.
4.    Dengan introspeksi diri kita akan menjadi waspada dan hati-hati dalam menghadapi berbagai hal di dunia ini. Kalau kita sudah berusaha untuk selalu waspada dalam menghadapi masalah hidup dan kehidupan ini, maka sifat kita yang selalu waspada itu menjadi suatu kebiasaan hidup kita yang sangat baik. Waspada berarti selalu dalam kondisi sadar, siap menghadapi semua tantangan hidup dan terus menjalankan tugas dan kewajiban sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat.
5.    Introspeksi Diri Menumbuhkan Rasa Percaya Diri
Orang yang terbiasa introspeksi diri dan waspada dalam sikap hidupnya akan terlihat damai dan tenang, tidak mudah terpengaruh oleh persoalan-persoalan negatif yang mungkin tidak perlu diperhatikan. Introspeksi diri menjadi penting bagi siapa pun yang mengharapkan kemudahan dan kelancaran dalam segala hal.

Selasa, 17 April 2012

karma

Karma (bahasa Sanskerta: कर्म Tentang suara ini Karma.ogg ), karma, (Karman ;"bertindak, tindakan, kinerja"[1]); (Pali:kamma) adalah konsep "aksi" atau "perbuatan" yang dalam agama India dipahami sebagai sesuatu yang menyebabkan seluruh siklus kausalitas (yaitu, siklus yang disebut "samsara"). Konsep ini berasal dari India kuno dan dijaga kelestariannya di filsafat Hindu, Jain, Sikh dan Buddhisme. [2]. Dalam konsep "karma", semua yang dialami manusia adalah hasil dari tindakan kehidupan masa lalu dan sekarang. Efek karma dari semua perbuatan dipandang sebagai aktif membentuk masa lalu, sekarang, dan pengalaman masa depan. Hasil atau 'buah' dari tindakan disebut karma-phala.[3]
Karena pengertian Karma adalah pengumpulan efek-efek (akibat) tindakan/perilaku/sikap dari kehidupan yang lampau dan yang menentukan nasib saat ini, maka karma berkaitan erat dengan kelahiran kembali (Reinkarnasi). Segala tindakan/perilaku/sikap baik maupun buruk seseorang saat ini juga akan membentuk karma seseorang dikehidupan berikutnya.

bab 4 kesunyataan mulia kedua

DHAMMA-SARI
Disusun oleh : Maha Pandita Sumedha Widyadharma
Penerbit : Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda
Cetakan Kesembilan, 1994

BAB IV
KESUNYATAAN MULIA KEDUA
DUKKHA SAMUDAYA : SUMBER DUKKHA

Kesunyataan Mulia Kedua membahas sumber atau permulaan dukkha (Dukkha samudaya ariyasacca). Definisi populer dan terkenal yang dapat dijumpai dalam teks-teks asli berbunyi sbb. : “Dukkha bersumber kepada tanha (Kehausan, nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) yang menghasilkan kelangsungan kembali dan tumimbal-lahir (ponobhavika), yang terikat oleh hawa nafsu (nandiragasahagata), dan yang memperoleh kenikmatan baru di sana-sini (tatratatrabhinandini), yaitu :
  1. kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan kenikmatan hawa nafsu ( kama-tanha )
  2. kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan kelangsungan dan kelahiran ( bhava-tanha )
  3. kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan tidak kelangsungan atau “pemusnahan diri” ( vibhava-tanha ).
Kehausan ini, nafsu keinginan yang tak habis-habisnya, yang memperlihatkan diri dalam berbagai cara, merupakan sumber dari beraneka ragam penderitaan dan kelangsungan hidup makhluk-makhluk. Tetapi, hendaknya hal ini jangan dianggap sebagai sebab yang pertama karena menurut paham Buddhis tak mungkin ada sebab yang pertama; segala sesuatu itu relatif dan saling bergantungan dan saling berkaitan. Sampaipun kehausan (tanha) ini yang dianggap sebagai sebab atau sumber dari dukkha, pada hakekatnya, untuk dapat timbul (samudaya), tergantung pada sesuatu yang lain, yaitu perasaan (vedana), dan perasaan ini tergantung pada kontak (phassa) dst….. dan terciptalah satu lingkaran Hukum Pokok Yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada).
Dengan demikian kita lihat, kehausan atau tanha itu bukanlah satu-satunya sebab timbulnya dukkha; meskipun tidak dapat disangkal merupakan sebab yang nyata, yang terdekat dan yang terpenting.
Dalam beberapa kitab teks Pali yang asli dapat ditemukan definisi dari samudaya sebagai sumber dukkha yang di dalamnya, termasuk juga noda-noda dan kekotoran batin (kilesi, sasava-dhamma) di samping tanha sebagai sebab utama. Dalam pembahasan kita yang serba terbatas dalam halaman buku ini, maka cukup kiranya kalau kita senantiasa ingat bahwa tanha sebenarnya berpokok pangkal kepada anggapan keliru tentang adanya “aku” yang timbul dari avijja (ketidak tahuan).
Di sini istilah tanha bukan saja berarti keinginan akan dan terikat kepada hawa nafsu, harta benda dan kekuasaan tetapi berarti juga keinginan akan dan terikat kepada ide-ide dan cita-cita, pandangan hidup, opini-opini, teori-teori, konsepsi-konsepsi dan kepercayaan-kepercayaan (dhamma-tanha).
Menurut analisa dalam agama Buddha, semua kesulitan dan perselisihan di dunia ini, dari perselisihan kecil dalam keluarga sampai dengan peperangan besar antara negara dengan negara, timbul dari tanha ini yang mementingkan diri sendiri saja (Majjhima Nikaya 13, Maha Dukkhanda Sutta).
Dari sudut pandangan ini, semua persoalan ekonomi, politik dan sosial bersumber pada tanha yang egoistis ini. Para negarawan terkenal yang mencoba menyelesaikan persoalan internasional dan berbicara perihal perang dan damai, ekonomi dan politik hanya membicarakan kulit persoalan dan tidak pernah menyentuh akarnya yang lebih dalam.
Sang Buddha pernah bersabda kepada Ratthapala: “Dunia ini membutuhkan, menginginkan dengan sangat dan kemudian terikat kepada tanha.” (Majjhima Nikaya 82, Ratthapalasutta).
Setiap orang harus mengakui bahwa semua kejahatan dan perselisihan dalam dunia ini disebabkan oleh keinginan yang egoistis. Ini tidak susah untuk dimengerti. Tetapi, bagaimana keinginan yang egoistis ini dapat mengakibatkan kelangsungan-kembali dan kelahiran-kembali (Ponobhavika) mungkin tidaklah mudah untuk dipahami.
Di sini kita akan membahas sudut filosofi yang lebih dalam dari Kesunyataan Mulia Kedua dalam hubungannya dengan sudut filosofi dari Kesunyataan Mulia Pertama.
Tetapi terlebih dulu kita harus mendapat sedikit pengetahuan mengenai hukum kamma dan tumimbal-lahir.
Kita mengenal empat macam “makanan” (ahara) yang menjadi sebab atau kondisi yang harus dipenuhi agar makhluk-makhluk dapat lahir dan berlangsung, yaitu :
  1. makanan biasa ( kabalinkarahara )
  2. kontak dari enam indria kita dengan dunia luar ( phassahara )
  3. kesadaran ( viññanahara )
  4. kehendak atau kemauan batin ( manosañcetanahara )
    manosañcetana terdiri dari :
    mano = batin
    sañña = pencerapan
    cetana = kemauan, kehendak.
Ahara keempat merupakan kehendak untuk hidup, untuk lahir, untuk bertumimbal-lahir, untuk berlangsung dan untuk menjadi lebih sempurna. Ia menciptakan akar bagi kelahiran dan kelangsungan yang bergerak maju dengan perbuatan baik dan buruk (kusalakusala kamma).
Hal ini sama seperti kehendak (cetana). Di bagian depan kita telah melihat bahwa kehendak (cetana) itulah kamma, sebagaimana didefinisikan oleh Sang Buddha sendiri.
Mengenai cetana ini, Sang Buddha sendiri pernah bersabda: “Siapa yang mengerti makanan dari cetana ia juga akan mengerti tiga bentuk tanha (kehausan).” Oleh karena. itu, tanha (kehausan), kehendak, kehendak mental dan kamma semuanya mempunyai arti yang sama, yaitu keinginan atau kemauan untuk “ada”, untuk hidup, untuk hidup kembali, untuk lebih sempurna lagi, untuk berkembang lebih baik, untuk menghimpun lebih banyak lagi.
Inilah sebab timbulnya dukkha dan ini dapat ditemukan dalam Kelompok Kegemaran dari Bentuk-bentuk Pikiran, yaitu salah satu dari Lima Kelompok Kegemaran yang merupakan unsur dari seorang manusia.
Ini merupakan ajaran Sang Buddha yang penting sekali. Kita harus mengerti dengan baik dan harus senantiasa ingat bahwa sebab, bibit dari timbulnya dukkha adalah di dalam dukkha itu sendiri dan bukan berada di luarnya, dan kita harus mempunyai pengertian yang sama dan selalu ingat bahwa sebab, bibit untuk menghentikan dukkha, untuk menyingkirkan dukkha secara total, juga terletak di dalam dukkha itu sendiri dan bukan berada di luarnya.
Inilah apa yang dimaksudkan dengan sebuah pepatah Pali terkenal yang berbunyi sbb. : Yangkiñci Samudayadhammang Sabbang Tang Nirodhadhammang. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah : Di dalam segala sesuatu yang timbul karena suatu sebab terdapat sebab yang membuatnya musna kembali.
Kalau di dalam satu makhluk, satu benda atau satu sistem terdapat kekuatan untuk menimbulkannya (menciptakannya), di dalamnya pun terdapat kekuatan atau bibit yang dapat menghentikannya atau menghancurkannya.
Di dalam dukkha (Lima Kelompok Kegemaran) yang mengandung kekuatan untuk menimbulkan, juga terdapat kekuatan untuk menghentikannya. Hal ini akan kita temukan dalam pembahasan mengenai Kesunyataan Mulia Ketiga (Nirodha).
Perkataan Kamma (Pali) atau Karma (Sansekerta) menurut hurufnya berarti “action” atau perbuatan. Tetapi, dalam agama Buddha kamma mempunyai arti khusus, yaitu hanya diartikan sebagai “perbuatan kehendak” dan bukan dalam arti perbuatan pada umumnya. Kamma juga jangan disalah artikan sebagai akibat dari suatu perbuatan. Dalam terminologi Buddhis, kamma belum pernah diartikan sebagai satu akibat; akibatnya dikenal sebagai “buah” atau “hasil” karma (kamma-phala atau kamma-vipaka).
Kehendak secara relatif dapat bersifat baik atau buruk, sebagaimana juga keinginan dapat saja baik atau buruk. Begitu pula kamma secara relatif dapat saja baik atau buruk. Karma baik (kusala-kamma) menghasilkan akibat yang baik dan karma buruk (akusala-kamma) menghasilkan akibat yang buruk.
Tanha (nafsu keinginan), kehendak, kamma yang baik atau buruk, semuanya dapat menimbulkan tenaga atau kekuatan untuk belangsung ke arah yang baik atau yang buruk. Baik dan buruk ini pun sebenarnya relatif karena ia bergerak di dalam lingkaran dari Samsara (Lingkaran tumimbal-lahir).
Seorang Arahat meskipun berbuat sesuatu tidak akan menimbun karma karena ia telah terbebas dari konsepsi palsu tentang adanya “aku”, terbebas dari tanha (nafsu keinginan) untuk berlangsung dan lahir-kembali, terbebas dari segala macam noda dan kekotoran batin (kilesa, sasava dhamma). Beliau tak akan bertumimbal lahir lagi di dunia ini.
Semua perbuatan kehendak menimbulkan akibat atau hasil. Perbuatan baik akan membawa akibat baik dan perbuatan buruk akan membawa akibat buruk. Hal ini sebetulnya bukan merupakan pahala atau hukuman yang dijatuhkan oleh orang lain atau suatu kekuatan yang mengadili tiap-tiap perbuatan seseorang melainkan hal ini terjadi berkat pembawaannya sendiri, hukumnya sendiri.
Hal di atas tak begitu sulit untuk dimengerti. Tetapi agak lebih sulit untuk dimengerti bahwa menurut hukum kamma satu perbuatan kehendak dapat terus memperlihatkan diri sampai pada kehidupan sesudah orang meninggal dunia.
Marilah kita bahas persoalan di atas dengan terlebih dulu menerangkan apa yang dinamakan “kematian” menurut paham agama Buddha. Kita semua tahu bahwa yang dinamakan manusia itu sebenarnya terdiri dari dua kelompok kekuatan, yaitu kelompok fisik dan mental. Yang kita namakan kematian pada hakekatnya berarti, bahwa badan jasmani (fisik) kita pada saat itu berhenti berfungsi secara total. Apakah pada saat yang bersamaan kelompok kekuatan mental kita juga berhenti berfungsi? Buddha Dhamma secara tegas mengatakan: “Tidak”.
Kemauan, kehendak, keinginan, kehausan untuk hidup, untuk berlangsung terus, untuk menjadi lebih sempurna lagi, merupakan kekuatan raksasa yang menggerakkan semua kehidupan, seluruh keadaan hidup, bahkan seluruh dunia ini. Ia merupakan kekuatan yang terbesar, energi yang terhebat di dunia ini.
Menurut agama Buddha, kekuatan ini tidak turut berhenti dengan tidak berfungsinya lagi secara total badan jasmani kita; ia terus memanifestasikan diri dalam bentuk lain yang menghasilkan kelahiran kembali yang lazim disebut sebagai tumimbal-lahir.
Sekarang pertanyaan lain akan timbul: Kalau tidak ada sesuatu yang tetap, tidak ada inti yang kekal abadi seperti Atma atau Atta, apakah gerangan yang berlangsung kembali atau dilahirkan kembali sesudah orang itu mati?
Sebelum kita membahas kehidupan sesudah mati, marilah kita tinjau dulu apa sebenarnya kehidupan sekarang ini dan bagaimana ia berlangsung.
Yang dinamakan kehidupan, sebagaimana sudah berulangkali dikatakan, adalah perpaduan dan kerja-sama antara Lima Kelompok Kegemaran, yaitu kerja-sama secara terpadu antara kekuatan-kekuatan fisik dan mental. Mereka senantiasa berubah-ubah dan tidak sama meskipun untuk sesaat. Setiap saat mereka dilahirkan dan setiap saat pula mereka mati. Sang Buddha pernah bersabda: “Sebagaimana Kelompok Kegemaran itu timbul, menjadi lapuk dan mati, O bhikkhu, engkau pun, setiap saat dilahirkan, menjadi lapuk dan mati”.
Oleh karena itu, sekarang pun dalam kehidupan ini, engkau setiap saat dilahirkan, menjadi lapuk dan mati namun engkau masih tetap berlangsung. Kalau kita dapat menerima bahwa dalam penghidupan ini kita dapat berlangsung tanpa ada suatu substansi seperti Atta atau Jiwa (yang kekal dan tidak berubah) mustahil kita tidak dapat menerima bahwa kekuatan-kekuatan itu juga dapat berlangsung tanpa Atta atau Jiwa setelah badan jasmani kita tidak berfungsi lagi.
Kalau badan jasmani ini tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya, kekuatan-kekuatan tersebut tidak turut mati, melainkan tetap berlangsung dengan mengambil bentuk lain yang lazim kita sebut sebagai “kehidupan lain”.
Di dalam diri seorang anak, semua kekuatan fisik, mental dan intelektual masih lembut dan lemah, tetapi mereka mempunyai potensi untuk kelak membentuk seorang manusia dewasa. Di dalam kekuatan fisik dan mental yang merupakan bagian dari apa yang disebut “manusia” itu terdapat potensi untuk mengambil bentuk baru untuk kemudian berangsur-angsur tumbuh menjadi seorang dewasa.
Oleh karena tidak terdapat satu subtansi (inti) yang kekal dan tidak berubah, maka tidak dapat ditemukan sesuatu yang datang dan pergi dari satu saat ke saat yang lain. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa tidak terdapat sesuatu yang kekal dan abadi yang dari satu kehidupan pindah ke kehidupan yang lain. Ia hanya merupakan satu rangkaian yang berlangsung terus menerus, tetapi tiap saat berubah-ubah. Sesungguhnya, rangkaian itu tak lain dan tak bukan merupakan gerakan belaka. Seperti juga api yang menyala sepanjang malam; api yang menyala pada permulaan malam dan api yang menyala pada akhir malam tidak sama namun juga tidak berbeda.
Seorang anak tumbuh menjadi seorang kakek berumur 60 tahun. Terang bahwa kakek tersebut tidak sama dengan seorang anak pada 60 tahun yang lalu, namun ia sebenarnya juga bukan orang lain.
Begitu juga halnya dengan orang yang mati di sini dan bertumimbal lahir di tempat lain; ia bukan orang yang sama dan juga bukan orang yang lain. Orang tersebut merupakan kelangsungan dari satu rangkaian yang sama. Perbedaan antara mati dan lahir-kembali hanya merupakan pikiran pada satu saat (thought moment). “Thought moment” yang terakhir dalam kehidupan ini menciptakan kondisi untuk “thought moment” yang pertama dalam kehidupan yang berikutnya, yang pada hakekatnya merupakan kelangsungan dari satu rangkaian yang sama.
Dalam kehidupan sekarang juga, satu “thought moment” menciptakan kondisi untuk timbulnya satu “thought moment” yang berikutnya. Oleh karena itu, menurut pandangan seorang Buddhis, persoalan hidup dan mati bukanlah merupakan satu persoalan yang diliputi rahasia besar dan seorang Buddhis tidak begitu merisaukan persoalan ini. Selama masih ada kehausan untuk menjadi dan berlangsung, selama itu pula roda samsara akan berjalan terus. Ia hanya dapat berhenti, apabila tenaga pendorongnya yang berupa tanha dapat dikikis habis dengan Kebijaksanaan yang dapat melihat Kebenaran Sejati, Kesunyataan, Nibbana.

bab 3 kesunyataan mulia pertama

DHAMMA-SARI
Disusun oleh : Maha Pandita Sumedha Widyadharma
Penerbit : Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda
Cetakan Kesembilan, 1994

BAB III
EMPAT KESUNYATAAN MULIA
Kesunyataan Mulia Pertama: Dukkha

Yang menjadi pokok ajaran Sang Buddha terletak pada Empat Kesunyataan Mulia ini yang Beliau babarkan dalam khotbah-Nya yang pertama kepada lima orang pertapa bekas teman seperjuangan-Nya di Isipatana (sekarang Sarnath) dekat Benares. Dalam khotbah ini yang dapat kita ketahui dari teks aslinya, Empat Kesunyataan Mulia ini dikhotbahkan tidak secara panjang lebar.
Tetapi di bagian-bagian lain yang tidak terhitung jumlahnya, ajaran ini dibabarkan dan diterangkan berulang-ulang dengan lebih terperinci dan dengan berbagai macam cara.
Kalau kita mempelajari Empat Kesunyataan Mulia dari keterangan dan perincian tersebut di atas, kita akan mendapat gambaran yang baik dan tepat tentang ajaran yang penting ini sesuai dengan teksnya yang asli.
Empat Kesunyataan Mulia terdiri dari:
  1. D u k k h a, dukkha
  2. D u k k h a S a m u d a y a, sumber dukkha
  3. D u k k h a N i r o d h a, terhentinya dukkha
  4. M a g g a, jalan yang menuju ke terhentinya dukkha.
KESUNYATAAN MULIA PERTAMA: D U K K H A
Kesunyataan Mulia Pertama (Dukkha Ariyasacca) pada umumnya oleh hampir semua sarjana diterjemahkan sebagai “Kesunyataan Mulia Pertama tentang penderitaan” dan ini menurut anggapan mereka harus diartikan bahwa menurut paham Buddhis, penghidupan ini tidak lain daripada penderitaan dan kesakitan.
Terjemahan dan arti yang diberikan itu kedua-duanya ternyata tidak memuaskan dan dapat menimbulkan kesalahpahaman. Dengan adanya terjemahan yang singkat dan bebas ini, banyak orang mendapat gambaran salah bahwa agama Buddha adalah pesimistis.
Di sini dengan tegas dinyatakan bahwa agama Buddha bukan pesimistis dan juga bukan optimistis, tetapi yang benar adalah bahwa agama Buddha adalah agama yang realistis. Yaitu yang mengajar kita untuk melihat hidup dan kehidupan di dunia ini dengan cara realistis. Agama Buddha melihat benda-benda dan segala sesuatunya dengan obyektif (jathabhutang) dan tidak menggambarkan secara keliru dan bodoh bahwa “penghidupan ini sorga” dan juga tidak ingin menakut-nakutkan umatnya dengan berbagai macam hukuman dan dosa yang tidak masuk akal.
Agama Buddha memberitahukan kepada Anda secara wajar dan tanpa tedeng aling-aling tentang siapa sebenarnya Anda dan apakah yang ada di sekeliling Anda dan juga menunjukkan jalan untuk mencapai kebebasan sempurna, ketenangan, keseimbangan dan kebahagiaan.
Seorang dokter mungkin secara berlebih-lebihan menilai bahwa seorang-pasien terlalu parah sakitnya dan tidak mungkin dapat disembuhkan. Dokter yang lain lagi secara tidak bertanggung jawab menyatakan bahwa orang sakit itu sama sekali tidak sakit apa-apa dan karena itu tidak memerlukan obat; sehingga orang sakit itu mendapat hiburan yang tidak pada tempatnya.
Kita dapat menamakan dokter yang pertama sebagai pesimistis dan dokter yang kedua optimistis, namun kedua-duanya sebenarnya sama-sama berbahaya.
Tetapi dokter yang ketiga dengan terang dapat melihat gejala-gejala orang sakit itu, mengetahui juga sebab dari penyakitnya, melihat dengan jelas bahwa orang sakit itu dapat disembuhkan dan dengan bertanggung jawab memberi pengobatan sehingga jiwa orang sakit itu dapat ditolong.
Nah, Sang Buddha dapat diumpamakan sebagai dokter yang ketiga ini. Beliau adalah dokter yang pandai dan bijaksana yang dapat menyembuhkan penyakit manusia di dunia ini (Bhisaka atau Bhaisajya-Guru).
Tidak dapat disangkal bahwa kata Pali “dukkha” dalam percakapan sehari-hari berarti “derita”, “sakit”, “sedih” atau “masygul” sebagai lawan dari kata “sukha” yang berarti “bahagia”, “senang” atau “gembira”‘. Tetapi kata “dukkha” yang dipakai, dalam Kesunyataan Mulia Pertama, yang merupakan pandangan Sang Buddha tentang kehidupan dalam bentuk apa pun juga, mempunyai arti filosofis yang lebih dalam dan mencakup bidang yang sangat luas.
Kata “dukkha” dalam Kesunyataan Mulia Pertama selain berarti “derita” biasa juga, mempunyai arti yang lebih dalam lagi, seperti “tidak sempurna”, “tidak kekal”, “kosong”, “tanpa inti”, dll.
Dari itu, sulit sekali untuk menemukan satu kata yang dapat mencakup seluruh arti istilah “dukkha” dalam Kesunyataan Mulia Pertama. Karena itu, dianggap lebih bijaksana untuk tidak menterjemahkannya daripada memberikan terjemahan yang salah dan tidak sempurna seperti “derita” dan “sakit”.
Sang Buddha belum pernah tidak mengakui adanya kebahagiaan dalam kehidupan. Sebaliknya Beliau mengakui tentang berbagai bentuk kebahagiaan, materiil maupun spiritual, bagi orang biasa dan juga bagi para bhikkhu. Dalam kitab Angutara-Nikaya, salah satu kitab yang berisi koleksi asli dalam bahasa Pali dari khotbah-khotbah Sang Buddha, dapat ditemukan satu daftar dari kebahagiaan (sukhani), misalnya kebahagiaan kehidupan berkeluarga dan kebahagiaan seorang pertapa, kebahagiaan getaran-getaran hawa nafsu dan kebahagiaan dari orang yang menyingkir dari kehidupan duniawi, kebahagiaan terikat kepada sesuatu dan kebahagiaan karena terbebas dari ikatan-ikatan, kebahagiaan badaniah dan kebahagiaan mental, dan lain-lain. Namun, semua kebahagiaan yang disebut di atas juga termasuk dalam dukkha. Bahkan, harus diketahui bahwa keadaan “jhana” (yang dapat dicapai dengan melaksanakan samadhi), sehingga orang dapat membebaskan dirinya dari penderitaan dalam arti umum dan berada dalam kebahagiaan yang murni atau keadaan “jhana” yang terbebas dari perasaan “sukha” dan “dukkha” sehingga merupakan keseimbangan dan kesadaran belaka juga termasuk dalam pengertian “dukkha”.
Dalam salah satu sutta dari Majjhima-Nikaya, setelah memuji tinggi kebahagiaan batin yang diperoleh dari “jhana”, Sang Buddha kemudian bersabda bahwa kebahagiaan itu akan berubah dan tidak kekal dan karenanya harus digolongkan dalam “dukkha” (anicca dukkha viparinama-dhamma).
Dari contoh-contoh di atas dapat diketahui dengan jelas, bahwa “dukkha” bukan hanya disebabkan oleh penderitaan dalam arti umum, tetapi segala sesuatu yang tidak kekal pun adalah “dukkha” (Yad aniccang tang dukkhang).
Sang Buddha adalah Orang yang realis dan objektif. Dalam hubungan dengan penghidupan dan kebahagiaan dari hawa-hawa nafsu, Beliau minta agar kita mengerti dengan baik tiga hal :
  1. perasaan tertarik atau kegembiraan (assada)
  2. akibat yang tidak baik, atau bahayanya, atau perasaan tidak puas (adinava)
  3. perasaan tidak terikat atau terbebas (nissarana).
Kalau Anda melihat seorang yang baik budinya, manis bahasanya dan bagus orangnya, Anda akan merasa suka, tertarik dan merasa gembira kalau sering-sering dapat bertemu dengan orang itu. Anda memperoleh kesenangan dan kepuasan bertemu, dengan orang tersebut. Inilah yang dinamakan kegembiraan (assada). Hal ini dapat kita alami sendiri. Tetapi kegembiraan ini tidak kekal sebagaimana juga halnya dengan orang itu; dan segala sesuatu yang membuatnya tertarik juga tidak kekal.
Kalau Anda karena sesuatu sebab misalnya tidak dapat bertemu dengan orang itu sehingga, tidak mendapat peluang untuk menjadi senang dan gembira, Anda akan menjadi kecewa sekali dan mungkin Anda dapat melakukan perbuatan yang tidak pantas. Inilah yang dinamakan “tidak baik”, “berbahaya” dan “tidak memuaskan” (adinava). Hal inipun dapat kita alami sendiri dalam penghidupan kita sehari-hari.
Kemudian kalau Anda tidak mempunyai ikatan apa-apa dengan orang itu dan juga tidak merasa tertarik, maka hal inilah yang dinamakan “tidak terikat” dan “terbebas” (nissaana).
Ketiga hal yang tersebut di atas merupakan kenyataan hidup yang ada hubungannya dengan kegembiraan dalam kehidupan. Dengan contoh-contoh yang diberikan di atas, mungkin sekarang Anda mendapat gambaran yang agak jelas bahwa persoalannya bukanlah pesimistis atau optimistis, tetapi kita harus mengetahui dengan jelas segala sesuatu yang berhubungan dengan kegembiraan dalam kehidupan, hal-hal yang dapat menyakiti hati dan yang membuat kita sedih, dan hal-hal yang membebaskan kita dari kesedihan dan penderitaan itu.
Dengan demikian barulah kita dapat memahami hidup ini secara menyeluruh dan obyektif. Selanjutnya, barulah dapat dicapai pembebasan diri yang benar. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah bersabda sbb.:
“O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana belum dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidakpuasan karenanya adalah ketidakpuasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka tidaklah mungkin mereka dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan yang timbul dari hawa nafsu. Dengan demikian mereka tidak dapat mengajar orang lain dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuk mereka tidak akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu.
Tetapi, O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidakpuasan oleh karenanya adalah ketidakpuasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka mereka akan dapat mengerti secara menyeluruh keinginan yang timbul dari hawa nafsu dan mereka akan dapat mengajar orang lain untuk dapat memahaminya; dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuknya akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu.”
Konsep dukkha dapat ditinjau dari tiga segi:
  1. dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
  2. dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinama-dukkha)
  3. dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi (sankhara-dukkha).
Semua jenis penderitaan dalam penghidupan seperti: dilahirkan, berusia tua, mati; bekerjasama dengan orang yang tidak disukai atau harus berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan; dipisahkan dari orang yang dicintai atau keadaan yang disenangi; tidak memperoleh sesuatu yang didambakan; kesedihan, keluh-kesah, kegagalan dan semua bentuk derita fisik dan mental yang oleh umum dianggap sebagai derita dan sakit dapat digolongkan dalam “dukkha sebagai derita biasa” (dukkha-dukkha).
Suatu perasaan bahagia, suatu keadaan bahagia dalam kehidupan adalah tidak kekal. Cepat atau lambat hal ini akan berubah dan perubahan ini akan menimbulkan kesedihan, derita dan ketidakbahagiaan. Semua ini dapat digolongkan dalam “dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan” (viparinama-dukkha).
Mudah sekali untuk dapat mengerti akan kedua segi dukkha yang disebut di atas. Tidak seorangpun yang dapat menyangkalnya. Kedua segi ini memang merupakan gambaran umum tentang penghidupan kita sehari-hari.
Tetapi, segi ketiga dari dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi merupakan segi yang paling penting dari Kesunyataan Mulia Pertama ini dan memerlukan pembahasan secara analitis tentang apa yang kita anggap sebagai “makhluk”, sebagai “orang” atau sebagai “aku” itu.
Menurut paham Buddhis, apa yang kita anggap sebagai makhluk, orang atau “aku” hanya merupakan kombinasi dari kekuatan atau energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak dan berubah, yang terdiri atas Lima Kelompok Kegemaran (pancakkhanda).
Sang Buddha pernah bersabda sbb.: “Dengan singkat dapat dikatakan bahwa Lima Kelompok Kegemaran ini adalah dukkha”.
Pada kesempatan lain Beliau dengan tegas menyatakan bahwa dukkha ialah Lima Kelompok Kegemaran. “O bhikkhu, apakah dukkha itu? Harus diketahui bahwa Lima Kelompok Kegemaran itu adalah dukkha.”
Kita harus mengerti dengan jelas bahwa dukkha dan Lima Kelompok Kegemaran bukanlah dua hal yang berbeda; Lima Kelompok Kegemaran itu sendiri adalah dukkha. Kita akan dapat mengerti lebih baik persoalan ini apabila kita sudah menelaah lebih lanjut Lima Kelompok Kegemaran tersebut yang merupakan unsur-unsur dari apa yang kita namakan “makhluk”. Sekarang marilah kita menelaah Lima Khandha tersebut.
LIMA KHANDA
Khandha pertama ialah “kegemaran kepada bentuk” (rupakkhandha). Dalam kelompok ini termasuk empat Mahabhuta, yaitu empat unsur yang terdiri dari benda padat, cair, panas dan gerak.
Juga termasuk dalam kelompok ini benda-benda dan hal-hal yang dapat kita hubungkan dengan empat Mahabhuta itu seperti lima indria kita (mata, hidung, telinga, lidah dan badan) dengan obyek-sasarannya seperti bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan benda-benda yang dapat disentuh, dan juga pikiran, gagasan dan konsepsi yang berada dalam alam obyek pikiran (dhammayatana). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk secara keseluruhan, baik yang berada di dalam badan kita maupun obyek sasarannya, tercakup dalam Rupakkhanda ini.
Khandha kedua ialah “kegemaran kepada perasaan” (vedanakkhanda).
Dalam kelompok ini termasuk semua perasaan (perasaan bahagia, perasaan tidak bahagia dan perasaan netral) yang timbul karena adanya kontak dari indria kita dengan dunia luar.
Ada enam jenis perasaan: perasaan yang timbul dari kontak melalui mata dengan bentuk-bentuk yang terlihat; telinga dengan suara, hidung dengan bebauan; lidah dengan benda-benda yang melalui mulut; badan dengan sentuhan-sentuhan; dan pikiran dengan obyek pikiran, gagasan dan konsepsi. Semua perasaan fisik dan mental termasuk dalam kelompok ini.
Ada baiknya untuk membahas secara singkat apa sebetulnya yang dimaksud dengan istilah “pikiran” (manas) dalam filsafat Buddhis. Kita harus mengerti dengan baik bahwa yang dimaksud dengan manas bukanlah “jiwa” sebagai lawan dari “badan jasmani”. Manas sebenarnya juga sebuah indria sebagaimana halnya dengan mata atau telinga. Manas atau pikiran dapat dikontrol dan dikembangkan seperti indria yang lain dan Sang Buddha sering berbicara mengenai faedah mengontrol dan mengembangkan keenam indria ini. Perbedaan antara indria mata dan indria pikiran ialah bahwa mata berhubungan dengan warna dan benda yang tampak, sedangkan pikiran berhubungan dengan alam pikiran, gagasan serta obyek mental. Kita mengetahui berbagai hal di dunia ini melalui berbagai indria yang kita miliki. Misalnya, kita tidak dapat mendengar warna, tetapi kita melihat warna; sebaliknya, kita tidak dapat melihat suara, tetapi kita mendengar suara.
Dengan lima indria fisik kita hanya dapat mengetahui bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan benda-benda yang dapat disentuh.
Tetapi, kesemuanya ini baru merupakan sebagian dari isi dunia ini. Sebab, bagaimana dengan gagasan-gagasan dan pikiran? Mereka pun merupakan bagian dari dunia ini. Tetapi kita tidak dapat mengetahui mereka dengan perantaraan indria mata, telinga, hidung, lidah dan badan jasmani. Namun, mereka dapat kita ketahui melalui indria keenam yaitu indria pikiran.
Tetapi, harus pula disadari bahwa pikiran dan gagasan-gagasan tidaklah berdiri sendiri terlepas dari pengalaman-pengalaman lima indria fisik lainnya. Pada hakekatnya mereka tergantung kepada dan timbul oleh pengalaman fisik.
Seorang yang dilahirkan buta tidak mempunyai ide (gambaran) tentang warna, kecuali melalui perbandingan dari suara atau hal-hal lain yang ia pernah alami dengan indrianya yang lain. Dengan demikian, jelas bahwa hal-hal lain yang merupakan bagian dari dunia ini, dihasilkan dan disebabkan oleh pengalaman-pengalaman fisik yang telah dicerap oleh pikiran kita. Oleh karena itu, pikiran (manas) dapat dianggap sama seperti indria-indria lain, misalnya mata atau telinga.
Khanda ketiga ialah “kegemaran kepada pencerapan” (saññakkhandha). Sebagaimana halnya dengan perasaan, pencerapan ini pun terdiri dari enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan obyek sasaran masing-masing. Seperti juga perasaan, pencerapan tercipta oleh karena enam indria kita mengadakan kontak dengan dunia luar. Pencerapan inilah yang mengenali obyek, baik yang merupakan obyek fisik maupun obyek mental.
Khandha keempat ialah “kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran” (sankharakkhandha). Dalam kelompok ini termasuk semua kegiatan “kehendak” kita, yang baik maupun yang buruk. Yang dikenal oleh masyarakat umum sebagai “kamma” termasuk dalam kelompok ini. Kita harus selalu ingat akan definisi tentang kamma yang diberikan oleh Sang Buddha sendiri: “O bhikkhu, kehendak (cetana) itulah yang Aku namakan kamma. Sesudah berkehendak orang kemudian berbuat dengan badan jasmani, ucapan atau pikiran”. Kehendak (cetana) adalah satu bentuk mental, kegiatan mental. Tugasnya ialah untuk mengarahkan pikiran kita ke perbuatan baik, perbuatan buruk atau perbuatan netral.
Sebagaimana halnya perasaan dan pencerapan, kehendak ini pun terdiri atas enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan obyek-sasaran masing-masing, baik benda-benda fisik maupun mental.
Perasaan dan pencerapan bukan merupakan perbuatan kehendak. Mereka tak akan menimbulkan buah-kamma. Hanya kegiatan kehendak yang dapat menimbulkan buah-kamma, misalnya:
Manasikara perhatian
Chanda keinginan untuk berbuat
Adhimokkha ketetapan hati
Saddha keyakinan
Samadhi samadhi
Pañña kebijaksanaan
Viriya semangat, tenaga, gaya untuk berbuat sesuatu
Raga hawa nafsu
Patigha kebencian, dendam
Avijja ketidaktahuan, kebodohan
Mana kesombongan
Sakkayaditthi ide tentang adanya “aku” yang kekal dan terpisah
Semuanya terdapat 52 kegiatan mental yang dapat digolongkan dalam “kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran”
Khandha kelima ialah “kegemaran akan kesadaran” (viññana-kkhanda ).
Kesadaran adalah reaksi atau respon yang mempunyai dasar salah satu dari keenam indria kita dengan obyek-sasaran dari indria yang bersangkutan.
Misalnya, kesadaran mata (cakkhu-viññana) mempunyai mata sebagai dasar dan sebagai obyek-sasaran, benda-benda yang dapat dilihat.
Kesadaran pikiran (mano-viññana) mempunyai pikiran sebagai dasar dan ide atau gambar-pikiran sebagai obyek.
Dari kedua contoh tersebut di atas dapat kita lihat bahwa kesadaran selalu dihubungkan dengan indria-indria kita.
Sebagaimana halnya perasaan, pencerapan dan kehendak, kesadaran pun terdiri atas enam jenis; yaitu yang berhubungan dengan keenam indria kita dan obyek sasarannya.
Anda harus mengerti dengan sebaik-baiknya, bahwa Kesadaran tidak dapat mengenal suatu obyek. Ia hanya merupakan kesadaran yaitu kesadaran akan adanya satu obyek. Kalau mata kita mendapat kontak dengan warna biru misalnya, kesadaran mata kita bangkit dan kita sadar tentang adanya warna, tetapi kita belum mengenalnya sebagai warna biru. Pada tingkatan ini kita belum mengenal apa-apa. Tingkat Pencerapan yang dapat mengenal warna itu sebagai warna biru. Kesadaran mata hanya berarti bahwa satu bentuk atau benda telah terlihat. Tetapi, melihat belum berarti mengenalnya. Begitu juga halnya dengan kesadaran indria-indria lainnya.
Di sini ingin diingatkan sekali lagi, bahwa menurut Buddha Dhamma tidak ada sesuatu zat yang kekal abadi yang dapat dianggap sebagai “aku”, “jiwa” atau “ego” sebagai lawan dari badan jasmani, dan kesadaran (viññana) janganlah sekali-kali dianggap sebagai “jiwa” yang kekal abadi sebagai lawan dari badan jasmani. Hal ini perlu ditekankan lagi secara khusus karena satu kesalah pahaman sejak zaman purba hingga kini masih saja berlangsung, yang menganggap kesadaran sebagai semacam “jiwa” dan “ego” yang bersifat kekal abadi.
Salah seorang siswa Sang Buddha bernama Sati bersikeras mengatakan bahwa Sang Guru pernah berkata: “Kesadaran yang samalah yang keluar dan masuk dan berkeliling.” Ketika mendengar ini Sang Buddha lalu bertanya kepada Sati apa yang dimaksudkan dengan “kesadaran” itu? Jawaban Sati adalah klasik: “Sesuatu yang melakukan, yang merasakan dan yang mengalami akibat dari pada perbuatan baik dan buruk yang dilakukannya, di dunia ini dan alam sana.”
“Orang bodoh”, jawab Sang Guru, “dari siapakah pernah engkau dengar Aku menerangkan ajaran seperti yang engkau katakan itu? Berulang kali Aku menerangkan bahwa kesadaran itu timbul karena satu kondisi; tak ada kesadaran yang timbul tanpa kondisi. Kesadaran diberi nama dari kondisi yang menimbulkannya; oleh karena ada mata dan benda-benda yang terlihat oleh mata, maka timbullah kesadaran yang diberi nama kesadaran-mata; oleh karena ada telinga dan suara yang didengarnya, maka timbul kesadaran yang diberi nama kesadaran-telinga; dst.dst.
Sesudah itu, Sang Buddha menerangkan lebih lanjut dengan mengambil perumpamaan.
Api diberi nama menurut benda yang membuatnya menyala; misalnya, api yang menyala dari kayu diberi nama api-kayu, api yang menyala dari jerami diberi nama api-jerami. Begitu pula kesadaran diberi nama menurut kondisi yang membuat ia timbul (Majjhima Nikaya, Maha Tanhasankhaya Sutta).
Buddhagosa, seorang komentator terkenal, pernah menerangkan hal ini sebagai berikut: “… api yang menyala dari kayu hanya menyala selama masih ada persediaan kayu dan padam kenbali kalau persediaan kayu itu habis terbakar, karena kondisinya sudah berubah. Namun api itu tidak melompat ke jerami, dll. … dan menjadi api jerami dst…. Begitu juga dengan kesadaran yang timbul dengan adanya mata dan benda-benda yang terlihat; kesadaran ini berlangsung selama kondisi dari adanya sebuah mata, benda-benda yang terlihat, cuaca terang dan perhatian ini tidak melompat ke telinga, dll. … dan menjadi kesadaran telinga dst. …
Sang Buddha selanjutnya menerangkan bahwa kesadaran memerlukan benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, dan tidak dapat timbul tanpa adanya mereka itu. Beliau berkata: “Kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai benda sebagai perantara (rupapayang), benda sebagai obyek (ruparammanang), benda sebagai pembantu (rupapatitthang) dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang; atau kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai perasaan sebagai perantara … atau pencerapan sebagai perantara … atau bentuk-bentuk pikiran sebagai perantara, bentuk-bentuk pikiran sebagai obyek, bentuk-bentuk pikiran sebagai pembantu dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang.
Andaikata ada orang yang berkata: aku akan memperlihatkan kepadamu datangnya, jalannya, lenyapnya, timbulnya, bertambahnya atau berkembangnya kesadaran terlepas dari benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, maka orang itu telah berkata tentang sesuatu yang tidak ada.”
Secara singkat inilah yang dimaksud dengan Lima Kelompok Kegemaran (Pañcakkhanda). Lalu yang dinamakan makhluk, orang atau “aku” hanyalah merupakan sebuah nama atau sebuah sebutan belaka yang kita berikan kepada Lima Kelompok Kegemaran tersebut.
Mereka semua tidak kekal dan selalu berubah-ubah. Segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha (Yad aniccang tang dukkhang). Inilah makna sebenarnya dari kata-kata Sang Buddha: “Secara singkat, Lima Kelompok Kegemaran itu adalah dukkha.” Mereka tidak pernah sama pada dua saat yang berlainan. Di sini A tidak sama dengan A. Mereka merupakan proses terus menerus dari suatu keadaan yang setiap saat timbul dan lenyap kembali.
“O brahmana, kesadaran itu seperti juga sebuah sungai di gunung yang mengalir jauh dan cepat dengan membawa serta segala sesuatu yang dijumpai di perjalanannya; tak sekejap, sesaat atau sedetik pun ia berhenti mengalir, tetapi ia terus menerus mengalir tak henti-hentinya. Begitu pula brahmana, penghidupan seorang manusia dapat diumpamakan sebagai sebuah sungai di gunung.” Sang Buddha pernah berkata kepada Ratthapala: “Dunia ini berada dalam proses bergerak terus menerus dan oleh karena itu tidak kekal.”
Satu materi lenyap dan ini menciptakan kondisi untuk timbulnya materi yang berikutnya dan begitu seterusnya dalam satu rangkaian sebab dan akibat. Tak terdapat satu bagian pun yang kekal di dalamnya. Tak ada sesuatu di belakangnya yang dapat disebut sebagai satu Atta (Pali) atau Atman (Skrt) yang kekal abadi, satu pribadi atau yang disebut sebagai “aku”.
Saya kira semua orang setuju, bahwa baik benda, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran atau kesadaran pada hakekatnya tak dapat disebut sebagai “aku”. Tetapi kalau Lima Kelompok Kegemaran ini, yang keadaannya saling bergantungan, bekerja sama dalam satu kombinasi sebagi satu mesin physio-psychologik, maka kita akan mendapat ide tentang adanya sang “aku” itu.
Tetapi, ini ide palsu, satu bentuk pikiran yang menjadi bagian dari salah satu dari 52 buah bentuk pikiran dari Kelompok Kegemaran keempat yang baru saja kita perbincangkan, yaitu bentuk pikiran tentang adanya ide dari sang “aku” (sakkaya-ditthi; dari sat = makhluk dan kaya = tubuh).
Lima Kelompok Kegemaran ini secara keseluruhan, yang secara populer disebut sebagai “makhluk”, juga merupakan dukkha (sankharadukkha). Sebenarnya tak ada “makhluk” atau “aku” lain yang berdiri di belakang Lima Kelompok Kegemaran itu yang mengalami penderitaan.
Dalam hubungan ini Buddhagosa pernah berkata:
“Hanya penderitaan yang ada, namun
“tak dapat dijumpai si penderita;
“Perbuatan yang ada, tetapi
“tak ada si pembuat.” (Vism. (PTS), hal. 513)
Tak adalah penggerak yang tak bergerak di belakang pergerakan itu. Yang ada hanya pergerakan itu sendiri. Kuranglah tepat kiranya untuk mengatakan bahwa penghidupan ini bergerak, karena penghidupan itu sendiri merupakan pergerakan. Penghidupan dan pergerakan bukanlah dua hal yang berbeda. Dengan perkataan lain, tak terdapat si pemikir di belakang pikiran. Pikiran itu sendirilah yang juga merupakan si pemikir. Kalau kita menyingkirkan pikiran, maka si pemikir tak akan dapat dijumpai. Dalam hal ini paham Buddhis bertentangan sama sekali dengan paham kaum Cartesian yang berbunyi “cogito ergo sum” yang berarti “aku berpikir, dan karena itu aku ada.”
Sekarang mungkin timbul pertanyaan, apakah penghidupan ada permulaannya? Menurut Buddha Dhamma, awal dari proses penghidupan satu makhluk tak dapat terpikir.
Sang Buddha pernah bersabda: “O bhikkhu, roda tumimbal-lahir (samsara) tak mempunyai akhir yang dapat dilihat. Sedangkan awal dari penghidupan makhluk-makhluk yang sekarang kelihatan berkeliaran ke sana dan ke mari, diselubungi oleh ketidaktahuan (avijja), diikat erat-erat oleh belenggu keinginan yang tak habis-habisnya (tanha), tidak dapat diketahui dengan jelas.” (S II, hal. 178/9; III hal. 149, 151).
Selanjutnya mengenai ketidaktahuan (avijja), yang merupakan sebab utama dari tumimbal-lahir yang tak habis-habisnya, Sang Buddha bersabda: “Awal dari avijja tidak dapat diketahui dengan jelas. Ini harus diartikan bahwa kita tidak dapat menentukan dengan tepat bahwa di luar titik tertentu tidak lagi terdapat avijja.”
Dengan demikian, tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa tidak terdapat lagi kehidupan di luar titik tertentu.
Inilah secara singkat makna dari Kesunyataan Mulia tentang Dukkha.
Sangat penting sekali untuk mengerti Kesunyataan Mulia Pertama ini dengan baik, sebab Sang Buddha juga pernah bersabda: “Ia yang telah melihat dukkha akan dapat melihat pula sumbernya dukkha, dapat melihat pula terhentinya dukkha dan dapat melihat pula jalan yang menuju ke terhentinya dukkha.”
Harap jangan disalahartikan, bahwa kehidupan seorang Buddhis itu murung dan penuh kesedihan. Sebaliknya, seorang Buddhis sejati adalah orang yang paling bahagia. Ia tak mempunyai rasa takut atau ketegangan. Ia selalu sabar dan gembira dan ia tak terpengaruh atau merasa kesal oleh adanya suatu perubahan atau bencana karena ia melihat benda-benda menurut kodratnya yang sebenarnya atau sewajarnya.
Sang Buddha sendiri tak pernah kelihatan murung atau kesal. Orang yang pernah mengenal Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau adalah orang yang selalu tersenyum (mihitapubbangama).
Dalam lukisan atau pahatan Sang Buddha selalu digambarkan dalam keadaan bahagia, tersenyum, puas dan penuh welas asih. Tak sedikit pun penderitaan atau kemasygulan yang dapat terlihat. Kebudayaan dan arsitektur Buddhis dengan vihara-viharanya belum pernah memberi kesan tentang kemurungan atau kesedihan, tetapi selalu memberikan suasana yang tenang, khidmat, mulia dan agung.
Meskipun hidup ini penuh dengan penderitaan, seorang Buddhis seharusnya jangan bersikap murung, atau bersikap marah atau tak sabar terhadapnya. Salah satu sifat buruk, menurut paham Buddhis, adalah patigha. Patigha dapat diartikan sebagai “keinginan tidak baik” (ill-will) terhadap makhluk hidup, terhadap penderitaan dan terhadap benda-benda yang ada hubungannya dengan penderitaan. Fungsinya ialah menciptakan dasar bagi satu keadaan yang tidak bahagia dan tingkah laku yang buruk. Oleh karena itu salah sekali bertindak tidak sabar terhadap penderitaan.
Dengan bertindak tidak sabar dan marah-marah kita tidak dapat menyingkirkan penderitaan. Bahkan, ia akan menambah lebih banyak kesulitan lagi, memperbesar, dan merangsang keadaan yang memang sudah tidak menyenangkan itu.
Yang perlu kita lakukan bukanlah marah-marah atau tidak sabar, melainkan berusaha untuk mengerti akan seluk beluk penderitaan itu, bagaimana ia timbul dan bagaimana menyingkirkannya. Selanjutnya, kita harus bekerja untuk mencapai tujuan itu dengan penuh kesabaran, kebijaksanaan, keyakinan dan kemauan keras.
Kita mengenal dua buah kitab suci Buddhis yang berjudul Theragatha dan Therigatha. Kitab-kitab tersebut berisikan ucapan-ucapan penuh kebahagiaan dari siswa-siswa Sang Buddha, baik pria maupun wanita, yang telah berhasil memperoleh ketenangan dan kebahagiaan dalam kehidupan dengan melaksanakan ajaran Sang Buddha.
Baginda Raja Kosala pada suatu hari memberitahukan Sang Buddha bahwa berlainan dengan pengikut agama-agama lain yang air mukanya kelihatan liar, beringas, pucat, kurus kering dan tidak bercahaya, maka siswa-siswa Sang Buddha kelihatannya gembira dan bercahaya, penuh dengan kebahagiaan hidup, menikmati hidup suci, indria-indrianya terkekang, bebas dari ketegangan, sabar, tenang dan periang.
Raja itu menganggap bahwa keadaan yang sehat ini diperoleh karena para bhikkhu itu benar-benar dapat menyelami dan melaksanakan ajaran Sang Tathagata (Buddha).
Buddha Dhamma menentang pikiran yang murung, sedih dan penuh dengan perasaan bersalah, yang dianggap sebagai penghalang untuk menembus Kesunyataan dan memperoleh Penerangan Agung.
Sebaliknya, kegiuran (piti) termasuk salah satu dari tujuh Bojjhanga yang dengan mutlak harus dikembangkan untuk mencapai Penerangan Agung (Nibbana).